Sabtu, 09 Juli 2011

Perlukah negara tetapkan status agama?
Terbaru 5 April 2011 - 04:50 GMT

Facebook
Twitter
Kirim kepada teman
Print page

Umat Ugamo Parmalim tengah melaksanakan ibadah mingguan di Tangerang, Banten.

Sebagian besar warga Indonesia pasti akan menjawab ada lima agama besar yang diakui negara. Kelima agama itu adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha.

Beberapa orang lainnya mungkin akan menambahkan Kong Hu Cu setelah negara mengakui Kong Hu Cu sebagai keenam.
Berita terkait

Ribuan Injil akan 'dimusiumkan'
Dialog soal Ahmadiyah tetap berlangsung
Agama diperkirakan akan mati

Link terkait

agama

Namun banyak yang tidak menyadari bahwa di Indonesia ternyata hidup banyak agama lain selain keenam agama besar itu.

Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat ratusan agama dan kepercayaan asli Indonesia masih memiliki pengikut hingga saat ini.

"Menurut data yang kami miliki ada sekitar 200-an agama dengan jumlah pengikut sekitar 9 juta jiwa," kata Direktur Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa Gendro Nurhadi kepada BBC Indonesia.

Tetapi, lanjut Gendro, angka yang disebutkannya itu bukanlah sebuah data pasti. Sebab, jumlah organisasi keagamaan asli Indonesia ini tidak menentu.

"Jumlah pastinya tidak bisa dipastikan. Karena ada agama yang setelah pemimpinnya meninggal dunia organisasinya tidak dilanjutkan," papar Gendro.

Agama-agama asli Indonesia semisal Parmalim, Sunda Wiwitan, Kapribaden dan Kaharingan sudah terlebih dulu eksis dan memiliki pengikut jauh sebelum agama-agama Samawi dari Timur Tengah dan Asia Selatan merambah Nusantara.

"Jauh sebelum agama-agama Samawi datang ke Indonesia, masyarakat Batak sudah memiliki konsep Tuhan dan kehidupan beragama. Sudah ada keyakinan kepada Tuhan pencipta alam semesta," kata salah seorang penganut Ugamo Malim atau Parmalim Maringan Simanjuntak.

Begitu pula dengan kepercayaan Kapribaden yang dianut sebagian warga etnis Jawa diyakini sudah ada sejak jaman dahulu.

Kapribaden adalah kepercayaan yang menekankan pengenalan dan pengendalian pribadi untuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini pertama kali muncul di Purworejo, Jawa Tengah.

"Jelas, kapribaden sudah ada sejak jaman dahulu, sebelum agama ada di Indonesia. Namun secara organisasi kami baru resmi terbentuk 1978 dan terdaftar di Departemen Dalam Negeri tahun 1981," kata pinisepuh Paguyuban Kapribaden Hartini Wahyono.
Salah kaprah

"Dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia"

Anick HT

Dengan kenyataan banyaknya agama-agama asli di Indonesia yang tak membuat pengakuan negara menimbulkan banyak pertanyaan.

Sebab, di Indonesia tak satupun undang-undang yang secara tegas menyebut agama-agama yang dianggap resmi dan diakui negara.

Satu-satunya peraturang perundangan yang menyebutkan nama-nama agama yang dianut rakyat Indonesia hanyalan Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama.

"Tetapi dalam penjelasannya tidak berarti agama-agama lain tidak diakui atau dilarang di Indonesia," kata Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Anick HT.

Sehingga, lanjut Anick, anggapan bahwa negara hanya mengakui enam agama resmi di Indonesia adalah salah kaprah.

"Kenapa itu salah kaprah? Sebab undang-undang itu diterjemahkan secara salah oleh pejabat-pejabat masa Orde Baru," lanjut Anick.

Anggapan adanya agama resmi, tambah Anick, berasal dari surat edaran menteri dalam negeri.

"Tapi itu konteksnya adalah soal pengisian kolom agama di KTP," papar Anick.
Tak ada larangan

Menteri Agama mengklaim negara menjamin kebebasan beragama.

Menanggapi masalah ini, Menteri Agama Surya Darma Ali menyatakan negara pada dasarnya menjamin kebebasan semua agama untuk hidup dan berkembang di Indonesia.

"Di Indonesia ini bebas, Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Sikh, Zoroaster, Tao, animisme, dinamisme kan tidak ada yang melarang. Tetapi agama-agama itu tidak bersinggungan dengan agama lain," kata menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan itu saat ditemui BBC Indonesia.

Agama-agama yang tidak disebutnya, lanjut Surya Darma, bukan berarti negara melarang mereka untuk tumbuh dan berkembang.

"Kalau sebuah komunitas menyebut kepercayaan itu sebagai agama, maka jadilah dia agama," tambah Surya Darma.

Jika menyimak penjelasan Menteri Agama itu, terkesan negara memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh agama untuk berkembang.

Namun, pada kenyataannya pemerintah malah tidak mengkatagorikan agama dan kepercayaan asli Indonesia sebagai agama.

"Pada tahun 1978, negara memasukkan agama-agama asli dimasukkan ke dalam Departemen Kebudayaan, karena dianggap sebagai sebuah budaya spiritual bukan agama," kata Gendro Nurhadi.

Sebelumnya keputusan itu, papar Gendro, agama dan kepercayaan asli Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Agama.

Uniknya, keputusan mengkatagorikan agama dan kepercayaan Indonesia ke dalam ranah kebudayaan tak dilandasi kriteria yang memadai.

“Kriteria resmi tidak ada. Kepercayaan kepada Tuhan itu bukan agama. Itu saja,” papar Gendro.

Dan nampaknya pemerintah tak menyadari bahwa keputusan tersebut berujung dengan terabaikannya hak-hak sipil warga pemeluk agama-agama yang tak dianggap resmi itu

Pengakuan negara atas Kong Hu Cu

Pengakuan negara atas Kong Hu Cu
Terbaru 7 April 2011 - 04:58 GMT

Facebook
Twitter
Kirim kepada teman
Print page

Masyarakat Kong Hu Cu di Singkawang merayakan hari raya Cap Go Meh.

Walaupun sudah ada di nusantara selama ratusan tahun, pengakuan resmi dari negara terhadap agama Kong Hu Cu baru datang pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di tahun 2000.

Selain memberikan pengakuan, Gus Dur juga membebaskan masyarakat Kong Hu Cu yang notabene adalah keturunan Cina untuk menjalankan ibadah agamanya secara terbuka dan merayakan hari keagamaan mereka.
Berita terkait

Perlukah negara tetapkan status agama?
Hak-hak sipil yang terabaikan

Fakta ini, menurut Direktur Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Gendro Nurhadi menjadi acuan sebagian besar penganut agama dan kepercayaan asli Indonesia. Mereka ingin, negara mengakui agama dan kepercayaan asli Indonesia, seperti halnya pengakuan terhadap Kong Hu Cu.

"Kong Hu Cu aja bisa diakui.. saya yagg asli kata mereka, saya yang asli (kenapa) enggak? Ini memang salah satu motivasi mereka kesana jadinya," ujar Gendro Nurhadi.

Namun menurut Anick HT, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace, tidak semua penganut agama asli ingin diakui secara resmi. Menurutnya keinginan mereka cukup sederhana, yaitu kebebasan dalam menjalankan ibadahnya.

"Yang penting mereka dilindungi dalam beribadah dan tidak dipaksa-paksa....asal tidak dituduh komunis asal tidak dipaksa menjadi kristen atau Islam dan lain sebagainya," kata Anick HT,

"Yang penting mereka dilindungi dalam beribadah dan tidak dipaksa-paksa...asal tidak dituduh komunis asal tidak dipaksa menjadi Kristen atau islam dan lain sebagainya"

Anick HT, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace

Kong Hu Cu selalu menjadi contoh sukses sebuah kepercayaan yang awalnya tak diakui negara namun kini duduk sejajar dengan agama-agama besar lain di Indonesia. Bagaimana para penganut Kong Hu Cu memperjuangkan pengakuan negara atas agama mereka?
Puluhan tahun dilarang

Selama puluhan tahun, rezim Orde Baru melarang kesenian barongsai dan tradisi Tionghoa lain termasuk agama Kong Hu Cu untuk ditampilkan secara terbuka. Padahal, diyakini tradisi Tionghoa sudah masuk ke Indonesia bersamaan dengan migrasi manusia dari wilayah selatan Cina ke Asia Tenggara termasuk Indonesia sekitar 5.000 tahun lalu. Bahkan, sekolah agama Kong Hu Cu pertama di Jakarta berdiri pada awal abad ke-17. Dan secara organisasi sudah eksis sejak 1901.

Sebenarnya, menurut Sekjen Kementerian Agama Bahrul Hayat , pemerintah tidak memiliki wewenang memberi pengakuan terhadap sebuah agama termasuk Kong Hu Cu. Untuk kasus agama masyarakat Tionghoa ini, Bahrul menyatakan pemerintah hanya mencabut larangan yang diberlakukan di masa Orde Baru.

Penjelasan ini diamini Anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), Budi S Tanuwibowo. Indonesia, lanjut Budi, pernah mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Pengakuan ini diperkuat Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 yang dikukuhkan dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1969. Di masa ini Orde Baru sudah berkuasa, sehingga artinya kata Budi, pemerintahan Soeharto mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu. Uniknya, pada tahun 1967 terbit instruksi presiden yang isinya melarang semua jenis tradisi Tionghoa termasuk Kong Hu Cu dilaksanakan secara terbuka. Dan inpres inilah yang kemudian menjadi awal perlakuan diskriminasi terhadap Kong Hu Cu:

Arus balik untuk Kong Hu Cu tiba ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden Indonesia. Di masa pemerintahan Gus Dur, inpres yang melarang kegiatan terbuka tradisi Tionghoa dicabut. Bahkan untuk pertama kalinya perayaan tahun baru Imlek digelar secara nasional.

Dari fakta ini, maka jelaslah bahwa sebelum masa Orde Baru pemerintah sudah mengakui keberadaan Kong Hu Cu sebagai sebuah agama. Pemerintah hanya mengembalikan status Kong Hu Cu yang dibekukan oleh rezim Soeharto.

Fakta ini menunjukkan sulit bagi agama dan kepercayaan asli Indonesia mengharapkan pengakuan dari negara

Jumat, 03 September 2004

Jumat, 03 September 2004

KELENTENG-kelenteng yang meriah dengan warna merah mencolok khas simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa mewarnai sepanjang jalan di kawasan pecinan Kota Semarang. Bau yong tswa atau yang dikenal dengan hio juga mengharumkan setiap sudut jalan itu.
KELENTENG-kelenteng di sana memang tak pernah henti membakar yong tswa. Ini karena para pemeluk Konghucu selalu menyematkannya ke dalam abu yong tswa yang habis terbakar seusai menyembah para dewa yang telah memberikan kemakmuran hidup.

Tidak satu pun kelenteng di pecinan berusia muda. Di antara 10 kelenteng yang di kawasan itu didirikan pada kurun 1753 hingga 1800-an. Kelenteng Siu Hok Bio merupakan kelenteng tertua di daerah itu. Selain itu, dibangun pula Kelenteng Hoo Hok Bio, Kong Tik Soe, Tay Kak Sie, Tong Pek Bio, Liong Hok Bio, Tek Hay Bio, Wie Wie Kiong, See Hoo Kong, dan Kelenteng Grajen.
Namun, kelenteng tertua di Kota Semarang justru tidak berada di pecinan. Kelenteng tertua itu bernama Sam Poo Kong yang didirikan oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1406 di bilangan Simongan, Semarang bagian barat.
Tidak seperti pada masa Orde Baru ketika umat Konghucu tidak diperbolehkan melakukan ibadah dan melaksanakan upacara keagamaannya. Umat Konghucu di pecinan sekarang bisa bebas melaksanakan ritual agamanya dan melambungkan asap yong tswa.
Dalam waktu dekat ini, umat Konghucu di Pecinan akan mengadakan upacara King Ho Ping pada tanggal 29 bulan 7 tahun Imlek, atau 12 September 2004. Saat itu umat Konghucu membacakan doa dan mempersembahkan sesaji bagi para arwah leluhur yang tidak diterima di dunia akhirat. Upacara itu dipusatkan di Kelenteng Tay Kak Sie.
“Kami tidak bisa main-main mengadakan upacara ini. Kami harus melaksanakannya secara khidmat. Kalau tidak, kita bisa kesurupan,” tutur Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Kota Semarang Gan Kok Hwie (73).
Ia memaparkan, upacara itu akan diadakan dalam upacara yang lumayan besar. Seusai membaca doa dan sesaji akan diadakan upacara rebutan bahan pokok makanan. “Tetapi, sekarang kami tidak lagi mengadakannya secara rebutan karena pasti banyak yang berkelahi. Karena itu, kami akan membagi-bagikan bahan pokok itu kepada masyarakat dengan kupon,” ungkapnya.
Selain sebagai tempat ibadah, menurut Gan Kok Hwie, pada masa lalu sebelum Konghucu dilarang di Indonesia, warga pecinan kerap bercengkerama di halaman kelenteng. Biasanya kesempatan itu dimanfaatkan oleh para orang tua untuk berbagi pengalaman dengan generasi muda.
Melalui perbincangan itu pula generasi muda belajar tentang falsafah hidup dari generasi tua. “Pada zaman dulu, sambil duduk-duduk di kelenteng para orang tua memberikan nasihat dan ajaran hidup kepada generasi muda dalam menjalankan hidup. Tidak seperti saat ini, generasi muda sudah tidak tahu tradisi etnis Tionghoa,” paparnya.
Meski begitu, iklim kebebasan beribadah sesuai agama Konghucu sangat disyukuri oleh Gan Kok Hwie dan umat Konghucu di pecinan. Thio Tiong Gie (75), satu-satunya dalang wayang Po Te Hi yang masih ada di Kota Semarang, juga sangat mensyukuri itu. “Pada masa ini, kami bisa bebas sembahyang ke kelenteng dan mengadakan upacara. Kami sudah cukup merasa senang dengan itu semua,” tuturnya.
Meski Pemerintah Indonesia sudah memberikan kebebasan itu, tetapi umat Konghucu masih merasa terusik oleh anggapan miring tentang agama mereka. Mereka juga sedang dihadapkan pada permasalahan keberlangsungan agama ini karena generasi muda etnis Tionghoa di pecinan sudah banyak berpaling ke agama lain.
“Anak-anak saya tidak satu pun yang beragama Konghucu. Saya tidak bisa berbuat apa- apa karena mereka masuk agama Kristen karena mereka masuk sekolah swasta Kristen. Lagi pula, pada masa Orde Baru kami tidak boleh menjalankan upacara Konghucu sehingga sedikit sekali tradisi agama ini yang bisa kami ajarkan kepada mereka,” tutur Gan Kok Hwie.
Ia mengaku sempat sakit hati terhadap anak-anaknya karena tidak sudi lagi masuk ke kelenteng. “Mereka bilang, kelenteng tidak bagus karena menyembah patung. Padahal, saya sudah meminta mereka untuk bisa menghormati agama yang saya anut,” ungkapnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Ny Liem Man Fung (41). Ibu rumah tangga beranak dua ini kerap menghadapi pertanyaan anak-anaknya tentang kebenaran agama Konghucu.
“Anak saya kerap bertanya, apakah Konghucu adalah agama setan? Teman-teman mereka selalu bilang kepada anak saya bahwa kelenteng tempat berkumpulnya setan. Tetapi, saya ajarkan kepada anak saya bahwa Konghucu tidak pernah mengajarkan seperti itu. Pada dasarnya, agama apa pun adalah sama. Hanya saja caranya yang berbeda,” tuturnya.
Ny Liem mengaku, meski sudah dibebaskan menganut agama Konghucu, umat Konghucu masih harus terus berjuang karena kenyataannya kalangan umum belum bisa menerima agamanya. “Saya percaya ajaran Konghucu, yaitu yang terpenting dari manusia adalah pikiran, hati, dan perbuatan. Tidak akan ada gunanya ibadah kita setiap hari kalau ketiga unsur itu tidak dijaga. Pesan- pesan itu yang selalu saya sampaikan kepada teman dan saudara yang menilai miring agama Konghucu,” paparnya.
Thio Tiong Gie menambahkan, “Konghucu tidak pernah membeda-bedakan manusia ataupun agama. Ada satu falsafah dari Nabi Konghucu: di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara. Satu lagi; hanya kebajikan Tuhan (yang) berkenan,” tuturnya.
Ny Liem mengakui selama ini agama Konghucu kurang dikenali oleh generasi muda karena ajaran agamanya tidak disosialisasikan dalam ceramah.
“Di dalam agama kami memang tidak ada aturan untuk beribadah secara tepat. Cara- cara itu tergantung pada adat istiadat yang berkembang di suku-suku di dalam etnis Tionghoa. Tetapi saya sadar, ceramah untuk membina generasi muda sangat diperlukan untuk meneruskan agama ini ke generasi muda,” tuturnya.
Ceramah-ceramah dan sekolah agama saat ini di antaranya yang sedang digarap oleh Gan Kok Hwie di Kelenteng Tay Kak Sie . Sebagai Ketua Makin Kota Semarang, dia merasa bertanggung jawab untuk membina umat Konghucu dan mempertahankan generasi muda agar kembali ke kelenteng.
“Baru satu tahun ini saya mulai mengadakan ceramah bagi umat dan mengadakan sekolah minggu setiap Minggu untuk anak-anak. Langkah ini sebagai pembinaan keimanan bagi umat Konghucu,” tuturnya.
“Pada tahap awal ini, saya baru pembinaan bagi umat. Tahap selanjutnya kami juga akan menyebarluaskan ajaran Konghucu,” paparnya. (J02)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/daerah/1244334.htm

31 Januari 2011 Lepas dari Harimau

31 Januari 2011
Lepas dari Harimau

Alkisah, suatu ketika Nabi Konghucu dan murid muridnya diusir dari suatu kerajaan. Ketika melintas di sebuah hutan, rombongan Konghucu menjumpai seorang perempuan bersimbah air mata di samping pusara yang masih baru.

Seorang muridnya bertanya kenapa dia menangis. "Pertama, mertuaku dibunuh harimau di sini. Berikutnya giliran suamiku. Dan sekarang gantian anakku," kata perempuan itu. Kemudian Konghucu ganti bertanya mengapa dia tidak pergi meninggalkan hutan yang berbahaya itu.

"Sebab, tak ada pemerintah yang menindas di sini," jawab perempuan tersebut. Nabi Konghucu pun berpaling kepada murid muridnya dan berpetuah, "Ingatlah! Pemerintah yang sewenang wenang jauh lebih menakutkan ketimbang harimau." Presiden Soeharto terang bukan harimau, tapi selama berpuluh tahun, kebijakan kebijakan rezim Orde Baru demikian galak kepada para pengikut ajaran Konghucu.

Pada masa Presiden Sukarno, penganut Konghucu sempat menikmati kebebasan. Bahkan, pada 1961, pelajaran agama Konghucu masuk kurikulum sekolah. Lewat Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Presiden Sukarno menyatakan Konghucu merupakan satu di antara enam agama yang dipeluk rakyat Indonesia. Dalam penjelasan peraturan itu juga diterangkan pemerintah tidak melarang ajaran lain seperti Yahudi, Shinto, Taoisme, dan Zarathustra.

Masa bulan madu itu tak berumur panjang. Angin politik berbalik melawan pengikut Konghucu. Peristiwa G 30 S pada 1965 pecah dan aktivis politik keturunan Tionghoa dinilai punya keterkaitan dengan pemerintah Tiongkok dan Partai Komunis Indonesia.

Semula Presiden Soeharto masih menunjukkan sikap mendua. Di satu pihak, ia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang mencekik adat istiadat Tionghoa. Di pihak lain, pada 23 Agustus tahun yang sama, ia memberikan sambutan bernada positif dalam Kongres VI Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu se Indonesia di Solo, Jawa Tengah. "Agama Khonghutju mendapat tempat jang lajak dalam negara kita jang berlandaskan Pantjasila ini," demikian tertulis dalam naskah sambutannya.

Lewat rupa rupa peraturan, pemerintah Soeharto mengetatkan ikatan bagi penganut Konghucu, misalnya terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978 yang hanya mencantumkan lima agama, tanpa menyertakan Konghucu. Akibatnya, penganut Konghucu tak pernah lolos dari segala urusan administrasi kependudukan. Menteri Pendidikan Teuku Syarif Thayeb menghapus pelajaran agama Konghucu dari kurikulum pada 1974. Sejak saat itu, penganut Konghucu seolah olah tak ada di negeri ini.

"Saya terpaksa mencantumkan agama Islam dalam KTP," Purwani, 57 tahun, warga Kota Solo, mengenang sulitnya mendapatkan kartu tanda penduduk. Pendeta Muda Konghucu Adjie Chandra, 52 tahun, memilih membiarkan kolom agama di kartu penduduk miliknya kosong.

Ketika Imlek tiba, mereka pun tak leluasa merayakannya. Menurut Pendeta Adjie, untuk menghindari masalah, sebagian besar memilih merayakannya di rumah-walaupun litang tetap dibuka bagi pengikut Konghucu yang hendak berdoa. "Kami hanya berkeliling di halaman litang, tidak berani ke luar halaman," ujar Purwani.

Untuk beribadah saja susah, apalagi untuk melakukan atraksi barongsai. Sakandi Talok, 58 tahun, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia di Kalimantan Barat, mengenang bagaimana mereka sembunyi sembunyi "bermain" barongsai di gang gang kecil Kota Pontianak demi menghin-dari mata aparat. Kalau lagi apes dan ketahuan, bisa bisa harus berurusan dengan -polisi.

l l l

TAK jelas benar berapa jumlah penganut Konghucu saat ini. "Mungkin sekitar empat juta orang, termasuk Konghucu 'santri' dan 'abangan'," kata Budi Santoso Tanuwibowo, anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, pertengahan Januari lalu. Menurut Budi, jumlah pengikut Nabi Konghucu pada 1977 setara dengan pemeluk Buddha, yakni sekitar 0,9 persen penduduk Indonesia.

Sulitnya hidup beragama Konghucu pada masa Presiden Soeharto ada kemungkinan menyusutkan pengikutnya. Seperti keluarga Lim Buan Teng yang berpindah ke agama Kristen Protestan. "Dulu saya terpaksa beralih ke agama Buddha, tapi sekarang kembali ke Konghucu," kata Nge Chun Hur alias Atang, 51 tahun, warga Pontianak.

Pendeta Adjie Chandra mengatakan dulu dia aktif di organisasi pemuda Konghucu di Solo. Pada 1970 an itu ada sekitar 40 pemuda Konghucu yang aktif berorganisasi. "Tapi paling sekarang tinggal empat enam orang yang masih memeluk Konghucu."

Sekolah sekolah Konghucu ditutup. Kelenteng kelenteng Konghucu pun beralih menjadi vihara tridarma untuk tiga agama: Buddha, Konghucu, dan Taoisme. Seperti kelenteng di Banjar, Jawa Barat. Di dalamnya ada patung Konghucu diapit patung Buddha Gautama dan Nabi Tao, Lao Tse. Namun, prakteknya, vihara itu hanya dipakai pengikut Konghucu. "Tidak ada penganut Buddha ataupun Tao di Banjar," kata Widi Priatno, rohaniwan Konghucu.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Instruksi Presiden Tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tahun 1978, rantai yang membelenggu pengikut Konghucu terputus. Apalagi setelah Departemen Agama juga mengakui perkawinan Konghucu pada 2006. Kebebasan ini memberi angin segar bagi agama Konghucu.

Sebelum Gus Dur mencabut dua peraturan itu, Adjie mencatat penganut Konghucu di Solo hanya berkisar 40 orang. Namun, semenjak diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 6/2000, umat Konghucu berlipat menjadi sekitar 100 orang. "Tapi hanya 60 orang yang aktif datang beribadah di litang setiap minggu," kata Pendeta Adjie.

Menjelang Imlek tahun ini, Pontianak, yang hampir 20 persen warganya beragama Konghucu, pun bersolek dengan lampion di seluruh penjuru kota. Arak arakan atraksi barongsai juga sudah bersiap jauh jauh hari. Kala Imlek ini, sebagian keturunan Tionghoa asal Pontianak dan Singkawang di rantau ramai ramai pulang kampung. "Semua kamar kami sudah ludes dipesan," kata Lusi, Manajer Umum Hotel Mahkota, Singkawang, sekitar tiga jam perjalanan dari Pontianak.

SP, Ukky Primartantyo (Solo), Harry Daya (Pontianak), Nur Khoiri (Banjar)

Pengakuan Agama Khonghucu di Indonesia

Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak lahir yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada seorangpun, bahkan negara boleh mencabut atau melanggar hak asasi manusia. Salah satu hak yang paling mendasar adalah hak seseorang untuk beragama. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Hal tersebut bahkan dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 E ayat (1) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya”. Jelaslahh sudah hak untuk memeluk agama dan kebebasan untuk beribadah menjadi hak konstitusional bagi Warga Negara Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang majemuk dan terdiri dari berbagai macam kultur dan budaya, sangat menghormati perbedaan. Perbedaan tidak seharusnya dipandang sebagai pemicu konflik namun harus dipandang sebagai suatu aset kekayaan budaya. Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke dengan kondisi geografis yang beragam dengan bentuk negara kepulauan, membuat Indonesia kaya akan budaya. Setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Sama halnya dengan berkembangnya kepercayaan di Indonesia. Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kepercayaan animisme dan dinamisme dalam masyarakat Indonesia bahkan sebelum berkembangnya agama. Dengan kultur masyarakat Indonesia yang demikian religius, perlindungan kebebasan memeluk agama menjadi sangat penting di Indonesia

Perkembangan Hak Asasi Manusia pasca reformasi tahun 1998 mengalami kemajuan yang sangat pesat. Termasuk juga kebebasan untuk beragama. Dalam masa ini terdapat sebuah momentum yang amat berarti bagi umat Khonghucu di Indonesia. Sebelum masa reformasi, hanya dikenal lima agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Namun, saat ini di Indonesia diakui enam agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Perkembangan etnis tionghoa yang sebelumnya amat dibatasi di Indonesia setelah masa reformasi ini menjadi bebas. Berbagai macam kebudayaan dan upacara adat china pun mulai berkembang di Indonesia. Barong Sai, Naga Liong, dan kebudayaan china lain yang sebelumnya dikembangkan dengan diam-diam sudah mulai dapat dipentaskan secara bebas. Bahkan perayaan Imlek pun mulai diperingati di Indonesia. Hal ini menunjukkan penerimaan Indonesia atas etnis tionghoa dan agamanya yaitu agama Khonghucu.

Pengakuan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah diakui sejak jauh sebelum masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama.

Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Selain itu terbut Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang berisi bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya bahwa Khonghucu yang berdasarkan sensus 1976 dianut oleh sejuta orang bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak dimasukkan dalam hari besar di Indonesia, Dari segi pendidikan, sekolah di bawah yayasan Khonghucu tidak boleh mengajarkan pelajaran agama Khonghucu. Pernikahan di antara umat Khonghucu tidak dicatat oleh Kantor Catatan Sipil.(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/01/03/AG/mbm.20000103 .AG 110812.id.html). Instruksi tersebut memang tidak secara eksplisit mencabut pengakuan atas agama Khonghucu di Indonesia. Namun akibat yang ditimbulkan antara lain beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap umat Konghuchu sebagaimana dituliskan di atas.

Banyak hak-hak sipil yang dilanggar melalui Instruksi Presiden ini. Perlakuan diskriminatif ini diperkuat dengan adanya Surat Edaran(SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 477/740554/B.A.01.2/4683/95 tanggal 18 Nopember 1978 yang pada intinya menyatakan agama yang diakui pemerintah adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Diskriminasi bagi umat Khonghucu tidak berhenti sampai di situ. Sedikitnya ada 50 peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasikan etnis tionghoa yang kebanyakan menganut agama Khonghucu. Peraturan tersebut contohnya antara lain: Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang menggunakan nama Tionghoa, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan bahasa Tionghoa (http://www.wikipedia.org). Selain itu hak kependudukan penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu sebelum reformasi tidak bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Mereka boleh meminta KTP asalkan agama yang tertulis dalam kolom agamanya bukan agama Khonghucu, pemeluk Khonghucu biasanya memilih Budha atau Kristen dalam KTP mereka(http://www.gusdur.net/Berita/Detail/?id=67/hl=id/KTP_Khonghucu_Pertama_Diterbitkan_Di_Surabaya). Peraturan lain yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa antara lain seperti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri nomor 77/2535/POUD tanggal 25 Juli 1990, Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Timur No. 683/95 pada 28 November 1995 yang pada intinya menyatakan bahwa agama yang diakui Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha (http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20080124154656)

Setelah rezim orde baru berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, Adat Istiadat Cina dirasa oleh Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, Adat Istiadatnya. Selain itu disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Dengan adanya Keppres ini, Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaa, dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan Tersebut berlaku sejak 17 Januari 2000.

Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Perkembangan budaya juga berkembang pesat setelah keluarnya Keppres pencabutan Instruksi Presiden yang diskriminatif tersebut. Agama Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia. Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Pada tahun 2001, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif bagi etnis tionghoa. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh pengganti Gus Dur Presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek pada 9 April 2002.

Di Indonesia, umat Khonghucu berada di bawah naungan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN). Selama masa orde baru, organisasi ini mengalami kondisi yang tidak jelas. Pemerintah tidak pernah membubarkan MATAKIN yang sudah berdiri sejak tahun 1954. Pada era reformasi MATAKIN diberi kesempatan oleh Menteri Agama kabinet reformasi untuk mengadakan Musyawarah Nasional XIII yang bertempat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta pada tanggal 22-23 Agustus 1998 yang dihadiri perwakilan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) dan Wadah Umat Agama Khonghucu lainnya dari berbagai penjuru tanah air Indonesia. Hampir 20 tahun umat Khonghucu di Indonesia harus hidup dalam tekanan dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif terhadap umat Khonghucu. Hal ini membawa dampak negatif bagi perkembangan kelembagaan umat Khonghucu.( http://www.matakin-indonesia.org/index_indo.htm)

Bentuk pengakuan agama Khonghucu yang lain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP ini salah satuisinya mengamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya pada masa Presiden Soekarno pendidikan Agama Konghucu pernah diterapkan. Hanya saja, pada masa Presiden Soeharto menjabat, agama Konghucu kemudian seakan-akan menghilang karena tidak diakui oleh pemerintah. Adanya Peraturan Pemerintah ini semakin membuka lebar pengakuan negara Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia. Hak Asasi yang dijamin dalam PP ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Konghuchu. (http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080205144637)

Upaya penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai kependudukan. Yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam Pasal 2 dan penjelasan undang-Undang ini didefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia Asli. Peraturan lain yang menjamin hak-hak kependudukan bagi etnis Tionghoa adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam Pasal 106 Undang-Undang tersebut, terdapat usaha untuk mencabut sejumlah peraturan pencatatan sipil zaman kolonial belanda. Dan dicatatnya perkawinan agama Konghucu di Kantor Catatan Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama Konghucu.(http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com)

Diakuinya keberadaan etnis tionghoa dan agama Konghucu di Indonesia juga berpengaruh pada perkembangan kebudayaan di Indonesia. Sekarang ini, bahasa Mandarin dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini sering kali bahasa Mandarin digunakan sebagai bahasa bisnis. Kebudayaan Cina juga sudah mulai secara bebas dipertunjukkan di Indonesia. Kebudayaa seperti Barong Sai, Naga Liong, Perayaan Cap Gomeh, perayaan Imlek, saat ini sangat mudah ditemui di Indonesia. Pengakuan agama Khonghucu dan etnis Tionghoa di Indonesia cukup menggambarkan bahwa perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Pasca reformasi mengalami peningkatan yang sangat signifikan terutama di bidang kebebasan beragama dan pengakuan hak-hak sipil bagi kaum minoritas seperti penganu Khonghucu di Indonesia dibandingkan dengan pada masa orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto.

Masa orde baru adalah catatan sejarah terburuk bagi perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pada masa itu terjadi diskriminasi bagi penganut agama Khonghucu di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978 yang pada intinya mengungkapkan bahwa pemerintah hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengaturan dalam Undang-Undang ini sama dengan Penetapan Presiden Nomor 1. Pn. Ps. Tahun 1965 yang mengakui enam agama. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden tersebut, secara tidak langsung telah menyingkirkan agama Khonghucu yang pada sensus tahun 1976 penganutnya mencapai jumlah satu juta orang. Hal tersebut di atas telah membuat beberapa hak asasi dari penganut agama Khonghucu telah dilanggar. Kebebasan untuk memeluk agama, beribadah, hak-hak sipil, banyak dilanggar dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 1470/1978. Instruksi Presiden ini seakan telah menyingkirkan umat Khonghucu.Hal ini masih diikuti beberapa pengaturan lain yang makin mediskriminasikan umat Khonghucu

Selama lebih dari 20 tahun umat Khonghucu terombang-ambing dengan ketidakpastian. Akhirnya, pada masa reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, umat Khonghucu dapat menjalankan segala sesuatu yang berkaitan dengan agamnya tanpa rasa takut lagi.

Pengakuan Khonghucu sebagai agama membawa dampak yang amat banyak dalam perkembangan Hak Asasi Mansia di Indonesia. Tidak hanya berhenti pada pengakuan agama saja namun juga diperbolehkannya budaya Cina untuk dipelajari dan dipertunjukkan di Indonesia. Berbagai pengakuan seperti pemberian hak-hak sipil dan erpolitik, serta ekonomi sosial dan budaya yang pada masa sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh etnis Tionghoa, mulai didapatkan pada era reformasi ini.

Agama Tak Perlu Pengakuan Negara

Agama Tak Perlu Pengakuan Negara
Oleh Redaksi

Beberapa agama lokal tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.

Diskriminasi agama-agama minoritas atau aliran kepercayaan selalu menjadi problem laten yang tak kunjung usai. Adanya status agama resmi dan tak resmi seiring dengan pengakuan negara yang hanya mengakui lima agama, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978, menyiratkan kesan bahwa di luar Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindhu adalah agama yang tak absah di bumi Pancasila. Sebenarnya, surat edaran tersebut telah dicabut dengan adanya Keppres No. 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.

Dalam wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KUK) dengan Dr. Chandra Setiawan, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), kita akan lebih mengetahui posisi dan kondisi agama minoritas ini. Wawancara dengan pak Chandra yang juga anggota Komnas HAM dilakukan di kantor berita Radio 68H Jakarta tanggal 22 Agustus 2002. Berikut petikannya:

Pak Chandra, sebagai Ketua Umum Matakin, Anda tentu menguasai peta “nasib” orang Tionghoa di Indonesia, terutama penganut Konfusianisme. Apakah selama ini mereka sudah diperlakukan sama dengan warganegara Indonesia lainnya?

candra1.jpgPerlakuan yang sama tanpa melihat etnis dan agama itu memang hingga kini masih memerlukan perjalanan panjang. Proses diskriminasi yang ada sekarang sudah berakar dan berjalan lama sekali, yaitu sejak 200 tahun yang lalu. Persisnya, sejak pemerintahan Hindia-Belanda, yang diikuti oleh Orde-orde berikutnya yang memerintah, terutama Orde Baru. Dari pengalaman itu, banyak sekali intervensi negara terhadap kehidupan beragama, termasuk dalam hal kebebasan yang berkaitan dengan hak-hak sipil.

Khusus tentang agama, kita mengenal bahwa agama yang diakui hanya lima. Padahal konstitusi kita sebenarnya tidak pernah mengatur hal seperti itu. Kita tahu, pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang dalam Sidang Tahunan 2002 tidak diamandemen, jelas memberi kebebasan. Tapi dalam kenyataannya, hal itu diabaikan bukan oleh undang-undang, tapi peraturan dan keputusan menteri. Jadi, menteri di zaman Orde Baru punya kekuasaan di atas undang-undang. Bahkan, mereka bisa mewakili Tuhan, dalam artian berhak menentukan kalau ini agama dan ini bukan agama. Nah, itu sampai sekarang masih berlanjut terus.

Dalam hak-hak sipil misalnya, umat Konghucu yang mengalami perkawinan intraumat (sesama penganut Konghucu, Red), tidak dengan penganut agama lain sering mengalami banyak kendala. Kendala itu misalnya dapat dilihat dari banyaknya kantor catatan sipil yang tidak mau mengurus perkawinan intraumat (Konghucu) dengan dalih belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak dan Juknis).

Jadi sampai sekarang perkawinan kawin intraumat Konghucu tidak bisa dicatat di kantor catatan sipil?

Ya, sampai sekarang ada kendala di banyak daerah, meski tidak semua. Di daerah Batam misalnya, sudah beres semua. Mungkin karena etnis Tionghoa yang beragama Konghucu di sana berjumlah lumayan. Tapi di Surabaya, kota sebesar itu, sampai sekarang masih ada umat kita yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN. Sebab, kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka, dengan alasan Konghucu belum diatur.

Belum diakui sebagai agama atau bagaimana?

Ya, mungkin bahasanya kurang lebih seperti itu. Prinsipnya, mereka tidak mau mencatatkan karena tidak adanya aturan oleh Menteri Dalam Negeri. Jadi, menteri tidak mengeluarkan aturan bahwa perkawinan di luar lima agama resmi bisa dicatatkan. Nah ini masih menimpa umat Konghucu dan umat lain seperti penganut aliran kepercayaaan misalnya.

Beberapa agama lokal pun tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.

Kembali ke soal perundang-undangan, khususnya tentang pencatatan sipil. Adakah peraturan-peraturan lainnya yang bersifat diskriminatif atas kaum minoritas?

Ada. Mengenai catatan sipil itu, mungkin perlu kami sampaikan, bahwa kita masih memberlakukan staatsblad produk zaman Belanda. Staatsblad yang membagi-bagi manusia menjadi golongan Eropa, Tionghoa, Indonesia Kristen dan non-Kristen. Itu masih belaku. Anda bisa bayangkan, peraturan Belanda produk tahun 1800-an masih diberlakukan hingga kini. Adapun peraturan lain yang sifatnya diskriminatif juga, yaitu kewajiban menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Itu hanya dikenakan warganegara Indonesia yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Adapun warganegara Indonesia yang keturunan Arab, Belanda atau yang lainnya, tidak dikenai peraturan itu.

Di samping itu, peraturan Departemen Agama (Depag) menyangkut pembangunan untuk tempat ibadah, sampai sekarang masih terhadang di masalah perizinan. Peraturan seperti itu sampai sekarang masih belum dicabut. Bagi sementara kalangan, departemen dalam negeri dan depag dianggap paling besar “jasanya” dalam memperlakukan kaum minoritas secara diskriminatif.

Artinya, masih ada aturan-aturan mengenai tempat ibadah yang restriktif, atau terlalu membatasi dan dianggap tidak fair oleh agama selain Islam?

Ya, hal itu masih ada dan masih berlaku sampai sekarang. Secara khusus saya sebutkan, membangun rumah ibadah saja tidak boleh. Aturan seperti itu berlaku bagi pembangunan tempat ibadah umat Konghucu seperti kelenteng. Jadi nasibnya masih seperti itu. Untuk masalah rumah ibadah itu, kita harus melalui proses panjang, baru kemudian bisa diizinkan. Mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) itu luar biasa sulitnya. Yang saya tahu, memang ada kesulitan membangun gereja misalnya.

Adakah kasus lebih kongkrit belakangan ini tentang kesulitan membangun rumah ibadah?

Yang terakhir ini belum secara kongkrit. Tapi biasanya, mendapatkan IMB itu sangat sulit. Sebab, izin itu memerlukan rekomendasi dari Depag. Dan biasanya Depag susah mengeluarkannya. Izin membuat tempat hiburan nampaknya jauh lebih mudah. Nah, terkadang juga ada sarat persetujuan masyarakat sekitar.

Meskipun negara hanya mengakui lima agama resmi, saya kira tidak ada alasan untuk tidak mencatat setiap perkawinan warga negaranya meskipun di luar lima agama resmi itu. Sebab, negara yang baik, harus memperlakukan setiap warganegaranya secara adil. Di Indonesia itu, sebetulnya tidak ada undang-undang yang mengatur jumlah agama. Tidak ada misalnya satu peraturan yang mengatakan bahwa hanya lima agama saja yang diakui. Sebab agama sebetulnya tidak perlu pengakuan negara. Agama adalah urusan pemeluknya, apakah ia mau mengakuinya atau tidak.

Anda bisa bayangkan, Indonesia ini telah merdeka sejak tahun 1945. Nah’ kalau memerlukan pengakuan negara, berarti sebelum tahun 1945, tidak ada agama di Indonesia. Padahal agama sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan itu lebih awal dari adanya negara.

Bahkan, Konghucu muncul jauh sebelum Islam?

Ya, Konghucu muncul sejak lima ribu tahun yang lalu.

Kalau begitu, dari mana muncul aturan agama yang diakui negara dan tidak?

Ceritanya sebenarnya begini. Tahun 1978, Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan surat edaran mengenai tata cara pengisian kolom agama di KTP. Di situ disebutkan, bahwa hanya lima agama yang diakui resmi oleh pemerintah. Bagaimana KTP mereka yang menganut selain lima agama itu? Di KTP mereka dicantumkan tanda buka kurung, lalu strip, lalu tutup kurung. Seperti ini: (—). Nah, ketentuan seperti itu, sebetulnya sudah dicabut pada 31 Maret tahun 2000 yang lalu.

Tapi sampai sekarang memang masih berlaku di banyak tempat. Sebabnya beberapa kelurahan atau kecamatan tidak memiliki juklak (petunjuk pelaksana, Red) untuk melaksanakan itu. Inilah bentuk hipokrisi. Kita tahu, PBB saja mengakui semua agama dan kepercayaan lokal. Di Indonesia ini, kalau diteliti, sudah ada kira-kira 11 agama selain lima yang “diakui” negara: seperti Bahai, Konghucu, Yahudi, Sikh dan lain-lain. Di Surabaya sudah ada sinagoge yang berdiri.

Soal perkawinan intraumat Konghucu dan juga perkawinan antaragama selalu menimbulkan problem pelik. Baru-baru ini, artis Yuni Shara harus keluar negeri untuk menikah secara sah. Bagaimana menurut Anda?

Menurut saya, perlu pencatatan semua perkawinan. Sebab, tugas catatan sipil itu ‘kan pencatatan. Perkawinan yang sah itu perlu dicatat, sehingga kita tahu persis mana penduduk kita yang kawin dan lain-lain. Itu kita perlukan sebagai manifestasi negara yang beradab. Tadi saya sebutkan, bahwa negara ini lebih senang melihat warganya melakukan praktik kumpul kebo. Saya jadi heran, mengapa negara yang beradab ini menjadi begitu. Kesimpulan saya, memang pengamalan Pancasila bagi kalangan birokrat terkesan masih jauh panggang daripada api. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita memfungsikan kantor catatan sipil sebagai apa? Kalau fungsinya pencatatan, semestinya ‘kan dicatatkan. Dia mau kawin secara apa, asal ada saksinya mesti dicatatkan.

Dalam contoh yang riil, saya prihatin menyaksikan kasus Yuni Shara. Selama lima tahun dia menunggu perkawinannya. Dan akhirnya, perkawinan itu pun dilaksanakan di Australia. Kasus Yuni Shara dan sejenisnya memang ada keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang itu memang mengatakan bahwa perkawinan itu sah bila dilakukan secara agama, dan agamanya pun harus sama. Sebetulnya, kendala perbedaan agama itu bisa diselesaikan dengan meminta penetapan peradilan seperti kasus Jamal Mirdad dan Lidya Kandow. Yang mengurusi itu adalah Pengadilan Negeri. Setelah mendapat pengesahan Pengadilan Negeri baru kantor catatan sipil mencatatkan.

Tapi karena orang yang terkait kasus itu merasa begitu rumit menjalani hal itu, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan perkawinan di luar negeri. Mereka lari ke Singapura atau negara lainnya, sehingga perkawinan mereka bisa didaftarkan. Pelarian itu ‘kan hanya bisa dilakukan mereka yang mampu membeli tiket ke sana. Dan itu juga pemborosan devisa. Kita sebetulnya harus malu; kok hal sepele yang menyangkut hak asasi seperti perkawinan ini harus sedemikian rumit. Mestinya, kita memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganegara, apapun agama, ras dan etnisnya.

Pak Chandra, apakah Matakin sudah melakukan usaha-usaha untuk melawan peraturan yang diskriminatif ini?

Kita tidak memakai kata melawan, karena konotasinya kekerasan. Kita menggunakan jalur nonkekerasan saja. Dalam artian, kita melayangkan surat ke presiden. Kita melaporkan kepada presiden sejak presiden dahulu sampai presiden sekarang; sejak Soeharto, lalu Habibie, Gus Dur dan Ibu Megawati. Surat itu sebetulnya berisi hal-hal menyangkut hak-hak sipil terutama umat Konghucu. Masalahnya termasuk menyangkut persoalan perkawinan yang dipersulit. Misalnya mengapa kantor catatan sipil tidak mau melayani perkawinan umat Konghucu sama-sama Konghucu. Dan sampai sekarang, surat itu belum mendapatkan tanggapan sama sekali.

Yang ingin saya tanyakan, apa yang telah dilakukan Matakin untuk mengubah perundang-undangan yang masih kurang ideal itu, selain menyurati Presiden?

Kita memang berharap, di Indonesia ini ada undang-undang antidiskriminasi. Artinya, undang-undang itu memberikan tempat yang sama, bukan hanya bagi umat Konghucu, tapi bagi siapa saja. Karena kita sudah sangat tertinggal kalau dibandingkan dengan negara-negara luar. Bahkan, kalau kita bandingkan dengan negara komunis pun, kita kalah dalam hal pelayanan hak sipil. Hal semacam ini ‘kan ironis. Sebagai sebuah negara Pancasila, kita masih mendiskriminasi kelompok minoritas; agama kita batasi. Padahal, PBB misalnya, mengakui adanya 14 agama besar dunia yang masih tetap hidup sampai sekarang dan ada pemeluknya. PBB juga memberikan tempat bagi penganut kepercayaan lokal (indegenous beliefer). Tapi di Indonesia yang seharusnya memberi tempat untuk itu masih diperlukan waktu untuk bisa menerapkan bagi kita semua. Ironisnya, sejumlah hak-hak sipil semacam perkawinan pun harus dihalangi! Bahkan mengisi KTP-pun orang disuruh munafik.

Bagaimana bentuk kemunafikan itu?

Bentuknya, mereka disuruh memilih salah satu dari agama yang diakui negara. Padahal, agamanya bukan salah satu dari agama “resmi” yang berjumlah lima itu. Jadi, kita diajari menjadi orang munafik. Maka saya pikir terlalu banyak hal-hal substansi yang seharusnya kita benahi. Untuk melakukan itu, pemerintah harus betul-betul mereformasi perundang-undangan agar tidak diskriminatif. Semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif harus dicabut. Itu penting agar rakyat lebih mempunyai kepercayaan diri, sehingga mereka lebih aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Kalau pada praktek di lapangan saja masih ada perlakuan yang diskriminatif, tapi nasionalisme mereka tetap tinggi, apalagi bila diberi perlakuan yang sejajar. Saya yakin, sekiranya mereka di uwongkan (diorangkan), diperlakukan sama, maka partisipasi dalam pembangunan akan lebih meningkat.

Sebagai anggota baru Komnas HAM, apakah Anda akan memperjuangkan ini?

Saya pikir itu menjadi concern kita bersama. Misalnya bagaimana melahirkan undang-undang catatan sipil yang sekarang ini masih berupa rancangan yang mau diajukan. Undang-undang sipil juga harus betul-betul menempatkan fungsi kantor catatan sipil dan fungsi negara secara benar. Kemudian, rancangan undang-undang antidiskriminasi juga harus ada. []

proposal oscaar 2010

Project Proposal
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
Institut Agama Islam Negri Sunan Ampel Surabaya
A. DASAR PEMIKIRAN
Maraknya sebutan fundamentalisme yang dikaitkan kepada agama, khususnya Islam secara tidak langsung menyudutkan dan mematikan agama. Agama (baca: Islam) yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, justru dituduh sebagai sarang teroris yang mengancam dunia. Ketakutan sebagian orang akan meluasnya terorisme dan fundamentalisme agama semakin jelas. Pemerintah dan berbagai organisasi berjuang membendung merebaknya fundamentalisme dan terorisme. Memang sampai saat ini, belum ada kriteria dan standarisasi yang pasti dan jelas tentang terorisme dan terma fundamentalisme. Hanya saja, seringkali terma tersebut digunakan untuk agama, khususnya kepada Islam. Ditudingnya agama sebagai sarang teroris, kekerasan disebabkan karena tidak mencerminkan sikap agamis. Pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari sejauh mana seseorang melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan. Posisi agama semakin tersudut dan tidak menemukan relevansinya di tengah-tengah masyarakat. Agama tidak lebih dari sekedar "hantu" di siang bolong yang sangat menakutkan bagi semua orang.
Adalah wajar muncul sebutan terorisme dan fundamentalisme agama. Di akui atau tidak, bahwa terorisme dan fundamentalisme tidak diajarkan dan tidak dianjurkan oleh agama. Agama secara normatif mengajarkan kebaikan, kejujuran, toleransi dan perdamaian. Tak ada agama manapun yang mengajarkan kejahatan dan kelicikan. Akan tetapi, kemunculan terorisme dan fundamentalisme agama dipicu oleh dua hal. Pertama, respon terhadap realitas sosial yang semakin tidak manusiawi. Kemajuan teknologi dan pengetahuan yang diperolehnya justru mengancam kesejahteraan manusia.
Kedua, adanya kepelbagaian penafsiran terhadap teks keagamaan. Perbedaan interpretasi terhadapnya sebenarnya di dorong oleh berbagai aspek yaitu, karena faktor geografis, pengetahuan, biologis dan lain sebagainya. Maka dari itu, sebagai kalangan memaknai teks secara literal, rigid ada pula yang menafsirkannya secara substantif. Adanya pluralitas interpretasi terhadap teks keagamaan adalah wajar dan harus dilestarikan dengan baik sebagaimana yang telah terjadi pada masa silam. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran keanekaragaman pemahaman terhadap teks agama.
Kelompok fundamentalis dalam memandang teks keagamaan terlalu kaku. Penafsiran yang literal, rigid ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami ajaran agamanya secara benar dan baik. Akan tetapi, kelompok ini melupakan aspek historisitas dari teks yang ditafsirkannya. Bahkan terkadang di antara mereka menolak adanya penafsiran terhadap teks keagamaan. Sebab, teks yang merupakan kalam Tuhan tidak bisa ditafsirkan manusia yang penuh dengan dosa dan kepentingan. Baginya, tugas manusia hanya melaksanakan apa yang menjadi perintah dalam teks tersebut.

B. NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU) IAIN Sunan Ampel Surabaya.


C. TEMA KEGIATAN
Kegiatan ini bertemakan "Mempertahankan Nilai-Nilai Agama”


D. BENTUK KEGIATAN
Kegaitan ini memiliki pola-pola yang komunikatif-partisipatoris sebagaimana berikut:
- Dialog antara peserta dengan narasumber
- Diskusi
- Brainstroming


E. PESERTA
Peserta dalam kegiatan ini adalah Mahasiswa Baru Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.


F. PELAKSANAAN KEGIATAN
Kegiatan Orientasi Studii Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Rabu-Jum'at, 4-6 Agustus 2008
Tempat : Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya


G. PENYELENGARA KEGIATAN
Kegiatan ini akan dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan kepanitian berdasarkan surat keputusan (SK) nomor: 015/Kep/SEMA-FU/IAIN-SA/A/VI/2010. Adapun susunan panitia sebagaimana terlampir I:


H. ANGGARAN DANA
Adapun kebutuhan dana dalam kegiatan ini sebesar Rp. 15.222.000,- (Lima Belas Juta Dua ratus Dua Puluh Dua Ribu Rupaih), Rincian dana sebagaimana terlampir (lampiran II).




I. PENUTUP
Demikian Proposal ini kami buat untuk menjadi bahan pertimbangan. Dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak sangat diharapkan guna terlaksananya kegiatan tersebut. Hal-hal yang belum tercakup dalam proposal ini akan diatur kemudian dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Atas dukungan dan kerjasamanya kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 19 Juli 2010

Panitia Pelaksana
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
SEnat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Moh.Thoriqul Huda Fauzan
Ketua Panitia Sekretaris

Mengetahui,
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Joe Sidik
Presiden
Lampiran I
Panitia Studi Cinta Akademik dan Almamater
(OSCAAR)2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Pelindung :Dekan Fakultas Ushuluddin
Penanggunga jawab : Gubernur Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

Panitia Pengarah (SC)
Koordinator Umum : Moh. Fathir H (AF/V)
Sekertaris I : Lia Hilyatul Masrifah (PA/V)
Sekertaris II : M.Holili Rohman (AF/V)

Koordinator Materi : Harista Hidayah Sy (AF/V)
Anggota : Izzudin Zakki (TH/V), Idris (TH/V), M.Ishaq (AF/V), Abd. Wahed (TH/V), M.Sattar (PI/V), Yayan Zubaidizzaman (AF/V), Badrul Hikam (TH/V), Ibrahim (TH/V), Lailatul Fajriyah (TH/V), Uswatu Hasanah (TH/V).
Koordinator Nara Sumber : Husnule Mubine (AF/V)
Anggota : Dhani FA (PA/V), Maisaroh Hayatin (AF/V), Mar’atus Sholihah (TH/V), Aminah (TH/V), Uswatun Hasanah (TH/V), Hidayatul Wahidah (PA/V), Suaidi (PI/V).
Koordinator Forum : Dewi Hurhasanah (TH/ V)
Anggota : Fahrur Rozi (PI/V), Zainuullah (Af/V), Fajar Ismail (PI/V), Afandi (AF/V), Ummi Kalstum (PI/V), Linatul Fitahati (PI/V), Qoid Murtadlo (TH/V), Trisnaning Ifadatus Sholihah (AF/V), Khoiruddin (AF/V), Dian Syifa’ Haninah (PA/V).

Panitia Pelaksana (OC)

Ketua : Moh.Thoriqul Huda (PA/V)
Sekertaris : Fauzan Amin (TH/III)
Bendahara : Nida’ul Fajriyah (PI/III)

Seksi- Seksi

Seksi Kesekertariatan : Seksi DPA
1. M.As’ad (AF/III) Co. 1. Ilyasin Yusuf (AF/III) Co
2. Nur Aisyah Arfan (TH//III) 2. Khafid Al-Fikri (TH/III)
3. Siti Aisyah (PA/III) 3. Nanang Tufiqul Qorib (AF/III)
4. Nurul Kaisyiyah (TH/III) 4. Ridok (AF/III)
5. Wiwin Kartika (PI/III) 5. Aqrobun Na’im (TH/III)
6. Febrina Lidya Indah Sari (PI/III) 6. Moh. Ali Kharuzim (PI/III)
7. Siti Nur Irmayanti (TH/III) 7. Syah Maghriby (PI/III)
8. Ach Muchlis 8. Ahmad Khoiri (TH/III)

Seksi Keamanan : Seksi Konsumsi:
1. Mudassir (TH/III) Co 1. Khoiril Anwar (TH/III) Co
2. Agus Zamzami (TH/III) 2. Nur Fadilatul Umaroh (TH/III)
3. Moh. Ali Kharozim (TH/III) 3. Nur Maulidiyah (PA/III)
4. Yani Damayanti (PI/III) 4. Sholehah (TH/III)
5. Erma Ana Mazidah (PI/III) 5. Imro’atul Mufidah (PA/III)
6. Hartik Agustina (PA/III) 6. Uswatun Hasanah (PI/III)
7. Fitrotun Nisa’ (PI/III) 7. Afifah (PI/III)
8. Fita Delyana Mafita (PI/III) 8. Nurul Hsanah (PI/III)
9. M.Farhan fauzi (TH/III) 9. Kholifatur R (PI/III).

Seksi Humas: Seksi Kesehatan :
1. M. Yazid (TH/III) CO 1. Elva Kurniawati (PI/III) CO
2. Dewi Zulaikha (PI/III) 2. Zuni Anita Saputri (PA/III)
3. Zainullah (AF/III) 3. Fululul Habibiyah (PA/III)
4. Efi Rahmawati (TH/III) 4. Lailatul Fitriyah (AF/III)
5. Abdus Salam (TH/III) 5. Supandi (TH/III)
6. Ach. Tholhah Al jawad (TH/III) 6. Abdullah Afifi (TH/III)
7. Eka Fidya Ratma Sari (PA/III) 7. Nuryati (PA/III).
8. Ufi Bahrul Hikam (TH/III).

Seksi Protokoler :
1. Isna Wahyu Ningsih (PI/III)
2. Ahmad Choirun Nawal (TH/III)
3. Nurul Izzah (TH/III)
4. Zakaria Habibi (PI/III)
5. fatwa Nur Azizah ( TH/III)
6. Masnida (TH/III).
Nomor : 03/Pan. OSCAAR/SEMA-FU/IAIN-SA/A/VIII/2010
Lampiran : 1 (bendel) Proposal
Hal : PERMOHONAN DANA OSCAAR

Kepada Yth.
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya
Di –
T e m p a t

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Salam silaturahmi kami sampaikan, semoga bapak senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Sehubungan akan dilaksanakannya Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) 2010 Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin pada:
Tanggal : 7-9 Agustus 2010
Tempat : Fakultas Ushuluddin
Maka, dengan ini kami mengharap Bapak Rektor berkenan memberikan Dana Oscaar Kedua Sebesar Rp: 6.281.000,
Demikian surat permohonan ini kami buat, atas kesediaannya kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, 19 Juli 2010
Panitia OSCAAR 2010


Moh.Thoriqul Huda NIda’ul Fajriyah
Ketua Bendahara

Mengetahui,
Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA-FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya




Sidik
Presiden
Lampiran II

ESTIMASI DANA
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya


A. KESEKRETARIATAN

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Sertifikat 200 lembar 3.500,- 700.000,-
2. Stiker 200 Lembar 3.500,- 700.000,-
3. Cendramata 6 Buah 75.000,- 450.000,-
3. Buku Besar 2 Buah 10.000,- 20.000,-
4. Foto Copy Formulir Oscaar 200 Lembar 100,- 20.000,-
5. Stempel oscaar 1 Buah 35.000,- 35.000,-
6. Tinta Stempel 2 Buah 15.000,- 30.000,-
7. Bantalan stempel 1 Buah 7.500,- 7.500,-
8. Tinta Printer 2 Buah 25.000,- 50.000,-
9. Kertas A4 1 Rem 33.000,- 33.000,-
10. Pen 3 Buah 3.000,- 9.000,-
11. Penggaris Besar 2 Buah 3.000,- 6.000,-
12. Map 3 Buah 1.500,- 4.500,-
13. Kertas Karton 10 Buah 2.000,- 20.000,-
14. Kwitansi 5 Buah 3.000,- 15.000,-
15. Spidol marker 10 Buah 6.000,- 60.000,-
16. Spidol kecil 3 Buah 2.000,- 6.000,-
17. Gunting 2 Buah 3.000,- 6.000,-
18. Note Book Peserta 200 Buah 4.000,- 800.000,-
19. Foto Copy Undangan Sidang 200 Lembar 100,- 20.000,-
20. Cocard panitia 80 Buah 3.500,- 280.000,-
21. Buku panduan 200 Buah 11.000,- 2.200.000,-
Total 5.472.000,-






B. DPA

No. Uraian Jml Satuan Harga satuan Jumlah
1. Baleho 2 buah 400.000,- 800.000,-
2. Spanduk 3 buah 150.000,- 450..000,-
3. Pin 250 buah 5.000,- 1.250.000,-
4. Batrai besar 5 buah 3.000,- 15.000,-
5. Sewa Sound System 1 Buah 100.000,- 100,000,-
6. Sewa Microfond 1 Buah 50.000,- 50.000,-
7.. Batrai kotak 3 buah 15.000,- 45.000,-
8. Kaos panitia 80 buah 35.000,- 2.800.000,-
Total 5.510.000,-


C. Konsumsi

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Makan panitia 80x6 Orang 5.000,- 2.400.000,-
2. Konsumsi Narasumber 6 orang 30.000,- 180.000,-
3. Air mineral 10 dos 14.000,- 140.000,-
4. Permen Peserta 8 Bungkus 10.000,- 80.000,-
5. Air Mineral Botol 2 dos 20.000,- 40.000,-
6. Honorer Narasumber 6 orang 200.000 1.200.000,-
Total 4.040.000,-


D. KESEHATAN

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Obat-obatan 100.000,-
Total 100.000,-

E.HUMAS

No. Uraian Jml Satuan Harga Satuan Jumlah
1. Transport Antar Surat Nara Sumber 100.000,-
Total 100.000,-
Uraian Total
A. Kesekretariatan 5.472.000,-
B. DPA 5.510.000,-
C. Konsumsi 4.040.000,-
D.Humas 100.000,-
E. Kesehatan 100.000,-
Total Keseluruhan 15.222.000,-
Surabaya, 19 Juli 2010

Panitia Pelaksana
Orientasi Studi Cinta Akademik & Almamater (OSCAAR) 2010
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya


Moh.Thoriqul Huda Nida’ul Fajriyah
Ketua Panitia Bendahara

Mengetahui,
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin (SEMA FU)
IAIN Sunan Ampel Surabaya



Joe Sidik
Presiden