Sabtu, 09 Juli 2011

Jumat, 03 September 2004

Jumat, 03 September 2004

KELENTENG-kelenteng yang meriah dengan warna merah mencolok khas simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa mewarnai sepanjang jalan di kawasan pecinan Kota Semarang. Bau yong tswa atau yang dikenal dengan hio juga mengharumkan setiap sudut jalan itu.
KELENTENG-kelenteng di sana memang tak pernah henti membakar yong tswa. Ini karena para pemeluk Konghucu selalu menyematkannya ke dalam abu yong tswa yang habis terbakar seusai menyembah para dewa yang telah memberikan kemakmuran hidup.

Tidak satu pun kelenteng di pecinan berusia muda. Di antara 10 kelenteng yang di kawasan itu didirikan pada kurun 1753 hingga 1800-an. Kelenteng Siu Hok Bio merupakan kelenteng tertua di daerah itu. Selain itu, dibangun pula Kelenteng Hoo Hok Bio, Kong Tik Soe, Tay Kak Sie, Tong Pek Bio, Liong Hok Bio, Tek Hay Bio, Wie Wie Kiong, See Hoo Kong, dan Kelenteng Grajen.
Namun, kelenteng tertua di Kota Semarang justru tidak berada di pecinan. Kelenteng tertua itu bernama Sam Poo Kong yang didirikan oleh Laksamana Cheng Ho pada tahun 1406 di bilangan Simongan, Semarang bagian barat.
Tidak seperti pada masa Orde Baru ketika umat Konghucu tidak diperbolehkan melakukan ibadah dan melaksanakan upacara keagamaannya. Umat Konghucu di pecinan sekarang bisa bebas melaksanakan ritual agamanya dan melambungkan asap yong tswa.
Dalam waktu dekat ini, umat Konghucu di Pecinan akan mengadakan upacara King Ho Ping pada tanggal 29 bulan 7 tahun Imlek, atau 12 September 2004. Saat itu umat Konghucu membacakan doa dan mempersembahkan sesaji bagi para arwah leluhur yang tidak diterima di dunia akhirat. Upacara itu dipusatkan di Kelenteng Tay Kak Sie.
“Kami tidak bisa main-main mengadakan upacara ini. Kami harus melaksanakannya secara khidmat. Kalau tidak, kita bisa kesurupan,” tutur Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (Makin) Kota Semarang Gan Kok Hwie (73).
Ia memaparkan, upacara itu akan diadakan dalam upacara yang lumayan besar. Seusai membaca doa dan sesaji akan diadakan upacara rebutan bahan pokok makanan. “Tetapi, sekarang kami tidak lagi mengadakannya secara rebutan karena pasti banyak yang berkelahi. Karena itu, kami akan membagi-bagikan bahan pokok itu kepada masyarakat dengan kupon,” ungkapnya.
Selain sebagai tempat ibadah, menurut Gan Kok Hwie, pada masa lalu sebelum Konghucu dilarang di Indonesia, warga pecinan kerap bercengkerama di halaman kelenteng. Biasanya kesempatan itu dimanfaatkan oleh para orang tua untuk berbagi pengalaman dengan generasi muda.
Melalui perbincangan itu pula generasi muda belajar tentang falsafah hidup dari generasi tua. “Pada zaman dulu, sambil duduk-duduk di kelenteng para orang tua memberikan nasihat dan ajaran hidup kepada generasi muda dalam menjalankan hidup. Tidak seperti saat ini, generasi muda sudah tidak tahu tradisi etnis Tionghoa,” paparnya.
Meski begitu, iklim kebebasan beribadah sesuai agama Konghucu sangat disyukuri oleh Gan Kok Hwie dan umat Konghucu di pecinan. Thio Tiong Gie (75), satu-satunya dalang wayang Po Te Hi yang masih ada di Kota Semarang, juga sangat mensyukuri itu. “Pada masa ini, kami bisa bebas sembahyang ke kelenteng dan mengadakan upacara. Kami sudah cukup merasa senang dengan itu semua,” tuturnya.
Meski Pemerintah Indonesia sudah memberikan kebebasan itu, tetapi umat Konghucu masih merasa terusik oleh anggapan miring tentang agama mereka. Mereka juga sedang dihadapkan pada permasalahan keberlangsungan agama ini karena generasi muda etnis Tionghoa di pecinan sudah banyak berpaling ke agama lain.
“Anak-anak saya tidak satu pun yang beragama Konghucu. Saya tidak bisa berbuat apa- apa karena mereka masuk agama Kristen karena mereka masuk sekolah swasta Kristen. Lagi pula, pada masa Orde Baru kami tidak boleh menjalankan upacara Konghucu sehingga sedikit sekali tradisi agama ini yang bisa kami ajarkan kepada mereka,” tutur Gan Kok Hwie.
Ia mengaku sempat sakit hati terhadap anak-anaknya karena tidak sudi lagi masuk ke kelenteng. “Mereka bilang, kelenteng tidak bagus karena menyembah patung. Padahal, saya sudah meminta mereka untuk bisa menghormati agama yang saya anut,” ungkapnya.
Hal serupa juga dirasakan oleh Ny Liem Man Fung (41). Ibu rumah tangga beranak dua ini kerap menghadapi pertanyaan anak-anaknya tentang kebenaran agama Konghucu.
“Anak saya kerap bertanya, apakah Konghucu adalah agama setan? Teman-teman mereka selalu bilang kepada anak saya bahwa kelenteng tempat berkumpulnya setan. Tetapi, saya ajarkan kepada anak saya bahwa Konghucu tidak pernah mengajarkan seperti itu. Pada dasarnya, agama apa pun adalah sama. Hanya saja caranya yang berbeda,” tuturnya.
Ny Liem mengaku, meski sudah dibebaskan menganut agama Konghucu, umat Konghucu masih harus terus berjuang karena kenyataannya kalangan umum belum bisa menerima agamanya. “Saya percaya ajaran Konghucu, yaitu yang terpenting dari manusia adalah pikiran, hati, dan perbuatan. Tidak akan ada gunanya ibadah kita setiap hari kalau ketiga unsur itu tidak dijaga. Pesan- pesan itu yang selalu saya sampaikan kepada teman dan saudara yang menilai miring agama Konghucu,” paparnya.
Thio Tiong Gie menambahkan, “Konghucu tidak pernah membeda-bedakan manusia ataupun agama. Ada satu falsafah dari Nabi Konghucu: di empat penjuru lautan, semua manusia bersaudara. Satu lagi; hanya kebajikan Tuhan (yang) berkenan,” tuturnya.
Ny Liem mengakui selama ini agama Konghucu kurang dikenali oleh generasi muda karena ajaran agamanya tidak disosialisasikan dalam ceramah.
“Di dalam agama kami memang tidak ada aturan untuk beribadah secara tepat. Cara- cara itu tergantung pada adat istiadat yang berkembang di suku-suku di dalam etnis Tionghoa. Tetapi saya sadar, ceramah untuk membina generasi muda sangat diperlukan untuk meneruskan agama ini ke generasi muda,” tuturnya.
Ceramah-ceramah dan sekolah agama saat ini di antaranya yang sedang digarap oleh Gan Kok Hwie di Kelenteng Tay Kak Sie . Sebagai Ketua Makin Kota Semarang, dia merasa bertanggung jawab untuk membina umat Konghucu dan mempertahankan generasi muda agar kembali ke kelenteng.
“Baru satu tahun ini saya mulai mengadakan ceramah bagi umat dan mengadakan sekolah minggu setiap Minggu untuk anak-anak. Langkah ini sebagai pembinaan keimanan bagi umat Konghucu,” tuturnya.
“Pada tahap awal ini, saya baru pembinaan bagi umat. Tahap selanjutnya kami juga akan menyebarluaskan ajaran Konghucu,” paparnya. (J02)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/daerah/1244334.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar