Sabtu, 09 Juli 2011

Perlukah negara tetapkan status agama?
Terbaru 5 April 2011 - 04:50 GMT

Facebook
Twitter
Kirim kepada teman
Print page

Umat Ugamo Parmalim tengah melaksanakan ibadah mingguan di Tangerang, Banten.

Sebagian besar warga Indonesia pasti akan menjawab ada lima agama besar yang diakui negara. Kelima agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.

Beberapa orang lainnya mungkin akan menambahkan Kong Hu Cu setelah negara mengakui Kong Hu Cu sebagai keenam.
Berita terkait

Ribuan Injil akan 'dimusiumkan'
Dialog soal Ahmadiyah tetap berlangsung
Agama diperkirakan akan mati

Link terkait

agama

Namun banyak yang tidak menyadari bahwa di Indonesia ternyata hidup banyak agama lain selain keenam agama besar itu.

Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat ratusan agama dan kepercayaan asli Indonesia masih memiliki pengikut hingga saat ini.

"Menurut data yang kami miliki ada sekitar 200-an agama dengan jumlah pengikut sekitar 9 juta jiwa," kata Direktur Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Gendro Nurhadi kepada BBC Indonesia.

Tetapi, lanjut Gendro, angka yang disebutkannya itu bukanlah sebuah data pasti. Sebab, jumlah organisasi keagamaan asli Indonesia ini tidak menentu.

"Jumlah pastinya tidak bisa dipastikan. Karena ada agama yang setelah pemimpinnya meninggal dunia organisasinya tidak dilanjutkan," papar Gendro.

Agama-agama asli Indonesia semisal Parmalim, Sunda Wiwitan, Kapribaden dan Kaharingan sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh sebelum agama-agama Samawi dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.

"Jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Indonesia, masyarakat Batak sudah memiliki konsep Tuhan dan kehidupan beragama. Sudah ada keyakinan kepada Tuhan pencipta alam semesta," kata salah seorang penganut Ugamo Malim atau Parmalim Maringan Simanjuntak.

Begitu pula dengan kepercayaan Kapribaden yang dianut sebagian warga etnis Jawa diyakini sudah ada sejak jaman dahulu.

Kapribaden adalah kepercayaan yang menekankan pengenalan dan pengendalian pribadi untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini pertama kali muncul di Purworejo, Jawa Tengah.

"Jelas, kapribaden sudah ada sejak jaman dahulu, sebelum agama ada di Indonesia. Namun secara organisasi kami baru resmi terbentuk 1978 dan terdaftar di Departemen Dalam Negeri tahun 1981," kata pinisepuh Paguyuban Kapribaden Hartini Wahyono.
Salah kaprah

"Dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia"

Anick HT

Dengan kenyataan banyaknya agama-agama asli di Indonesia yang tak membuat pengakuan negara menimbulkan banyak pertanyaan.

Sebab, di Indonesia tak satupun undang-undang yang secara tegas menyebut agama-agama yang dianggap resmi dan diakui negara.

Satu-satunya peraturang perundangan yang menyebutkan nama-nama agama yang dianut rakyat Indonesia hanyalan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama.

"Tetapi dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia," kata Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT.

Sehingga, lanjut Anick, anggapan bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia adalah salah kaprah.

"Kenapa itu salah kaprah? Sebab undang-undang itu diterjemahkan secara salah oleh pejabat-pejabat masa Orde Baru," lanjut Anick.

Anggapan adanya agama resmi, tambah Anick, berasal dari surat edaran menteri dalam negeri.

"Tapi itu konteksnya adalah soal pengisian kolom agama di KTP," papar Anick.
Tak ada larangan

Menteri Agama mengklaim negara menjamin kebebasan beragama.

Menanggapi masalah ini, Menteri Agama Surya Darma Ali menyatakan negara pada dasarnya menjamin kebebasan semua agama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.

"Di Indonesia ini bebas, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Sikh, Zoroaster, Tao, animisme, dinamisme kan tidak ada yang melarang. Tetapi agama-agama itu tidak bersinggungan dengan agama lain," kata menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan itu saat ditemui BBC Indonesia.

Agama-agama yang tidak disebutnya, lanjut Surya Darma, bukan berarti negara melarang mereka untuk tumbuh dan berkembang.

"Kalau sebuah komunitas menyebut kepercayaan itu sebagai agama, maka jadilah dia agama," tambah Surya Darma.

Jika menyimak penjelasan Menteri Agama itu, terkesan negara memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh agama untuk berkembang.

Namun, pada kenyataannya pemerintah malah tidak mengkatagorikan agama dan kepercayaan asli Indonesia sebagai agama.

"Pada tahun 1978, negara memasukkan agama-agama asli dimasukkan ke dalam Departemen Kebudayaan, karena dianggap sebagai sebuah budaya spiritual bukan agama," kata Gendro Nurhadi.

Sebelumnya keputusan itu, papar Gendro, agama dan kepercayaan asli Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Uniknya, keputusan mengkatagorikan agama dan kepercayaan Indonesia ke dalam ranah kebudayaan tak dilandasi kriteria yang memadai.

“Kriteria resmi tidak ada. Kepercayaan kepada Tuhan itu bukan agama. Itu saja,” papar Gendro.

Dan nampaknya pemerintah tak menyadari bahwa keputusan tersebut berujung dengan terabaikannya hak-hak sipil warga pemeluk agama-agama yang tak dianggap resmi itu

Pengakuan negara atas Kong Hu Cu

Pengakuan negara atas Kong Hu Cu
Terbaru 7 April 2011 - 04:58 GMT

Facebook
Twitter
Kirim kepada teman
Print page

Masyarakat Kong Hu Cu di Singkawang merayakan hari raya Cap Go Meh.

Walaupun sudah ada di nusantara selama ratusan tahun, pengakuan resmi dari negara terhadap agama Kong Hu Cu baru datang pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di tahun 2000.

Selain memberikan pengakuan, Gus Dur juga membebaskan masyarakat Kong Hu Cu yang notabene adalah keturunan Cina untuk menjalankan ibadah agamanya secara terbuka dan merayakan hari keagamaan mereka.
Berita terkait

Perlukah negara tetapkan status agama?
Hak-hak sipil yang terabaikan

Fakta ini, menurut Direktur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Gendro Nurhadi menjadi acuan sebagian besar penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia. Mereka ingin, negara mengakui agama dan kepercayaan asli Indonesia, seperti halnya pengakuan terhadap Kong Hu Cu.

"Kong Hu Cu aja bisa diakui.. saya yagg asli kata mereka, saya yang asli (kenapa) enggak? Ini memang salah satu motivasi mereka kesana jadinya," ujar Gendro Nurhadi.

Namun menurut Anick HT, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace, tidak semua penganut agama asli ingin diakui secara resmi. Menurutnya keinginan mereka cukup sederhana, yaitu kebebasan dalam menjalankan ibadahnya.

"Yang penting mereka dilindungi dalam beribadah dan tidak dipaksa-paksa....asal tidak dituduh komunis asal tidak dipaksa menjadi kristen atau Islam dan lain sebagainya," kata Anick HT,

"Yang penting mereka dilindungi dalam beribadah dan tidak dipaksa-paksa...asal tidak dituduh komunis asal tidak dipaksa menjadi Kristen atau islam dan lain sebagainya"

Anick HT, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace

Kong Hu Cu selalu menjadi contoh sukses sebuah kepercayaan yang awalnya tak diakui negara namun kini duduk sejajar dengan agama-agama besar lain di Indonesia. Bagaimana para penganut Kong Hu Cu memperjuangkan pengakuan negara atas agama mereka?
Puluhan tahun dilarang

Selama puluhan tahun, rezim Orde Baru melarang kesenian barongsai dan tradisi Tionghoa lain termasuk agama Kong Hu Cu untuk ditampilkan secara terbuka. Padahal, diyakini tradisi Tionghoa sudah masuk ke Indonesia bersamaan dengan migrasi manusia dari wilayah selatan Cina ke Asia Tenggara termasuk Indonesia sekitar 5.000 tahun lalu. Bahkan, sekolah agama Kong Hu Cu pertama di Jakarta berdiri pada awal abad ke-17. Dan secara organisasi sudah eksis sejak 1901.

Sebenarnya, menurut Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat , pemerintah tidak memiliki wewenang memberi pengakuan terhadap sebuah agama termasuk Kong Hu Cu. Untuk kasus agama masyarakat Tionghoa ini, Bahrul menyatakan pemerintah hanya mencabut larangan yang diberlakukan di masa Orde Baru.

Penjelasan ini diamini Anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Budi S Tanuwibowo. Indonesia, lanjut Budi, pernah mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Pengakuan ini diperkuat Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 yang dikukuhkan dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1969. Di masa ini Orde Baru sudah berkuasa, sehingga artinya kata Budi, pemerintahan Soeharto mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu. Uniknya, pada tahun 1967 terbit instruksi presiden yang isinya melarang semua jenis tradisi Tionghoa termasuk Kong Hu Cu dilaksanakan secara terbuka. Dan inpres inilah yang kemudian menjadi awal perlakuan diskriminasi terhadap Kong Hu Cu:

Arus balik untuk Kong Hu Cu tiba ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden Indonesia. Di masa pemerintahan Gus Dur, inpres yang melarang kegiatan terbuka tradisi Tionghoa dicabut. Bahkan untuk pertama kalinya perayaan tahun baru Imlek digelar secara nasional.

Dari fakta ini, maka jelaslah bahwa sebelum masa Orde Baru pemerintah sudah mengakui keberadaan Kong Hu Cu sebagai sebuah agama. Pemerintah hanya mengembalikan status Kong Hu Cu yang dibekukan oleh rezim Soeharto.

Fakta ini menunjukkan sulit bagi agama dan kepercayaan asli Indonesia mengharapkan pengakuan dari negara

Jumat, 03 September 2004

Jumat, 03 September 2004

KELENTENG-kelenteng yang meriah dengan warna merah mencolok khas simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa mewarnai sepanjang jalan di kawasan pecinan Kota Semarang. Bau yong tswa atau yang dikenal dengan hio juga mengharumkan setiap sudut jalan itu.
KELENTENG-kelenteng di sana memang tak pernah henti membakar yong tswa. Ini karena para pemeluk Konghucu selalu menyematkannya ke dalam abu yong tswa yang habis terbakar seusai menyembah para dewa yang telah memberikan kemakmuran hidup.

Tidak satu pun kelenteng di pecinan berusia muda. Di antara 10 kelenteng yang di kawasan itu didirikan pada kurun 1753 hingga 1800-an. Kelenteng Siu Hok Bio merupakan kelenteng tertua di daerah itu. Selain itu, dibangun pula Kelenteng Hoo Hok Bio, Kong Tik Soe, Tay Kak Sie, Tong Pek Bio, Liong Hok Bio, Tek Hay Bio, Wie Wie Kiong, See Hoo Kong, dan Kelenteng Grajen.
Namun, kelenteng tertua di Kota Semarang justru tidak berada di pecinan. Kelenteng tertua itu bernama Sam Poo Kong yang didirikan oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1406 di bilangan Simongan, Semarang bagian barat.
Tidak seperti pada masa Orde Baru ketika umat Konghucu tidak diperbolehkan melakukan ibadah dan melaksanakan upacara keagamaannya. Umat Konghucu di pecinan sekarang bisa bebas melaksanakan ritual agamanya dan melambungkan asap yong tswa.
Dalam waktu dekat ini, umat Konghucu di Pecinan akan mengadakan upacara King Ho Ping pada tanggal 29 bulan 7 tahun Imlek, atau 12 September 2004. Saat itu umat Konghucu membacakan doa dan mempersembahkan sesaji bagi para arwah leluhur yang tidak diterima di dunia akhirat. Upacara itu dipusatkan di Kelenteng Tay Kak Sie.
“Kami tidak bisa main-main mengadakan upacara ini. Kami harus melaksanakannya secara khidmat. Kalau tidak, kita bisa kesurupan,” tutur Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Kota Semarang Gan Kok Hwie (73).
Ia memaparkan, upacara itu akan diadakan dalam upacara yang lumayan besar. Seusai membaca doa dan sesaji akan diadakan upacara rebutan bahan pokok makanan. “Tetapi, sekarang kami tidak lagi mengadakannya secara rebutan karena pasti banyak yang berkelahi. Karena itu, kami akan membagi-bagikan bahan pokok itu kepada masyarakat dengan kupon,” ungkapnya.
Selain sebagai tempat ibadah, menurut Gan Kok Hwie, pada masa lalu sebelum Konghucu dilarang di Indonesia, warga pecinan kerap bercengkerama di halaman kelenteng. Biasanya kesempatan itu dimanfaatkan oleh para orang tua untuk berbagi pengalaman dengan generasi muda.
Melalui perbincangan itu pula generasi muda belajar tentang falsafah hidup dari generasi tua. “Pada zaman dulu, sambil duduk-duduk di kelenteng para orang tua memberikan nasihat dan ajaran hidup kepada generasi muda dalam menjalankan hidup. Tidak seperti saat ini, generasi muda sudah tidak tahu tradisi etnis Tionghoa,” paparnya.
Meski begitu, iklim kebebasan beribadah sesuai agama Konghucu sangat disyukuri oleh Gan Kok Hwie dan umat Konghucu di pecinan. Thio Tiong Gie (75), satu-satunya dalang wayang Po Te Hi yang masih ada di Kota Semarang, juga sangat mensyukuri itu. “Pada masa ini, kami bisa bebas sembahyang ke kelenteng dan mengadakan upacara. Kami sudah cukup merasa senang dengan itu semua,” tuturnya.
Meski Pemerintah Indonesia sudah memberikan kebebasan itu, tetapi umat Konghucu masih merasa terusik oleh anggapan miring tentang agama mereka. Mereka juga sedang dihadapkan pada permasalahan keberlangsungan agama ini karena generasi muda etnis Tionghoa di pecinan sudah banyak berpaling ke agama lain.
“Anak-anak saya tidak satu pun yang beragama Konghucu. Saya tidak bisa berbuat apa- apa karena mereka masuk agama Kristen karena mereka masuk sekolah swasta Kristen. Lagi pula, pada masa Orde Baru kami tidak boleh menjalankan upacara Konghucu sehingga sedikit sekali tradisi agama ini yang bisa kami ajarkan kepada mereka,” tutur Gan Kok Hwie.
Ia mengaku sempat sakit hati terhadap anak-anaknya karena tidak sudi lagi masuk ke kelenteng. “Mereka bilang, kelenteng tidak bagus karena menyembah patung. Padahal, saya sudah meminta mereka untuk bisa menghormati agama yang saya anut,” ungkapnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Ny Liem Man Fung (41). Ibu rumah tangga beranak dua ini kerap menghadapi pertanyaan anak-anaknya tentang kebenaran agama Konghucu.
“Anak saya kerap bertanya, apakah Konghucu adalah agama setan? Teman-teman mereka selalu bilang kepada anak saya bahwa kelenteng tempat berkumpulnya setan. Tetapi, saya ajarkan kepada anak saya bahwa Konghucu tidak pernah mengajarkan seperti itu. Pada dasarnya, agama apa pun adalah sama. Hanya saja caranya yang berbeda,” tuturnya.
Ny Liem mengaku, meski sudah dibebaskan menganut agama Konghucu, umat Konghucu masih harus terus berjuang karena kenyataannya kalangan umum belum bisa menerima agamanya. “Saya percaya ajaran Konghucu, yaitu yang terpenting dari manusia adalah pikiran, hati, dan perbuatan. Tidak akan ada gunanya ibadah kita setiap hari kalau ketiga unsur itu tidak dijaga. Pesan- pesan itu yang selalu saya sampaikan kepada teman dan saudara yang menilai miring agama Konghucu,” paparnya.
Thio Tiong Gie menambahkan, “Konghucu tidak pernah membeda-bedakan manusia ataupun agama. Ada satu falsafah dari Nabi Konghucu: di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara. Satu lagi; hanya kebajikan Tuhan (yang) berkenan,” tuturnya.
Ny Liem mengakui selama ini agama Konghucu kurang dikenali oleh generasi muda karena ajaran agamanya tidak disosialisasikan dalam ceramah.
“Di dalam agama kami memang tidak ada aturan untuk beribadah secara tepat. Cara- cara itu tergantung pada adat istiadat yang berkembang di suku-suku di dalam etnis Tionghoa. Tetapi saya sadar, ceramah untuk membina generasi muda sangat diperlukan untuk meneruskan agama ini ke generasi muda,” tuturnya.
Ceramah-ceramah dan sekolah agama saat ini di antaranya yang sedang digarap oleh Gan Kok Hwie di Kelenteng Tay Kak Sie . Sebagai Ketua Makin Kota Semarang, dia merasa bertanggung jawab untuk membina umat Konghucu dan mempertahankan generasi muda agar kembali ke kelenteng.
“Baru satu tahun ini saya mulai mengadakan ceramah bagi umat dan mengadakan sekolah minggu setiap Minggu untuk anak-anak. Langkah ini sebagai pembinaan keimanan bagi umat Konghucu,” tuturnya.
“Pada tahap awal ini, saya baru pembinaan bagi umat. Tahap selanjutnya kami juga akan menyebarluaskan ajaran Konghucu,” paparnya. (J02)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/daerah/1244334.htm

31 Januari 2011 Lepas dari Harimau

31 Januari 2011
Lepas dari Harimau

Alkisah, suatu ketika Nabi Konghucu dan murid muridnya diusir dari suatu kerajaan. Ketika melintas di sebuah hutan, rombongan Konghucu menjumpai seorang perempuan bersimbah air mata di samping pusara yang masih baru.

Seorang muridnya bertanya kenapa dia menangis. "Pertama, mertuaku dibunuh harimau di sini. Berikutnya giliran suamiku. Dan sekarang gantian anakku," kata perempuan itu. Kemudian Konghucu ganti bertanya mengapa dia tidak pergi meninggalkan hutan yang berbahaya itu.

"Sebab, tak ada pemerintah yang menindas di sini," jawab perempuan tersebut. Nabi Konghucu pun berpaling kepada murid muridnya dan berpetuah, "Ingatlah! Pemerintah yang sewenang wenang jauh lebih menakutkan ketimbang harimau." Presiden Soeharto terang bukan harimau, tapi selama berpuluh tahun, kebijakan kebijakan rezim Orde Baru demikian galak kepada para pengikut ajaran Konghucu.

Pada masa Presiden Sukarno, penganut Konghucu sempat menikmati kebebasan. Bahkan, pada 1961, pelajaran agama Konghucu masuk kurikulum sekolah. Lewat Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Presiden Sukarno menyatakan Konghucu merupakan satu di antara enam agama yang dipeluk rakyat Indonesia. Dalam penjelasan peraturan itu juga diterangkan pemerintah tidak melarang ajaran lain seperti Yahudi, Shinto, Taoisme, dan Zarathustra.

Masa bulan madu itu tak berumur panjang. Angin politik berbalik melawan pengikut Konghucu. Peristiwa G 30 S pada 1965 pecah dan aktivis politik keturunan Tionghoa dinilai punya keterkaitan dengan pemerintah Tiongkok dan Partai Komunis Indonesia.

Semula Presiden Soeharto masih menunjukkan sikap mendua. Di satu pihak, ia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang mencekik adat istiadat Tionghoa. Di pihak lain, pada 23 Agustus tahun yang sama, ia memberikan sambutan bernada positif dalam Kongres VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu se Indonesia di Solo, Jawa Tengah. "Agama Khonghutju mendapat tempat jang lajak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini," demikian tertulis dalam naskah sambutannya.

Lewat rupa rupa peraturan, pemerintah Soeharto mengetatkan ikatan bagi penganut Konghucu, misalnya terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978 yang hanya mencantumkan lima agama, tanpa menyertakan Konghucu. Akibatnya, penganut Konghucu tak pernah lolos dari segala urusan administrasi kependudukan. Menteri Pendidikan Teuku Syarif Thayeb menghapus pelajaran agama Konghucu dari kurikulum pada 1974. Sejak saat itu, penganut Konghucu seolah olah tak ada di negeri ini.

"Saya terpaksa mencantumkan agama Islam dalam KTP," Purwani, 57 tahun, warga Kota Solo, mengenang sulitnya mendapatkan kartu tanda penduduk. Pendeta Muda Konghucu Adjie Chandra, 52 tahun, memilih membiarkan kolom agama di kartu penduduk miliknya kosong.

Ketika Imlek tiba, mereka pun tak leluasa merayakannya. Menurut Pendeta Adjie, untuk menghindari masalah, sebagian besar memilih merayakannya di rumah-walaupun litang tetap dibuka bagi pengikut Konghucu yang hendak berdoa. "Kami hanya berkeliling di halaman litang, tidak berani ke luar halaman," ujar Purwani.

Untuk beribadah saja susah, apalagi untuk melakukan atraksi barongsai. Sakandi Talok, 58 tahun, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia di Kalimantan Barat, mengenang bagaimana mereka sembunyi sembunyi "bermain" barongsai di gang gang kecil Kota Pontianak demi menghin-dari mata aparat. Kalau lagi apes dan ketahuan, bisa bisa harus berurusan dengan -polisi.

l l l

TAK jelas benar berapa jumlah penganut Konghucu saat ini. "Mungkin sekitar empat juta orang, termasuk Konghucu 'santri' dan 'abangan'," kata Budi Santoso Tanuwibowo, anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, pertengahan Januari lalu. Menurut Budi, jumlah pengikut Nabi Konghucu pada 1977 setara dengan pemeluk Buddha, yakni sekitar 0,9 persen penduduk Indonesia.

Sulitnya hidup beragama Konghucu pada masa Presiden Soeharto ada kemungkinan menyusutkan pengikutnya. Seperti keluarga Lim Buan Teng yang berpindah ke agama Kristen Protestan. "Dulu saya terpaksa beralih ke agama Buddha, tapi sekarang kembali ke Konghucu," kata Nge Chun Hur alias Atang, 51 tahun, warga Pontianak.

Pendeta Adjie Chandra mengatakan dulu dia aktif di organisasi pemuda Konghucu di Solo. Pada 1970 an itu ada sekitar 40 pemuda Konghucu yang aktif berorganisasi. "Tapi paling sekarang tinggal empat enam orang yang masih memeluk Konghucu."

Sekolah sekolah Konghucu ditutup. Kelenteng kelenteng Konghucu pun beralih menjadi vihara tridarma untuk tiga agama: Buddha, Konghucu, dan Taoisme. Seperti kelenteng di Banjar, Jawa Barat. Di dalamnya ada patung Konghucu diapit patung Buddha Gautama dan Nabi Tao, Lao Tse. Namun, prakteknya, vihara itu hanya dipakai pengikut Konghucu. "Tidak ada penganut Buddha ataupun Tao di Banjar," kata Widi Priatno, rohaniwan Konghucu.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978, rantai yang membelenggu pengikut Konghucu terputus. Apalagi setelah Departemen Agama juga mengakui perkawinan Konghucu pada 2006. Kebebasan ini memberi angin segar bagi agama Konghucu.

Sebelum Gus Dur mencabut dua peraturan itu, Adjie mencatat penganut Konghucu di Solo hanya berkisar 40 orang. Namun, semenjak diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000, umat Konghucu berlipat menjadi sekitar 100 orang. "Tapi hanya 60 orang yang aktif datang beribadah di litang setiap minggu," kata Pendeta Adjie.

Menjelang Imlek tahun ini, Pontianak, yang hampir 20 persen warganya beragama Konghucu, pun bersolek dengan lampion di seluruh penjuru kota. Arak arakan atraksi barongsai juga sudah bersiap jauh jauh hari. Kala Imlek ini, sebagian keturunan Tionghoa asal Pontianak dan Singkawang di rantau ramai ramai pulang kampung. "Semua kamar kami sudah ludes dipesan," kata Lusi, Manajer Umum Hotel Mahkota, Singkawang, sekitar tiga jam perjalanan dari Pontianak.

SP, Ukky Primartantyo (Solo), Harry Daya (Pontianak), Nur Khoiri (Banjar)

Pengakuan Agama Khonghucu di Indonesia

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada seorangpun, bahkan negara boleh mencabut atau melanggar hak asasi manusia. Salah satu hak yang paling mendasar adalah hak seseorang untuk beragama. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Hal tersebut bahkan dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya”. Jelaslahh sudah hak untuk memeluk agama dan kebebasan untuk beribadah menjadi hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang majemuk dan terdiri dari berbagai macam kultur dan budaya, sangat menghormati perbedaan. Perbedaan tidak seharusnya dipandang sebagai pemicu konflik namun harus dipandang sebagai suatu aset kekayaan budaya. Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke dengan kondisi geografis yang beragam dengan bentuk negara kepulauan, membuat Indonesia kaya akan budaya. Setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Sama halnya dengan berkembangnya kepercayaan di Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat Indonesia bahkan sebelum berkembangnya agama. Dengan kultur masyarakat Indonesia yang demikian religius, perlindungan kebebasan memeluk agama menjadi sangat penting di Indonesia

Perkembangan Hak Asasi Manusia pasca reformasi tahun 1998 mengalami kemajuan yang sangat pesat. Termasuk juga kebebasan untuk beragama. Dalam masa ini terdapat sebuah momentum yang amat berarti bagi umat Khonghucu di Indonesia. Sebelum masa reformasi, hanya dikenal lima agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Namun, saat ini di Indonesia diakui enam agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Perkembangan etnis tionghoa yang sebelumnya amat dibatasi di Indonesia setelah masa reformasi ini menjadi bebas. Berbagai macam kebudayaan dan upacara adat china pun mulai berkembang di Indonesia. Barong Sai, Naga Liong, dan kebudayaan china lain yang sebelumnya dikembangkan dengan diam-diam sudah mulai dapat dipentaskan secara bebas. Bahkan perayaan Imlek pun mulai diperingati di Indonesia. Hal ini menunjukkan penerimaan Indonesia atas etnis tionghoa dan agamanya yaitu agama Khonghucu.

Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak jauh sebelum masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama.

Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu terbut Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya bahwa Khonghucu yang berdasarkan sensus 1976 dianut oleh sejuta orang bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia, Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu. Pernikahan di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil.(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/01/03/AG/mbm.20000103 .AG 110812.id.html). Instruksi tersebut memang tidak secara eksplisit mencabut pengakuan atas agama Khonghucu di Indonesia. Namun akibat yang ditimbulkan antara lain beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap umat Konghuchu sebagaimana dituliskan di atas.

Banyak hak-hak sipil yang dilanggar melalui Instruksi Presiden ini. Perlakuan diskriminatif ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran(SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/740554/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang pada intinya menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Diskriminasi bagi umat Khonghucu tidak berhenti sampai di situ. Sedikitnya ada 50 peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasikan etnis tionghoa yang kebanyakan menganut agama Khonghucu. Peraturan tersebut contohnya antara lain: Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang menggunakan nama Tionghoa, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa (http://www.wikipedia.org). Selain itu hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu sebelum reformasi tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Mereka boleh meminta KTP asalkan agama yang tertulis dalam kolom agamanya bukan agama Khonghucu, pemeluk Khonghucu biasanya memilih Budha atau Kristen dalam KTP mereka(http://www.gusdur.net/Berita/Detail/?id=67/hl=id/KTP_Khonghucu_Pertama_Diterbitkan_Di_Surabaya). Peraturan lain yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa antara lain seperti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990, Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 pada 28 November 1995 yang pada intinya menyatakan bahwa agama yang diakui Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha (http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20080124154656)

Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.

Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga berkembang pesat setelah keluarnya Keppres pencabutan Instruksi Presiden yang diskriminatif tersebut. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.

Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Hampir 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu.( http://www.matakin-indonesia.org/index_indo.htm)

Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa Presiden Soeharto menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan negara Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu. (http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080205144637)

Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan. Yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam Pasal 2 dan penjelasan undang-Undang ini didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan lain yang menjamin hak-hak kependudukan bagi etnis Tionghoa adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam Pasal 106 Undang-Undang tersebut, terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman kolonial belanda. Dan dicatatnya perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama Konghucu.(http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com)

Diakuinya keberadaan etnis tionghoa dan agama Konghucu di Indonesia juga berpengaruh pada perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini, bahasa Mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini sering kali bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa bisnis. Kebudayaan Cina juga sudah mulai secara bebas dipertunjukkan di Indonesia. Kebudayaa seperti Barong Sai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan Imlek, saat ini sangat mudah ditemui di Indonesia. Pengakuan agama Khonghucu dan etnis Tionghoa di Indonesia cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Pasca reformasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di bidang kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak sipil bagi kaum minoritas seperti penganu Khonghucu di Indonesia dibandingkan dengan pada masa orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Masa orde baru adalah catatan sejarah terburuk bagi perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pada masa itu terjadi diskriminasi bagi penganut agama Khonghucu di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang pada intinya mengungkapkan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut, secara tidak langsung telah menyingkirkan agama Khonghucu yang pada sensus tahun 1976 penganutnya mencapai jumlah satu juta orang. Hal tersebut di atas telah membuat beberapa hak asasi dari penganut agama Khonghucu telah dilanggar. Kebebasan untuk memeluk agama, beribadah, hak-hak sipil, banyak dilanggar dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978. Instruksi Presiden ini seakan telah menyingkirkan umat Khonghucu.Hal ini masih diikuti beberapa pengaturan lain yang makin mediskriminasikan umat Khonghucu

Selama lebih dari 20 tahun umat Khonghucu terombang-ambing dengan ketidakpastian. Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang berkaitan dengan agamnya tanpa rasa takut lagi.

Pengakuan Khonghucu sebagai agama membawa dampak yang amat banyak dalam perkembangan Hak Asasi Mansia di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada pengakuan agama saja namun juga diperbolehkannya budaya Cina untuk dipelajari dan dipertunjukkan di Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak sipil dan erpolitik, serta ekonomi sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis Tionghoa, mulai didapatkan pada era reformasi ini.

Agama Tak Perlu Pengakuan Negara

Agama Tak Perlu Pengakuan Negara
Oleh Redaksi

Beberapa agama lokal tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.

Diskriminasi agama-agama minoritas atau aliran kepercayaan selalu menjadi problem laten yang tak kunjung usai. Adanya status agama resmi dan tak resmi seiring dengan pengakuan negara yang hanya mengakui lima agama, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978, menyiratkan kesan bahwa di luar Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindhu adalah agama yang tak absah di bumi Pancasila. Sebenarnya, surat edaran tersebut telah dicabut dengan adanya Keppres No. 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.

Dalam wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KUK) dengan Dr. Chandra Setiawan, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), kita akan lebih mengetahui posisi dan kondisi agama minoritas ini. Wawancara dengan pak Chandra yang juga anggota Komnas HAM dilakukan di kantor berita Radio 68H Jakarta tanggal 22 Agustus 2002. Berikut petikannya:

Pak Chandra, sebagai Ketua Umum Matakin, Anda tentu menguasai peta “nasib” orang Tionghoa di Indonesia, terutama penganut Konfusianisme. Apakah selama ini mereka sudah diperlakukan sama dengan warganegara Indonesia lainnya?

candra1.jpgPerlakuan yang sama tanpa melihat etnis dan agama itu memang hingga kini masih memerlukan perjalanan panjang. Proses diskriminasi yang ada sekarang sudah berakar dan berjalan lama sekali, yaitu sejak 200 tahun yang lalu. Persisnya, sejak pemerintahan Hindia-Belanda, yang diikuti oleh Orde-orde berikutnya yang memerintah, terutama Orde Baru. Dari pengalaman itu, banyak sekali intervensi negara terhadap kehidupan beragama, termasuk dalam hal kebebasan yang berkaitan dengan hak-hak sipil.

Khusus tentang agama, kita mengenal bahwa agama yang diakui hanya lima. Padahal konstitusi kita sebenarnya tidak pernah mengatur hal seperti itu. Kita tahu, pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang dalam Sidang Tahunan 2002 tidak diamandemen, jelas memberi kebebasan. Tapi dalam kenyataannya, hal itu diabaikan bukan oleh undang-undang, tapi peraturan dan keputusan menteri. Jadi, menteri di zaman Orde Baru punya kekuasaan di atas undang-undang. Bahkan, mereka bisa mewakili Tuhan, dalam artian berhak menentukan kalau ini agama dan ini bukan agama. Nah, itu sampai sekarang masih berlanjut terus.

Dalam hak-hak sipil misalnya, umat Konghucu yang mengalami perkawinan intraumat (sesama penganut Konghucu, Red), tidak dengan penganut agama lain sering mengalami banyak kendala. Kendala itu misalnya dapat dilihat dari banyaknya kantor catatan sipil yang tidak mau mengurus perkawinan intraumat (Konghucu) dengan dalih belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak dan Juknis).

Jadi sampai sekarang perkawinan kawin intraumat Konghucu tidak bisa dicatat di kantor catatan sipil?

Ya, sampai sekarang ada kendala di banyak daerah, meski tidak semua. Di daerah Batam misalnya, sudah beres semua. Mungkin karena etnis Tionghoa yang beragama Konghucu di sana berjumlah lumayan. Tapi di Surabaya, kota sebesar itu, sampai sekarang masih ada umat kita yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN. Sebab, kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka, dengan alasan Konghucu belum diatur.

Belum diakui sebagai agama atau bagaimana?

Ya, mungkin bahasanya kurang lebih seperti itu. Prinsipnya, mereka tidak mau mencatatkan karena tidak adanya aturan oleh Menteri Dalam Negeri. Jadi, menteri tidak mengeluarkan aturan bahwa perkawinan di luar lima agama resmi bisa dicatatkan. Nah ini masih menimpa umat Konghucu dan umat lain seperti penganut aliran kepercayaaan misalnya.

Beberapa agama lokal pun tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.

Kembali ke soal perundang-undangan, khususnya tentang pencatatan sipil. Adakah peraturan-peraturan lainnya yang bersifat diskriminatif atas kaum minoritas?

Ada. Mengenai catatan sipil itu, mungkin perlu kami sampaikan, bahwa kita masih memberlakukan staatsblad produk zaman Belanda. Staatsblad yang membagi-bagi manusia menjadi golongan Eropa, Tionghoa, Indonesia Kristen dan non-Kristen. Itu masih belaku. Anda bisa bayangkan, peraturan Belanda produk tahun 1800-an masih diberlakukan hingga kini. Adapun peraturan lain yang sifatnya diskriminatif juga, yaitu kewajiban menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Itu hanya dikenakan warganegara Indonesia yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Adapun warganegara Indonesia yang keturunan Arab, Belanda atau yang lainnya, tidak dikenai peraturan itu.

Di samping itu, peraturan Departemen Agama (Depag) menyangkut pembangunan untuk tempat ibadah, sampai sekarang masih terhadang di masalah perizinan. Peraturan seperti itu sampai sekarang masih belum dicabut. Bagi sementara kalangan, departemen dalam negeri dan depag dianggap paling besar “jasanya” dalam memperlakukan kaum minoritas secara diskriminatif.

Artinya, masih ada aturan-aturan mengenai tempat ibadah yang restriktif, atau terlalu membatasi dan dianggap tidak fair oleh agama selain Islam?

Ya, hal itu masih ada dan masih berlaku sampai sekarang. Secara khusus saya sebutkan, membangun rumah ibadah saja tidak boleh. Aturan seperti itu berlaku bagi pembangunan tempat ibadah umat Konghucu seperti kelenteng. Jadi nasibnya masih seperti itu. Untuk masalah rumah ibadah itu, kita harus melalui proses panjang, baru kemudian bisa diizinkan. Mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) itu luar biasa sulitnya. Yang saya tahu, memang ada kesulitan membangun gereja misalnya.

Adakah kasus lebih kongkrit belakangan ini tentang kesulitan membangun rumah ibadah?

Yang terakhir ini belum secara kongkrit. Tapi biasanya, mendapatkan IMB itu sangat sulit. Sebab, izin itu memerlukan rekomendasi dari Depag. Dan biasanya Depag susah mengeluarkannya. Izin membuat tempat hiburan nampaknya jauh lebih mudah. Nah, terkadang juga ada sarat persetujuan masyarakat sekitar.

Meskipun negara hanya mengakui lima agama resmi, saya kira tidak ada alasan untuk tidak mencatat setiap perkawinan warga negaranya meskipun di luar lima agama resmi itu. Sebab, negara yang baik, harus memperlakukan setiap warganegaranya secara adil. Di Indonesia itu, sebetulnya tidak ada undang-undang yang mengatur jumlah agama. Tidak ada misalnya satu peraturan yang mengatakan bahwa hanya lima agama saja yang diakui. Sebab agama sebetulnya tidak perlu pengakuan negara. Agama adalah urusan pemeluknya, apakah ia mau mengakuinya atau tidak.

Anda bisa bayangkan, Indonesia ini telah merdeka sejak tahun 1945. Nah’ kalau memerlukan pengakuan negara, berarti sebelum tahun 1945, tidak ada agama di Indonesia. Padahal agama sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan itu lebih awal dari adanya negara.

Bahkan, Konghucu muncul jauh sebelum Islam?

Ya, Konghucu muncul sejak lima ribu tahun yang lalu.

Kalau begitu, dari mana muncul aturan agama yang diakui negara dan tidak?

Ceritanya sebenarnya begini. Tahun 1978, Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan surat edaran mengenai tata cara pengisian kolom agama di KTP. Di situ disebutkan, bahwa hanya lima agama yang diakui resmi oleh pemerintah. Bagaimana KTP mereka yang menganut selain lima agama itu? Di KTP mereka dicantumkan tanda buka kurung, lalu strip, lalu tutup kurung. Seperti ini: (—). Nah, ketentuan seperti itu, sebetulnya sudah dicabut pada 31 Maret tahun 2000 yang lalu.

Tapi sampai sekarang memang masih berlaku di banyak tempat. Sebabnya beberapa kelurahan atau kecamatan tidak memiliki juklak (petunjuk pelaksana, Red) untuk melaksanakan itu. Inilah bentuk hipokrisi. Kita tahu, PBB saja mengakui semua agama dan kepercayaan lokal. Di Indonesia ini, kalau diteliti, sudah ada kira-kira 11 agama selain lima yang “diakui” negara: seperti Bahai, Konghucu, Yahudi, Sikh dan lain-lain. Di Surabaya sudah ada sinagoge yang berdiri.

Soal perkawinan intraumat Konghucu dan juga perkawinan antaragama selalu menimbulkan problem pelik. Baru-baru ini, artis Yuni Shara harus keluar negeri untuk menikah secara sah. Bagaimana menurut Anda?

Menurut saya, perlu pencatatan semua perkawinan. Sebab, tugas catatan sipil itu ‘kan pencatatan. Perkawinan yang sah itu perlu dicatat, sehingga kita tahu persis mana penduduk kita yang kawin dan lain-lain. Itu kita perlukan sebagai manifestasi negara yang beradab. Tadi saya sebutkan, bahwa negara ini lebih senang melihat warganya melakukan praktik kumpul kebo. Saya jadi heran, mengapa negara yang beradab ini menjadi begitu. Kesimpulan saya, memang pengamalan Pancasila bagi kalangan birokrat terkesan masih jauh panggang daripada api. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita memfungsikan kantor catatan sipil sebagai apa? Kalau fungsinya pencatatan, semestinya ‘kan dicatatkan. Dia mau kawin secara apa, asal ada saksinya mesti dicatatkan.

Dalam contoh yang riil, saya prihatin menyaksikan kasus Yuni Shara. Selama lima tahun dia menunggu perkawinannya. Dan akhirnya, perkawinan itu pun dilaksanakan di Australia. Kasus Yuni Shara dan sejenisnya memang ada keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang itu memang mengatakan bahwa perkawinan itu sah bila dilakukan secara agama, dan agamanya pun harus sama. Sebetulnya, kendala perbedaan agama itu bisa diselesaikan dengan meminta penetapan peradilan seperti kasus Jamal Mirdad dan Lidya Kandow. Yang mengurusi itu adalah Pengadilan Negeri. Setelah mendapat pengesahan Pengadilan Negeri baru kantor catatan sipil mencatatkan.

Tapi karena orang yang terkait kasus itu merasa begitu rumit menjalani hal itu, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan perkawinan di luar negeri. Mereka lari ke Singapura atau negara lainnya, sehingga perkawinan mereka bisa didaftarkan. Pelarian itu ‘kan hanya bisa dilakukan mereka yang mampu membeli tiket ke sana. Dan itu juga pemborosan devisa. Kita sebetulnya harus malu; kok hal sepele yang menyangkut hak asasi seperti perkawinan ini harus sedemikian rumit. Mestinya, kita memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganegara, apapun agama, ras dan etnisnya.

Pak Chandra, apakah Matakin sudah melakukan usaha-usaha untuk melawan peraturan yang diskriminatif ini?

Kita tidak memakai kata melawan, karena konotasinya kekerasan. Kita menggunakan jalur nonkekerasan saja. Dalam artian, kita melayangkan surat ke presiden. Kita melaporkan kepada presiden sejak presiden dahulu sampai presiden sekarang; sejak Soeharto, lalu Habibie, Gus Dur dan Ibu Megawati. Surat itu sebetulnya berisi hal-hal menyangkut hak-hak sipil terutama umat Konghucu. Masalahnya termasuk menyangkut persoalan perkawinan yang dipersulit. Misalnya mengapa kantor catatan sipil tidak mau melayani perkawinan umat Konghucu sama-sama Konghucu. Dan sampai sekarang, surat itu belum mendapatkan tanggapan sama sekali.

Yang ingin saya tanyakan, apa yang telah dilakukan Matakin untuk mengubah perundang-undangan yang masih kurang ideal itu, selain menyurati Presiden?

Kita memang berharap, di Indonesia ini ada undang-undang antidiskriminasi. Artinya, undang-undang itu memberikan tempat yang sama, bukan hanya bagi umat Konghucu, tapi bagi siapa saja. Karena kita sudah sangat tertinggal kalau dibandingkan dengan negara-negara luar. Bahkan, kalau kita bandingkan dengan negara komunis pun, kita kalah dalam hal pelayanan hak sipil. Hal semacam ini ‘kan ironis. Sebagai sebuah negara Pancasila, kita masih mendiskriminasi kelompok minoritas; agama kita batasi. Padahal, PBB misalnya, mengakui adanya 14 agama besar dunia yang masih tetap hidup sampai sekarang dan ada pemeluknya. PBB juga memberikan tempat bagi penganut kepercayaan lokal (indegenous beliefer). Tapi di Indonesia yang seharusnya memberi tempat untuk itu masih diperlukan waktu untuk bisa menerapkan bagi kita semua. Ironisnya, sejumlah hak-hak sipil semacam perkawinan pun harus dihalangi! Bahkan mengisi KTP-pun orang disuruh munafik.

Bagaimana bentuk kemunafikan itu?

Bentuknya, mereka disuruh memilih salah satu dari agama yang diakui negara. Padahal, agamanya bukan salah satu dari agama “resmi” yang berjumlah lima itu. Jadi, kita diajari menjadi orang munafik. Maka saya pikir terlalu banyak hal-hal substansi yang seharusnya kita benahi. Untuk melakukan itu, pemerintah harus betul-betul mereformasi perundang-undangan agar tidak diskriminatif. Semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif harus dicabut. Itu penting agar rakyat lebih mempunyai kepercayaan diri, sehingga mereka lebih aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Kalau pada praktek di lapangan saja masih ada perlakuan yang diskriminatif, tapi nasionalisme mereka tetap tinggi, apalagi bila diberi perlakuan yang sejajar. Saya yakin, sekiranya mereka di uwongkan (diorangkan), diperlakukan sama, maka partisipasi dalam pembangunan akan lebih meningkat.

Sebagai anggota baru Komnas HAM, apakah Anda akan memperjuangkan ini?

Saya pikir itu menjadi concern kita bersama. Misalnya bagaimana melahirkan undang-undang catatan sipil yang sekarang ini masih berupa rancangan yang mau diajukan. Undang-undang sipil juga harus betul-betul menempatkan fungsi kantor catatan sipil dan fungsi negara secara benar. Kemudian, rancangan undang-undang antidiskriminasi juga harus ada. []

proposal oscaar 2010

Project Proposal
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel Surabaya
A. DASAR PEMIKIRAN
Maraknya sebutan fundamentalisme yang dikaitkan kepada agama, khususnya Islam secara tidak langsung menyudutkan dan mematikan agama. Agama (baca: Islam) yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, justru dituduh sebagai sarang teroris yang mengancam dunia. Ketakutan sebagian orang akan meluasnya terorisme dan fundamentalisme agama semakin jelas. Pemerintah dan berbagai organisasi berjuang membendung merebaknya fundamentalisme dan terorisme. Memang sampai saat ini, belum ada kriteria dan standarisasi yang pasti dan jelas tentang terorisme dan terma fundamentalisme. Hanya saja, seringkali terma tersebut digunakan untuk agama, khususnya kepada Islam. Ditudingnya agama sebagai sarang teroris, kekerasan disebabkan karena tidak mencerminkan sikap agamis. Pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari sejauh mana seseorang melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan. Posisi agama semakin tersudut dan tidak menemukan relevansinya di tengah-tengah masyarakat. Agama tidak lebih dari sekedar "hantu" di siang bolong yang sangat menakutkan bagi semua orang.
Adalah wajar muncul sebutan terorisme dan fundamentalisme agama. Di akui atau tidak, bahwa terorisme dan fundamentalisme tidak diajarkan dan tidak dianjurkan oleh agama. Agama secara normatif mengajarkan kebaikan, kejujuran, toleransi dan perdamaian. Tak ada agama manapun yang mengajarkan kejahatan dan kelicikan. Akan tetapi, kemunculan terorisme dan fundamentalisme agama dipicu oleh dua hal. Pertama, respon terhadap realitas sosial yang semakin tidak manusiawi. Kemajuan teknologi dan pengetahuan yang diperolehnya justru mengancam kesejahteraan manusia.
Kedua, adanya kepelbagaian penafsiran terhadap teks keagamaan. Perbedaan interpretasi terhadapnya sebenarnya di dorong oleh berbagai aspek yaitu, karena faktor geografis, pengetahuan, biologis dan lain sebagainya. Maka dari itu, sebagai kalangan memaknai teks secara literal, rigid ada pula yang menafsirkannya secara substantif. Adanya pluralitas interpretasi terhadap teks keagamaan adalah wajar dan harus dilestarikan dengan baik sebagaimana yang telah terjadi pada masa silam. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran keanekaragaman pemahaman terhadap teks agama.
Kelompok fundamentalis dalam memandang teks keagamaan terlalu kaku. Penafsiran yang literal, rigid ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami ajaran agamanya secara benar dan baik. Akan tetapi, kelompok ini melupakan aspek historisitas dari teks yang ditafsirkannya. Bahkan terkadang di antara mereka menolak adanya penafsiran terhadap teks keagamaan. Sebab, teks yang merupakan kalam Tuhan tidak bisa ditafsirkan manusia yang penuh dengan dosa dan kepentingan. Baginya, tugas manusia hanya melaksanakan apa yang menjadi perintah dalam teks tersebut.

B. NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU) IAIN Sunan Ampel Surabaya.


C. TEMA KEGIATAN
Kegiatan ini bertemakan "Mempertahankan Nilai-Nilai Agama”


D. BENTUK KEGIATAN
Kegaitan ini memiliki pola-pola yang komunikatif-partisipatoris sebagaimana berikut:
- Dialog antara peserta dengan narasumber
- Diskusi
- Brainstroming


E. PESERTA
Peserta dalam kegiatan ini adalah Mahasiswa Baru Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.


F. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan Orientasi Studii Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Rabu-Jum'at, 4-6 Agustus 2008
Tempat : Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya


G. PENYELENGARA KEGIATAN
Kegiatan ini akan dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan kepanitian berdasarkan surat keputusan (SK) nomor: 015/Kep/SEMA-FU/IAIN-SA/A/VI/2010. Adapun susunan panitia sebagaimana terlampir I:


H. ANGGARAN DANA
Adapun kebutuhan dana dalam kegiatan ini sebesar Rp. 15.222.000,- (Lima Belas Juta Dua ratus Dua Puluh Dua Ribu Rupaih), Rincian dana sebagaimana terlampir (lampiran II).




I. PENUTUP
Demikian Proposal ini kami buat untuk menjadi bahan pertimbangan. Dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak sangat diharapkan guna terlaksananya kegiatan tersebut. Hal-hal yang belum tercakup dalam proposal ini akan diatur kemudian dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Atas dukungan dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 19 Juli 2010

Panitia Pelaksana
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
SEnat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Moh.Thoriqul Huda Fauzan
Ketua Panitia Sekretaris

Mengetahui,
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Joe Sidik
Presiden
Lampiran I
Panitia Studi Cinta Akademik dan Almamater
(OSCAAR)2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Pelindung :Dekan Fakultas Ushuluddin
Penanggunga jawab : Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

Panitia Pengarah (SC)
Koordinator Umum : Moh. Fathir H (AF/V)
Sekertaris I : Lia Hilyatul Masrifah (PA/V)
Sekertaris II : M.Holili Rohman (AF/V)

Koordinator Materi : Harista Hidayah Sy (AF/V)
Anggota : Izzudin Zakki (TH/V), Idris (TH/V), M.Ishaq (AF/V), Abd. Wahed (TH/V), M.Sattar (PI/V), Yayan Zubaidizzaman (AF/V), Badrul Hikam (TH/V), Ibrahim (TH/V), Lailatul Fajriyah (TH/V), Uswatu Hasanah (TH/V).
Koordinator Nara Sumber : Husnule Mubine (AF/V)
Anggota : Dhani FA (PA/V), Maisaroh Hayatin (AF/V), Mar’atus Sholihah (TH/V), Aminah (TH/V), Uswatun Hasanah (TH/V), Hidayatul Wahidah (PA/V), Suaidi (PI/V).
Koordinator Forum : Dewi Hurhasanah (TH/ V)
Anggota : Fahrur Rozi (PI/V), Zainuullah (Af/V), Fajar Ismail (PI/V), Afandi (AF/V), Ummi Kalstum (PI/V), Linatul Fitahati (PI/V), Qoid Murtadlo (TH/V), Trisnaning Ifadatus Sholihah (AF/V), Khoiruddin (AF/V), Dian Syifa’ Haninah (PA/V).

Panitia Pelaksana (OC)

Ketua : Moh.Thoriqul Huda (PA/V)
Sekertaris : Fauzan Amin (TH/III)
Bendahara : Nida’ul Fajriyah (PI/III)

Seksi- Seksi

Seksi Kesekertariatan : Seksi DPA
1. M.As’ad (AF/III) Co. 1. Ilyasin Yusuf (AF/III) Co
2. Nur Aisyah Arfan (TH//III) 2. Khafid Al-Fikri (TH/III)
3. Siti Aisyah (PA/III) 3. Nanang Tufiqul Qorib (AF/III)
4. Nurul Kaisyiyah (TH/III) 4. Ridok (AF/III)
5. Wiwin Kartika (PI/III) 5. Aqrobun Na’im (TH/III)
6. Febrina Lidya Indah Sari (PI/III) 6. Moh. Ali Kharuzim (PI/III)
7. Siti Nur Irmayanti (TH/III) 7. Syah Maghriby (PI/III)
8. Ach Muchlis 8. Ahmad Khoiri (TH/III)

Seksi Keamanan : Seksi Konsumsi:
1. Mudassir (TH/III) Co 1. Khoiril Anwar (TH/III) Co
2. Agus Zamzami (TH/III) 2. Nur Fadilatul Umaroh (TH/III)
3. Moh. Ali Kharozim (TH/III) 3. Nur Maulidiyah (PA/III)
4. Yani Damayanti (PI/III) 4. Sholehah (TH/III)
5. Erma Ana Mazidah (PI/III) 5. Imro’atul Mufidah (PA/III)
6. Hartik Agustina (PA/III) 6. Uswatun Hasanah (PI/III)
7. Fitrotun Nisa’ (PI/III) 7. Afifah (PI/III)
8. Fita Delyana Mafita (PI/III) 8. Nurul Hsanah (PI/III)
9. M.Farhan fauzi (TH/III) 9. Kholifatur R (PI/III).

Seksi Humas: Seksi Kesehatan :
1. M. Yazid (TH/III) CO 1. Elva Kurniawati (PI/III) CO
2. Dewi Zulaikha (PI/III) 2. Zuni Anita Saputri (PA/III)
3. Zainullah (AF/III) 3. Fululul Habibiyah (PA/III)
4. Efi Rahmawati (TH/III) 4. Lailatul Fitriyah (AF/III)
5. Abdus Salam (TH/III) 5. Supandi (TH/III)
6. Ach. Tholhah Al jawad (TH/III) 6. Abdullah Afifi (TH/III)
7. Eka Fidya Ratma Sari (PA/III) 7. Nuryati (PA/III).
8. Ufi Bahrul Hikam (TH/III).

Seksi Protokoler :
1. Isna Wahyu Ningsih (PI/III)
2. Ahmad Choirun Nawal (TH/III)
3. Nurul Izzah (TH/III)
4. Zakaria Habibi (PI/III)
5. fatwa Nur Azizah ( TH/III)
6. Masnida (TH/III).
Nomor : 03/Pan. OSCAAR/SEMA-FU/IAIN-SA/A/VIII/2010
Lampiran : 1 (bendel) Proposal
Hal : PERMOHONAN DANA OSCAAR

Kepada Yth.
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
Di –
T e m p a t

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam silaturahmi kami sampaikan, semoga bapak senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Sehubungan akan dilaksanakannya Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin pada:
Tanggal : 7-9 Agustus 2010
Tempat : Fakultas Ushuluddin
Maka, dengan ini kami mengharap Bapak Rektor berkenan memberikan Dana Oscaar Kedua Sebesar Rp: 6.281.000,
Demikian surat permohonan ini kami buat, atas kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, 19 Juli 2010
Panitia OSCAAR 2010


Moh.Thoriqul Huda NIda’ul Fajriyah
Ketua Bendahara

Mengetahui,
Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA-FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya




Sidik
Presiden
Lampiran II

ESTIMASI DANA
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya


A. KESEKRETARIATAN

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Sertifikat 200 lembar 3.500,- 700.000,-
2. Stiker 200 Lembar 3.500,- 700.000,-
3. Cendramata 6 Buah 75.000,- 450.000,-
3. Buku Besar 2 Buah 10.000,- 20.000,-
4. Foto Copy Formulir Oscaar 200 Lembar 100,- 20.000,-
5. Stempel oscaar 1 Buah 35.000,- 35.000,-
6. Tinta Stempel 2 Buah 15.000,- 30.000,-
7. Bantalan stempel 1 Buah 7.500,- 7.500,-
8. Tinta Printer 2 Buah 25.000,- 50.000,-
9. Kertas A4 1 Rem 33.000,- 33.000,-
10. Pen 3 Buah 3.000,- 9.000,-
11. Penggaris Besar 2 Buah 3.000,- 6.000,-
12. Map 3 Buah 1.500,- 4.500,-
13. Kertas Karton 10 Buah 2.000,- 20.000,-
14. Kwitansi 5 Buah 3.000,- 15.000,-
15. Spidol marker 10 Buah 6.000,- 60.000,-
16. Spidol kecil 3 Buah 2.000,- 6.000,-
17. Gunting 2 Buah 3.000,- 6.000,-
18. Note Book Peserta 200 Buah 4.000,- 800.000,-
19. Foto Copy Undangan Sidang 200 Lembar 100,- 20.000,-
20. Cocard panitia 80 Buah 3.500,- 280.000,-
21. Buku panduan 200 Buah 11.000,- 2.200.000,-
Total 5.472.000,-






B. DPA

No. Uraian Jml Satuan Harga satuan Jumlah
1. Baleho 2 buah 400.000,- 800.000,-
2. Spanduk 3 buah 150.000,- 450..000,-
3. Pin 250 buah 5.000,- 1.250.000,-
4. Batrai besar 5 buah 3.000,- 15.000,-
5. Sewa Sound System 1 Buah 100.000,- 100,000,-
6. Sewa Microfond 1 Buah 50.000,- 50.000,-
7.. Batrai kotak 3 buah 15.000,- 45.000,-
8. Kaos panitia 80 buah 35.000,- 2.800.000,-
Total 5.510.000,-


C. Konsumsi

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Makan panitia 80x6 Orang 5.000,- 2.400.000,-
2. Konsumsi Narasumber 6 orang 30.000,- 180.000,-
3. Air mineral 10 dos 14.000,- 140.000,-
4. Permen Peserta 8 Bungkus 10.000,- 80.000,-
5. Air Mineral Botol 2 dos 20.000,- 40.000,-
6. Honorer Narasumber 6 orang 200.000 1.200.000,-
Total 4.040.000,-


D. KESEHATAN

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Obat-obatan 100.000,-
Total 100.000,-

E.HUMAS

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Transport Antar Surat Nara Sumber 100.000,-
Total 100.000,-
Uraian Total
A. Kesekretariatan 5.472.000,-
B. DPA 5.510.000,-
C. Konsumsi 4.040.000,-
D.Humas 100.000,-
E. Kesehatan 100.000,-
Total Keseluruhan 15.222.000,-
Surabaya, 19 Juli 2010

Panitia Pelaksana
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya


Moh.Thoriqul Huda Nida’ul Fajriyah
Ketua Panitia Bendahara

Mengetahui,
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Joe Sidik
Presiden

Rabu, 11 Mei 2011

Biografi sunan drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.


Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Referensi :

- http://kisahkayahikmah.wordpress.com/2009/04/16/sunan-drajat-raden-qosim/
Biografi sunan drajat
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.


Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Referensi :

- http://kisahkayahikmah.wordpress.com/2009/04/16/sunan-drajat-raden-qosim/

Sabtu, 23 April 2011

interaksi sosial

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakanag
Dewasa ini kita semua menerima pendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga kepribadian individu, kecakapan-kecakapannya, ciri-ciri kegiatannya baru menjadi kepribadian individu yang sebenar-benarnya sisitem tersebut berhubungan dengan lingkungannya. Tegasnya individu memerlukan hubungan dengan lingkungannya, tanpa hubungan ini individu bukanlah individu lagi.
Disini di asumsikan bahwa interaksi dapat menjurus ke arah yang menyenangkan atau menjijikkan, tergantung pada kondisi yang menyebabkan terjadinya interaksi itu. Syarat umum terciptanya hubungan positif antara interksi dan kesenangan adalah kondisi saling menambah keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat dalam proses interaksi.
Saling menambah keuntungan ini selanjutnya mensyaratkan satu diantara dan kondisi yang berbeda : terdapat perbedaan antara kedua pihak sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka untuk saling melengkapi atau saling menambah. Dalam hal ini interaksi adalah bersifat simbiosis. Contohnya adalah pertukaran rasa hormat dan informasi di dalam organisasi formal. Orang yang bersetatus tinggi menerima penghormatan dari yang bersetatus rendah, dan orang yang bersetatus rendah menerima informasi. Atau terdapat kesamaan antara kedua pihak. Dalam hal ini interksi adalah sepadan atau konsesus, saling menguntungkan disini berasal dari kepuasan yang diterima kedua pihak karena mempunyai pilihan (preferensi) mereka sendiri yang diperkuat secara bersama.
Diantara kedua tipe interaksi itu, tipe konsensus barang kali ada yang lebIh umum dari pada tipe simbiosis. Karena itu, jika sosiologi berbicara tentang interaksi dalam arti umum,dan bagaimana hubungannya dengan status sosial, perlu di ingat bahwa interkasi tipe konsensus adalah tipe yang dominan, yakni interkasi dimana kesamaan antara kedua pihak lebih menguntungkan dari pada perbedaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskanlah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, guna mempermudah pembahasan makalah ini.
1. Definisi Interaksi Sosial
2. Interaksi Sebagai Dasar Proses Sosial
3. Unsur Dasar Interaksi Sosial
4. Ciri-Ciri Interaksi Sosial
5. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

BAB II
PEMBAHASNA
1. Definisi Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuaan individu yang lain atau sebaliknya.
Telah dikatakan bahwa interaksi sosial didahului oleh suatu kontak sosial komunikasi. Hal ini kemudian memungakinkan interaksi. Sebagai salah satu tahap penting dalam proses sosial (sosialisasi) perlu ditinjau lagi apakah sebenarnya proses sosial dan teraksi sosial itu. Harold Lasswel dan Abraham Kaplan memberi definisi tentang proses sosial sebagai berikut:
“The totality of value processesfor all the values important in sosiety”. Dari definisi Lasswell dan Kaplan menjelaskan betapa luasnya proses sosial itu, yaitu bahwa ia mencapai semua kegiatan dalam masyarakat dengan melibatkan masalah sistem nilai yang oleh individu atau kelompok diusahakn untuk disebar luaskan.
Ditinjau dari segi ini, menurut lasswell dan kaplan, setiap proses sosial melibatkan penerimaan atau penolakan dari norma-norma yang disebar secara sadar ataupun tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung. Lasswell dan Kaplan selanjutnya berpendapat, bahwa norma-norma yang dilibatkan dapat dikelompokkan dalam dua kelomok norma yang besar yaitu;
- Walfare values (Nilai kesejahteraan)
- Deference values (nilai-nilai luhur/agung abstrak)
Menurut Lasswel dan Kaplan wafare values merupakan nilai-nilai yang dianggap penting untuk hidup manusia, supaya dapat hidup layak, mempunyai pendapatan yang mencukupi keperluan sehari-hari, nilai tentang kesehatan badaniah dan tergolong pula didalamnya perasaan aman dalam memperoleh ataumelanjutkan pekerjaan, supaya hidup tetap terjamin.
Selanjutnya deference values merupakan kelompok nilai-nilai yang abstrak dan perlu diperhaikan oleh orang yang hidup dalam masyarakatnya khususnya dalam kehidupan berkelompok/sosial. Dalam kelompok niali ini tergolong masalah pengaruh-mempengaruhi, status, penghargaan terhadap orang yang lebih tinggi atau tua, nilai-nilai moral (apa yang dianggap baik, buruk, tidak jujur, terpuji dan seterusnya) seperti juga nilai-nilai yang lebih abstrak lagi, yaitu hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Inilah nilai-nilai yang selalu terlibat dalam setiap interaksi social yang harmonis dapat dicapai.

2. Interaksi Sebagai Dasar Proses Sosial
Didalam pembahasan mengenai bidang telaah, telah dinyatakan bahwa roses sosial meruakan salah satu acara pokok pembahasan dalam sosiologi. Dengan proses sosial di maksud adalah pengaruh timbal balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Kehiduapan bersama itu dapat dilihat dari beberapa segi atau aspek, yaitu adalah segi kehidupan ekonomi, segi kehidupan politik segi kehidupan hukum, dan sebagainya. Jadi proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara, misalnya segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, segi kehidupan politik denga segi kehidupan hukum, segi kehidupan hukum dengan ekonomi, dan seterusnya.
Pada dasarnya yang dapat bertindak atau yang dapat berhubungan adalah manusia, yang mewujudkan suatu aktivitas. Dengan demikian, aktivitas sosial itu terjadi karena adanya aktvitas dari manusia dengan hubungannya dengan manusia lain. Oleh karena yang bertindak itu adalah manusia, maka yang dapat dinyatakan bahwa interksi sosial adalah bentuk utama dari bentuk sosial.
3. Unsur Dasar Interksi Sosial
Didalam interaksi sosial mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelomok. Alvin dan Helen Gouldner, menjelaskan bahwa intekasi adalah sebagai aksi dan reaksi antara orang-orang. Dengan demikian, terjadinya interksi apabila satu individu berbuat sedemikian rupa sehingga menimbulkan reaksi dari individu atau individu-individu yang lainya.
Kontak antar individu dengan tidak terjadi pada jarak yang dekat misalnya dengan berhadapan muka, juga tidak hanya pada jarak sejauh kamampuan pancaindra manusia, tetapi alat-alat kebudayaan manusia memungkinkan individu-individu bertindak pada jarak yang amat jauh. Dapat dicontohkan, kalau seorang pembaca, membaca tulisan seorang penulis, maka diantara penulis dan pembaca telah terjadi kontak dengan tidak memindahkan jarak antara kedua individu tadi, demikian juga seorang penelfon dan mendapat jawaban dari seorang individu diujung lain, maka telah terjadi kotak antara kedua itu, demikian dinyatakan oleh koentjaraningrat.
Sehubungan dengan komunikasi, schlegel berpendapat bahwa manusia adalah mahluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, mentafsirkan makna-makna, obyek-obyek didalam kesadarannya, dam memutuskan bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu.
Dari penjelasan diatas kita dapat menyatakan bahwa syarat terjadinya interksi adalah kontak dan komunikasi.
Menurut kimbal young, interksi sosial dapat berlangsung antara;
a. Orang-perorangan dengan kelompok atau kelompok dengan orang-perorangan (“There may be to group your group to person relation”)
b. Kelompok dengan kelompok (“There is group to group interaction”)
c. Orang-perorangan (“There is person to person interaction”)

4. Ciri-Ciri Interaksi Sosial
Apabila dilacak sesama deskripsi diatas, maka ungkapan dari Charles P. Lommis mengenai ciri penting dari interksi sosial, patut dibenarkan. Charles P. Lommis mencantumkan ciri penting dari interksi sosial, yaitu;
1. Jumlah pelaku lebih dari seorang, bisa dua atau lebih.
2. Adanya komunikasi antara pelaku dengan menggunakan simbol-simbol
3. Adanya suatu dimensi waktu yang mengikuti masa lampau, sekarang dan yang akan datang, yang menentukan sifat dari aksi yang sedang belangsung.
4. Adanya tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang diperkirakan oleh para pengamat.
Apabila interaksi sosial itu diulang menurut pola yang sama dan bertahan untuk waktu yang lama,maka akan terwuju “hubungan sosial” (social relation)
5. Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Oleh karena interksi sosial terdiri dari kotak dan komunikasi, dan di dalam proses komunikasi mungkin saja terdiri berbagai penafsiran makna perilaku, dan penafsiran makna yang sesuai dengan maksud pihak pertama akan menghasilkan suatu kondisi yang kondusif diantara kedua belah pihak yang dapat dinamakan suatu kerja sama. Tetapi, apabila penafsiran makna tingkah laku itu menyimpang atau bertentangan dengan makna yang dimaksud, kemungkinan akan menghasilkan pertikaian dan yang mungkin akan berlanjut dengan persaingan. Akan tetapi suatu pertikaian tidak mungkin berlangsung dengan lama walaupun mungkin itu ada, sebab pada suatu pertikaian akan mendapatkan penyelesian walaupun itu bersifat sementara. Suatu keadaan selesainnya pertikaian merupakan working relationship yang disebut akomodasi, dan ini dapat di pandang sebagai bentuk interksi sosial.
Dengan demikian, bentuk-bentuk dari interaksi sosial itu adalah;
1. Kerja sama
2. Pertikaian
3. Persaingan, dan
4. Akomodasi
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk umum dari interksi sosial, yaitu assosiatif dan dissosiatif. Suatu interaksi sosial yang assosiatif merupakan proses yang menuju pada kerja sama. Sedangkan bentuk interkasi dissosiatif dapat diartikan suatu perjuangan melawan seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut pernyataan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa bentuk umum interaksi sosial adalah sebagai berikut :
- Bentuk umum assosiatif, meliputi bentuk khusus
a. Kerja sama
b. Akomodasi
- Bentuk umum Dissosiatif, meliputi bentuk khusus
a. Pertikaian
b. Persaingan
1. Kerja sama
Timbulnya kerja sama, menurut Charles H. Cooley adalah apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama, dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian pada diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama.
Pada masyarakat indonesia, terdapat bentuk kerja sama yang dikenal dengan nama “Gotong Royong”. Mengenai hal ini, Koentjaraningrat membedakan antara gotong royong dan tolong menolong. Selanjutnya, dikatakan bahwa kecuali sambatan dalam bentuk produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat yang lain, ialah;
a. Aktivitas tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk pekerjaan- pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, seperti menggali sumur, mengganti dinging balik rumah, membersihkan rumah dan atap rumah dari hama tikus, dan lain sebagainya.
b. Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat untuk menyelenggarakan pesta sunatan, perkawinan atau upacara adat lain sekitar titik-titik peralihan pada lingkaran hidup individu.
c. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana.
2. Persaingan
Persaingan adalah suatu perjuangan (strunggele) dari pihak-pihak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara “fair-play” artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan.
Persaingan dapat terjadi dari segala bidang kehiduan, misalnya bidang ekonomi dan perdagangan, kedudukan, kekuasaan, percintaan, dan sebagainya. Persaingan dalam mana meliputi beberapa pihak yang melakukan persaingan, pihak-pihak yang berkompetisi disebut “saingan” (“revarly”)
Persaingan juga memberikan rangsangan tertentu. Rangsangan suatu persaingan pada dasarnya dan paling sedikit terbatas dalam tiga hal, yaitu;
a. Persaingan dapat memberi efek kemunduran bagi masyarakat. Semenjak persaingan berlangsung, beberapa hal akan goyah dan tetap akan memberikan seasana kecemasan, kehawatiran dan rasa tidak aman.
b. Persaingan, dapat membangkitkan semangat pada beberapa macam kegiatan atau aktivitas
c. Persaingan mempunyai tendensi atau kecenderungan yang mengarah pada pertikaian atau konflict.
Walaupun persaingan memunyai tendensi kearah pertikaian, namun dapat pula mendorong untuk suatu kerja sama.
3. Pertikaian
Pertikaian dapat terjadi karena proses interaksi, dimana penafsiran makna perilaku tidak sesuai dengan maksud dari piha pertama, yaitu pihak yang melakukan aksi. Pada pertentanan atau pertikaian, terdapat usaha untuk menjatuhkan pihak lawan dengan cara kekerasan (violence).
Mugkin, pertentangan atau pertikaian ini timbul persainganatau kompetisi, tetapi hal ini tidak selalu demikian. Hartono dan Hunt, menyatakan bahwa sekali pertikaian dimulai, maka proses ini sulit dihentikan. Sejak saat itu terjadi tindakan –tindakan agresif yang pada dasarnya diilhami oleh sifat bermusuhan tersebut, sehingga proses pertikaian terus berlangsung dan menumbuhkan situasi tidak menguntungkan. Pertikaian, selain mempunyai segi negatif seperti yang kita bicarakan tadi, dapat pula memberikan dapak positif. Misalnya, selain membuat para anggota kelompok itu menjadi sulit untuk mencapai dari kelompok itu (misalnya; pertikaian politk atau perusahaan) atau tidak dapat bekerja sama di dalam mencapai kesejahteraan mereka, tetapi dapat juga menumbuhkan kepemimpinan atau kebijakan baru yang dibutuhkan.
4. Akomodasi
Suatu pertikaian, tidaklah mugkin akan berlangsung untuk selama-lamanya. Pada suatu ketika pertikaian itu akan mendapatkan penyelesaiannya. Suatu keadaan di mana selesainya pertikaian, merupakan working relation ship yang di sebut akomodasi. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa akomodasi itu menunjuk pada dua arti. Pertama. Akomodasi menunjuk pada suatu keadaan dan kedua, akomodasi itu menunjuk pada proses. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha untuk mencapai penyelesaian pertikaian ; sedangkan sebagai suatu keadaan, akomodasi menujuk pada suatu kondisi selesainya pertikaian tersebut.

BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah diatas kami menyimpulkan bahwa Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Ada aksi dan ada reaksi. Pelakunya lebih dari satu. Individu vs individu. Individu vs kelompok. Kelompok vs kelompok dll. Guru mengajar merupakan salah satu contoh interaksi sosial antara individu dengan kelompok. Interaksi sosial memerlukan syarat yaitu Kontak Sosial dan Komunikasi Sosial.
Kontak sosial dapat berupa kontak primer dan kontak sekunder. Sedangkan komunikasi sosial dapat secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi sosial secara langsung apabila tanpa melalui perantara. Misalnya A dan B bercakap-cakap termasuk contoh Interaksi sosial secara langsung. Sedangkan kalau A titip salam ke C lewat B dan B meneruskan kembali ke A, ini termasuk contoh interaksi sosial tidak langsung.
Faktor yang mendasari terjadinya interaksi sosial meliputi imitasi, sugesti, identifikasi, indenifikasi, simpati dan empati Imitasi adalah interaksi sosial yang didasari oleh faktor meniru orang lain. Contoh anak gadis yang meniru menggunakan jilbab sebagaimana ibunya memakai. Sugesti adalah interaksi sosial yang didasari oleh adanya pengaruh. Biasa terjadi dari yang tua ke yang muda, dokter ke pasien, guru ke murid atau yang kuat ke yang lemah. Atau bisa juga dipengaruhi karena iklan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Sualastoga, Kaare, Deferensiasi Sosial, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1989
Susanto, S,Astrid, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Jakarta, 1983
Taneko, B, Soleman, Struktur dan Proses Sosial, CV Rajawali, Jakarta, 1984

Teori Aguste Comte

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Mengawali tinjuan kita mengenai tahap klasik dari teori sosiologi dengan Comte, merupakan suatu hal yang arbitrer. Banyak idenya sudah tidak dikembangkan lagi oleh pengikut-pengikutnya. Juga sosiologi masa kini mungkin merasa tidak berutang budi terhadap Comte sebanyak pada Emile Durkheim, yang mengikutinya selama empiris yang sudah dibayangkan Comte walaupun demikian, sumbangan Comte terhadap perkembangan sosiologi jauh lebih penting dari pada yang sering diketahui; secara kreatif dia menyusun sintesa dari banyak aliran pikiran yang bertentangan yang sudah dikembangakan oleh orang lain, dan dia sangat mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan suatu dasar empiris yang kuat (atau positif).
Dilihat secara keseluruhan karyanya mencerminkan banyak dilema dan ketegangan yang masih ada dalam usaha sosiologi misalnya, ketegangan antara stabilitas dan kemajuan, antara perspektif ilmiah deterministis dan perspektif moral yumanistik. Comte lah yang memberikan istilah “Sosiologi” untuk menggantikan istilah yang mulanya dinamakan “fisika sosial”, yang ditolaknya ketika Quitelet mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan studi statistik yang dirintisnya sendiri.
RUMUSAN MASALAH
1. Siapakah Auguste Comte?
2. Teori apasajakah yang dikemukakan Auguste Comte?
3. Bagaimana pendapat Auguste Comte mengenai hubungan ntara tahap-tahap intelektual dengan orgnisasi sosial?
TUJUAN
Untuk mengetahui siapa Auguste Comte, memperjelas akan teori-teori yang dikemukakanya dan memberitahukan pembagian-pembagian tahap evolusi pola pikir manusia dalam masyarakat dan orgnisasi sosial.

BAB II
PEMBAHASAN
A. SKETSA BIOGRAFIS AUGUSTE COMTE
Auguste comte lahir di Mountpelier, perancis, 19 januari 1798. Orang tuannya berstatus kelas menengah dan ayahya kemudian menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski tergolong cepat menjadi mahasiswa, ia tak pernah mendapat ijazah perguruan Negeri. Dalam setiap kelasnya Ecole Polytecnique, Comte bersama seluruh kelasnya di keluarkan karena gagasan politik dan pemberontakan yang mereka lakukan. Pemecatan ini berpengaruh dalam karir akademis Comte. Tahun 1817 ia menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) Saint-Simon, filsof yang 40 tahun lebih tua. Mereka bekerjasama sangat akrab selama beberapa tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada Saint-Simon, ia memberikan dorongan sangat besar kepada ku dalam studi filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan pemikiran filsafat ku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidup ku.
Comte terkenal mempunyai daya ingat yang luar biasa, berkat daya ingatnya ia mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis di satu halaman buku yang sekali di baca kemampuan yang sedemikian rupa sehingga ia mampu mengungkapkan keseluruahan isi sebuah buku yang akan ditulisnya tanpa harus menulisnya. Kuliahnya di sajikan tanpa berbekal catatan, bila ia duduk untuk menulis buku, ia menuliskan segalanya dari ingatan. Tahun 1826 Comte membuat sebuah catatan-catatan yang kemudian menjadi bahan kuliah umum sebanyak 72 kali tentang pemikiran filsafatnya. Ceramah itu dilakukan dirumahnya sendiri kuliah itu menarik minat kalangan orang terpandang. Tetapi setelah jalan tiga kali kuliah itu terhenti karena comte mengalami gangguan syaraf. Sejak itu ia terus terserang ganggua mental. Di tahun1827 ia mencoba bunuh diri dengan mencebur ke sungai Saine, untungnya ia selamat.
Pada tahun 1823 ia diberi jabatan sebagai asisten dosen, tahun 1837 ia diberi pekerjaan tambahan akhlak untuk menguji. Comte berkosentrasi menulis 6 jilid buku yang membuatnya sangat terkenal, berjudul Cour de Philosophie Positive, yang akhirnya diterbitkan secara utuh pada 1842 jilid pertama terbit tahun1830. Pada 1844 jabatan asisten dosennya di perpanjang, tahun 1851 ia menyelesaikan 5 jilid yang berjudul System Politique Positive. Yang mengandung pemikiran lebih praktis dan menawarkan rencana besar mengorganisasi masyarakat. Dan setelah itu pada 5 september 1857 Comte meninggal dunia.
B. Perspektif Positivistis Comte Tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan istilah”positivisme”, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat menggunakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebarluas dilingkungan dia hidup. Skeptisisme Comte yang berhubungan dengan usaha-usaha pembaruan besar-besaran serta penghargaanya terhadap tonggak-tonggak keteraturan tradisional mengakibatkan dia dimasukkan kategori orang konservatif.
Comte melihat masayarakat sebagai sesuatu yang keseluruhan organik yang kenyatannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian yang tergantung. Comte menempatkan dunia ide sebagai sebagai pokok persoalan studi sosiologi, ia lebih menekankan ide keteraturan masyarakat (social order) dari pada berusaha melakukan penelitian empiris. Tetapi untuk mengerti kenyataan ini, metode penelitian empiris digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan sesuatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik. Andreski berpendapat, “pendirian Comte bahwa masayarakat merupakan bagian alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masayarakat menurut penggunaan metode-metode penelitian dari empiris dan ilmu alam lainya”. Merupakan sumbanganya yang tak terhinngga nilainya terhadap perkembangan sosiologi. Tentu saja keyakinan inilah, dan bukan substantifnya tentang masyarakat yang bernilai bagi usaha sosiologi sekarang ini.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses intelektual yang logis melalui mana semua ilmu-ilmu sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metafisik, sampai ke terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif. Bidang sosiologi (atau fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap-tahap ini, karena pokok permasalahanya lebih kompleks dari pada ilmu fisika dan biologi.
Mengatasi cara-cara berfikir mutlak yang terdapat dalam tahap-tahap pra-posirtiv, menerima kenisbian pengatahuan kita serta terus menerus terbuka terhadap kenyataan-kenyataan baru, merupakan ciri khas yang membedakan pendekatan positiv yang digambarkan Comte.
Dalam konteks kemasyarakatan Comte, dapat dipahami bahwa tujuan utama sosiologinya ialah mengalami konstruksi kemasyarakatan masyarakat modern secara revolusioner (seperti menghentikan disorganisasi moral). Ia tertarik dengan organisasi masyarakat dalam konteks humanisme positivistik filsafahnya.
Sejak melakukan fondasi terhadap masyarakat, gagasan sosiologinya menekankan pada tuntutan moral. Ia berusaha mengembangkan ”fisika sosial” yang akan melahirkan hukum-hukum sosial dan reorganisasi sosial, sesuai dengan sistem Comte yang banyak bernilai dan dipandang sebagai hal yang sangat natural.
Menurut Comte, alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tak terlihat (invisable natural) sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang dominan.
Comte juga membagi sistem sosial menjadi dua bagian penting, yaitu masyarakat dan hukum-hukum keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dan yang kedua adalah dinamika sosial atau hukum-hukum perubahan sosial. Yang mendasari sistem ini adalah naluri kemanusiaan yang terdiri dari atas tiga faktor utama tersebut ialah:
1. Naluri-naluri pelestarian (naluri seksual maupun material)
2. Naluri-naluri perbaikan (dalm bidang militer dan industri)
3. Naluri sosial (kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta )
Diantara ketiganya ada naluri kebanggaan dan kesombongan.
I. Metodologi
Menurut Comte, metode positif mengarah pada perkembangan kebenaran organis (kebenaran yang paling tinggi). Metode ini mengembangkan penggunaan observasi (penelitian), percobaan (exsperiment), serta perbandingan untuk memahami keseluruhan statisika dan dinamika sosial, metode-metode tersebut memberi gambaran terhadap hukum-hukum sosial melalui eksperimentasi, baik secara langsung maupun tak langsung, sebagai halnya evolusi masyarakat secara umum, dengan cara ini Comte sebagaimana metodologi yang mengarah perkembangan yang lebih luas terhadap model teorinya yang didasarkan organik dan natural, yaitu pada asumsi-asumsi organik dan natural.
II. Tipologi
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, Comte membagi model masyarakat menjadi dua bagian utama, yaitu model masyarakat statis dan masyarakat yang dinamis yang menggambarkan struktur kelembagaan masyarakat dan prinsip perubahan social. Adapun unsur-unsur masyarakat statis meliputi:
1. Sifat-sifat sosial, yang didalamnya berisi tentang agama, seni, keluarga, kekayaan dan organisasi sosial
2. Sifat kemanusian, meliputi naluri, emosi, perilaku dan intelegensi
Sedangkan unsur-unsur masyarakat dinamis terdiri atas:
1. Perubahan social dan faktor-faktor yang behubungan dengan tingkatan kebosanan masyarakat, usia harapan hidup, perkembangan hidup
2. Tingkat perkembangan intelektual yang sangat cepat.

C. Hukum Tiga Tahap Comte tentang Proses Evolusi Manusia
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa peradaban perancis abad ke-19 yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari gagasan-gagasan teoritis pokok Comte tidak lagi diterima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tidak dapat benar-benar tunduk terhadap pemgujian empiris secara teliti, yang menurut Comte harus ada untuk mmbentuk hukum sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatkan bahwa masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini dtentukan menurut cara berfikir yang dominan teologis, metafisik, dan positive. (Ingat bahwa masing bidang-bdang ilmu melalui tahap-tahap ini juga). Lebih lagi, pengaruh cara berfikir yang berbeda-beda ini meluas kepola kelembagaan dan organisasi sosial masyarakat. Adi watak stuktur sosial masyarakat bergantung pada gaya etimologisnya atau pandangan dunia, atau cara mengenal dan menjelaskan gejala yang dominan.
• Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Dari studi mengenai perkembangan inteligensi manusia, di segala penjuru dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar,… Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju-setiap cabang pengetahuan kita-berturut-turut melalui tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif: metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain pikiran manusia pada dasarnya, dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda dan malah sangat bertentangan… yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia; Yang kedua suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah pemahaman dalam keadaan yang asli dan tak tergoyahkan.
• Karakter yang khusus dari ketiga tahap ini disajikan secara singkat sebagai berikut:
Dalam fase teologis, akal budi manusia, yang mencari kodrat dasar manusia, yakni sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat, pengetahuan absolute mengandaikan bahwa gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supernatural, Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang pertama, akal budi mengandaikan bukan hal sipranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda (abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasi), dan yang mampu menghasilkan semua gejala. Dalam fase terakhir, yakni fase positif, akal budi sudah meniggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian absolute, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabumgkan secara tepat, merupat sarana-sarana pengetahuan ini.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politisme, dan monoteisme,. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua bena memiliki kelengkapan kekuatan hidup sendiri. Akhirnya fetisisme diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supernatural yang meskipun berbeda dengan benda-benda alam, namun terus mengontrol semua gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tiggi. Katolisisme di abad pertengahan meperlihatkan puncak tahap monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semangat teologis ke munculnya semangat metafisik yang mantap. Satu manifestasi yang serupa dari semangat ini dinyatakan dalam Declaration of Independence: “ kita menganggap kebenara ini jelas dari dirinya sendiri…” Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sagat mendasar dalam cara berfikir metafisik.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivism memperlihatkan suatu keterbukan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan dipeluas. Akal budi penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih dari pada kemutlakan metafisik.
Metode positif memungkinkan seseorang untuk menemukan dan memahami hukum-hukum alam dan gejala-gejala sosial, sehingga mampu mengembangkan potensi intelekual dan tatanan moral yang akan menyatukan kemajuan dan keteraturan bertentangan dengan situasi kacau yang masih berlangsung sekarang ini, sosiologi harus merupakan ilmu yang terpadu dan menyatu, berdasarkan metode positif yang secara langsung memberi sumbangan terhadap evolusi sebuah tatanan moral. Oleh karena itu, Comte memandang seluruh pengetahuan sebagai ilmu sosial alam dalam pengertianya yang luas karena ia menggambarakan perkembangan konteks sosial, khususnya sebagai salah satu dari tiga tahapan intelektual tersebut.

D. Hubungan antara Tahap-Tahap Intelektual dan Organisasi Sosial
Argumentasi-argumentasi Comte untuk menjelaskan hubungan-hubungan secara terperinci menekankan bahwa dalam tahap teologis, dukungan dari otoritas religius yang mengesahkan adalah perlu menanamkan disiplin sosial yang perilaku untuk kegiatan militer. Kegiatan militer diperlukan hanya karena hal itu merupakan cara yang paling menarik dan paling sederhana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materil. Juga mentalitas teologis dan militer, seperti yang dianalis Comte, sangat bersifat mutlaki.
Selama periode teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan (meskipun ada kelompok-kelompok yang lebih besar yang didirikan untuk kegiatan militer, atau sebagai hasil dari pengadaan militer). Dalam periode metafisik Negara-negara menjadi suatu organisasi yang dominan. Comte optimis bahwa munculnya tahap positif, nasionalisme akan digantikan dangan keteraturan sosial yang meliputi humanitas seluruhnya. Terkandung dalam diskusi mengenai arti sosial dari ketiga fase ini. Adalah pengaruhnya terhadap perasaan manusia. Sehubungan dengan evolusi intelektual, ada evolusi perasaan yang dibatasi oleh lingakaran yang makin lama makin luas dengan mana individu menentukan ikatan-ikatan emosionalnya. Pada tahap awal manusia dikenal terutama dengan keluarganya; kemudian ikatan emosional meluas; akhirya manusia terasa terikat dengan humanitas keseluruhannya.
Comte mungkin mau menjelaskan bagaimana penjelasan-penjelasan religius mengenai berbagai gejala disebagian besar kalangan penduduk modern masih diberikan dengan cara ini. Tetapi kebanyakan ahli sosiologi agama masa kini akan mengemukaan bahwa pemikiran agama modern berorientasi dunia pengetahuan yang berbeda secara kualitatif dari ilmu pengetahuan ; miasalnya, ilmu berhubungan dengan penjelasan mengenai gejala empiris, tetapi agama berhubungan dengan pertanyaan tentang arti tujuan hidup, yang tidak biasa dijawab dengan metode-metode ilmiah.
Cepatnya perubahan dari satu tahap intelektual ke yang berikutnya, berlainan dalam periode sejarah yang berbrda-beda. Beberapa periode ditandai dengan stabilitas yang agak tinggi, apabila konsensus atas dasar kepercayaan dan pandangan-harmonis pandangan adalah relatif tinggi, dan organisasi sosial, struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi materil memperlihatkan suatu tingkat saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya periode-periode dimana perubahan yang pesat dari suatu tahap (tahap kecil) ke tahap berikutnya sedeang terjadi, ditandai oleh kekacauan intlektual dan sosial.
Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang dari suatu tahap ke tahap berikutnya, berbagai faktor sekunder dapat mempercepat atau menghambat, misalnya pertumbuhn penduduk. Proses evolusi dapat dihambat oleh dominasi filsafat yang berkepanjangan, yang merupakan kiblat dari usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan mengemukakan kembali metode yang cocok dengan periode sebelumnya. juga dapat dihalangi oleh usaha untuk mengadakan perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka menghancurkan keteraturan sosial yang mendasar yang perlu untuk kemajuan intelektual atau sosial.
Comte sangat tajam dalam mencela mereka yang mau mengubah masyarakat tanpa secukupnya sadar akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai kemajuan atau sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dari tahap-tahap sebelumnya. Mereka yang mau meningkatkan kemajuan tanpa sadar akan persyaratan-persyaratan keteraturan, sebenarnya mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis.
E. Prinsip-prinsip Keteraturan Sosial
Analisa Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivism, tetapi yang menyagkut perasaan dan intelek.
Satu sumbangan sosial Comte yang penting dari tahap perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan konsensus intelektual. Konsensus terhadap kepercayaan-keparcayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat. Karen kebanyakan sejarah manusia berada di bawah dominasi cara berpikir teologis, tidak mengherankan kalau agama dilihat utama sebagai sumber solidaritas sosial dan konsensus. Selain ini isi kepercayaan agama mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial.
Pentingnya agama dalam mendukung solidaritas sosial dapat dilihat dalam kenyataan bahwa otoritas politik dan agama biasanya berhubungan erat. Singkatnya secara tradisional agama sudah merupakan institusi pokok yang mementingkan akulturism dari pada egoism.
Comte berpandangan bahwa, individu sedemikian besarnya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala sosial alamiah yang dapat diruntut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitive. Tetapi pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi menjadi lebih kompleks karena bertambahnya pembagian kerja.























BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Penjelasan dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa August Comte merupakan anak keluarga katolik yang terkenal dengan kepandaiaya dalam masalah filsafat positifistik.
Teori-teori comte merpakan contoh yng sama dri type mekanis eorik dan organik. Dalam menaggapi kekacaun politik dalam masanya, dalam posisi ada tradisi pencerahan filsafat, ia mengembangkan model naturalisik dan konservativ dari realitas sosial yang didasarkan pada sumsi determanistik dan anturlistik yang menyankut gejala sosial. Menurur ahli teori ini, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada seperangakt nilai sosial terentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri kemanusian sebagai dasar dari tata aturan alam.
Struktur-struktur sosial sebga satu kesatuan yang berkembang melalui tiga tahapan utama, tahapan teologis, metafsis, dan pisitivistis sebagai proses peradaban dan pengaruh faktor-faktor tertentu, sepeti keboosanan, harapan hidup, sifat-sifat populasi, mengubah pondasi masyarakat dari tatanan naluri yang rendah menuju tatanan yang tinggi dan mengarah pada penekannan yang lebih bersifat intelektual dan positiv.










DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka
Kinloloch, Graham C. 2005. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. Bandung: Pustaka Setia
Ritzer, George. 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali
Ritzer, George. Goodman, Douglas J. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana