Sabtu, 29 September 2012

ETIKA-ETIKA KHONGHUCU (Bagian Kedua)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Tionghoa merupakan bangsa yang tua pada zaman dulu dan peradabannya juga sangat tinggi. Dan agama bangsa Tionghoa dulu menganut kepercayaan dinamisme. Terutama memuja benda alam, roh leluhur, dan langit. Dan pada saat itu ada ajaran yang diajarkan oleh Kun Fu Tse (konfusius). Dalam ajarannya, Kun fu se menuangkan hasil pikirannya dalam bentuk filsafat yang mengandung tendensi psikologis, sosiologis, dan kebudayaan pada zamannya. Sebagai seorang ahli fikir kunoyang cinta kepada adat istiadat bangsanya, maka Kun Fu Tse membentuk pandangan filsafatnya diatas tradisi bangsa tiongkok yang telah berabad-abad sebelummya memberikan keserasian hidup kemasyarakatannya. Ajaran Khonghucu sangat menekankan pada etika-etika dalam kehidupan masyarakat, sehingga dalam etikanya mereka mengenal Wu Chang dan Pa Te', yang semua itu bisa sangat berpengaruh kepada perdamaian dunia. Dari sinilah muncul suatu latar belakang yang memunculkan suatu rumusan masalah bagi kami. Jadi, paham ini sebenarnya lebih tepat disebut filsafat, tetapi sudah merupakan kepercayaan yang dianggap sebagai agama dan bisa berkembang di beberapa negara. Dan lebih mengejutkan lagi, agama Khonghucu mempunyai suatu etika-etika ataupun ajaran-ajaran yang harus dilakukan bagi umatnya dengan tujuan agar terciptanya suatu keserasian dalam kehidupan. Pernyataan-pernyataan tersebut yang melatarbelakangi pembuatan makalah ini, atas keunikan agama yang notabene adalah berasal dari suatu pikiran filsafat dengan etika-etika yang harus dilakukan, yang hal itu dapat di terima oleh pemeluknya. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian dari Wu Chang? 2. Apa pengertian dari Pa Te? 3. Bagaimana perngertian Chun Tzu atau Kuncu menurut pandangan Khonghucu? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Wu Chang. 2. Untuk mengetahui apa pengertian dari Pa te. 3. Untuk mengetahui bagaimana pengertian Chun Tzu atau Kuncu menurut pandangan Khonghucu. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Wu Chang Dasar ajaran Agama Khonghucu disebut WU CHANG artinya Lima Kebajikan. Dasar ajaran ini terdapat dalam kitab PE HU TANG, artinya kitab Harimau Putih. Disebut demikian karena tempat musyawarah besar tersebut diselenggarakan di PE HU TANG dan ajaran ini adalah hasil karya dan riset puluhan tahun yang dilakukan oleh pakar Agama Khonghucu pada tahun 179 SM-104 SM atau pada permulaan jaman Dinasti HAN. Lima Norma Kesopanan [Wu Lun] erat berkaitan dengan Lima Sifat Mulia [Wu Chang], dimana dinyatakan bahwa seorang Budiman [C'un Zi] harus mengolah dirinya sehingga memiliki Lima Sifat Mulia [Wu Chang] untuk dapat menjalin hubungan dalam Wu Lun secara harmonis baik secara pribadi ataupun bagi keseluruhan masyarakat. Wu Chang terdiri dari lima sifat luhur atau mulia berikut : 1. Ren/ Ji/ Jen Kata Jen secara etimologis terbentuk dari dua huruf Cina untuk menggambarkan "manusia" dan "dua", untuk menanamkan hubungan yang ideal yang harusnya terjadi diantara manusia. Kata Ren/ Ji/ Jen ini bisa diartikan dalam beberapa arti seperti kebaikan, dari manusia ke manusia, pemurah hati, cinta, dan juga diartikan sebagai berhati manusiawi. Dalam pandangan Khonghucu tentang kehidupan, jen merupakan inti sari dari kesempurnaan adi kodrati, yang diakuinya sendiri belum pernah melihatnya terwujud sebelumnya. Dengan mencakup kemampuan manusiawi dalam hal yang terbaik, jen merupakan suatu kebijakan yang sedemikian tingginya, sehingga untuk membicarakannya harus dilakukan dengan hati-hati. Jen juga digambarkan sebagai suatu yang lebih penting dari kehidupan itu sendiri. Sebelum era Confucius, Jen dipahami sebagai suatu sifat kemuliaan yang hanya dapat diungkapkan oleh seorang kaisar terhadap rakyatnya. Kemudian makna kata tersebut diperluas sebagai suatu sifat kesusilaan, yang masih merupakan suatu sifat kemuliaan tetapi tidak terbatas penggunaanya oleh kaisar saja. Confucius mengubahnya dan mengkonotasikan dengan kesempurnaan susila atau moralitas, mencakup semua bentuk kesusilaan yang dijalani oleh manusia. Mencius dalam Chung Yung mengatakan bahwa 'Jen adalah Jen', yaitu Jen merupakan suatu ciri pembeda khusus manusia. Selama dinasti Han, arti kata Jen pada umumnya diinterpretasikan sebagai cinta kasih, dan oleh Han Yu, seorang cendekiawan semasa dinasti T'ang, ditegaskan maknanya sebagai cinta kasih terhadap sesama manusia. Karena pengaruh ajaran Buddhisme, dimana sifat cinta kasih mencakup semua makhluk, maka oleh para Neo-Confucianis di era dinasti Sung dan Ming, memperluas pengertian Jen dengan pengertian yang sama dengan Buddhisme, dan menjadikannya sebagai suatu kesatuan cinta kasih dengan Yang Maha Esa [Th'ien], dunia, dan seluruh makhluk hidup. Pemikiran ini pada umumnya dikenal dalam sekte Ch'eng Chu yang beraliran rasionalistik dan Lu Wang yang beraliran idealistik. Namun terdapat juga, beberapa cendekiawan Neo-Confunicanis dalam dinasti Sung yang mengartikan Jen sebagai suatu tingkat kesadaran. Chu Hsi menyebutnya sebagai 'suatu ciri pikiran dan prinsip cinta kasih', dan Wang Yang Ming menyamakannya dengan 'ciri yang suci' dari pengetahuan alami. Semua itu mencerminkan suatu kedamaian pikiran dan terkesan terlalu Buddhistik untuk para Neo-Confucianis pada abad ke-17 dan ke-18, yang kemudian menarik kembali komentar karya kuno pada awal dinasti Han dimana mendefinisikan Jen sebagai 'masyarakat yang hidup bersama'. Penekanan baru ini lebih ditujukan kepada suatu kehidupan sosial dan aspek yang aktif dari Jen. Bagaimanapun, para Neo-Confucianis setuju, bahwa Jen atau sifat kemanusiaan merupakan suatu sifat moral yang dianugerahi oleh Yang Maha Esa [Th'ien], dan karena ciri utama dari Yang Maha Esa dan dunia adalah menghasilkan secara berkesinambungan, sehingga Jen dicirikan dengan suatu kegiatan yang berlangsung secara terus menerus, yang dapat diartikan dengan suatu ketegasan kehidupan dan pemberian kehidupan, tidak saja aktif tetapi juga kreatif. Atas pengaruh ilmu pengetahuan Barat di penghujung akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, para Confucianis modern menyamakan sifat Jen dengan suatu sifat dari arus listrik dan eter, suatu kekuatan dinamik dan suatu inti yang menyebar. Confucius mencirikan seseorang yang memiliki sifat Jen sebagai suatu ciri manusia yang dapat memiliki sifat kasih dan benci. Guru Khung Fu Zi bersabda, " Hanya orang yang memiliki Jen yang dapat mengasihi seseorang atau membenci seseorang." (Lun Yu IV/3). Jen menjadi tolak ukur di dalam tingkah laku dan etika moral para Confucianis. Jen adalah sifat luhur yang bersifat kemanusiaan. Pengertian Jen tidak berpangkal pada kesucian yang semu, tetapi kebaikan yang luhur dari pribadi manusia. Ketika seseorang bertanya bagaimana pendapat Guru Khung Fu Zi tentang membalas hinaan dengan kebaikan hati ? Guru Khung Fu Zi bersabda, " Dengan apa kita membalas kebaikan hati ? Suatu hinaan dibalas dengan sikap jujur, dan kebaikan hati dibalas dengan kebaikan hati." (Lun Yu XIV/36). Jen dapat diperoleh apabila kita senantiasa belajar giat, memiliki tekad dan tujuan yang baik, jujur, dan senantiasa merenung diri atau berkonsentrasi ke dalam diri (bermeditasi). Dalam Kitab Suci Agama Khonghucu (SI SHU), pembahasan tentang Cinta Kasih terdapat pada Kitab Ajaran Besar sebanyak 1 Pasal 2 ayat, Kitab Tengah Sempurna 1 pasal 2 ayat, Kitab Sabda Suci 12 pasal 34 ayat dan Kitab Meng Zi 8 pasal 19 ayat. Pada Kitab Sabda Suci XII : 1 menyatakan Cinta Kasih itu adalah mengendalikan diri pulang kepada kesusilaan dan sangat tergantung kepada usaha diri sendiri, maka Nabi Bersabda, "Yang tidak susila jangan dilihat, Yang tidak susila jangan di dengar, Yang tidak susila jangan dibicarakan, dan Yang tidak susila jangan dilakukan". Pada ayat lain, Sabda Nabi menyatakan bahwa "apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain". Disamping beberapa ayat tersebut di atas telah menjadi pegangan hidup bagi umat Khonghucu, ada 2 ayat lagi yang tidak asing ditelinga yaitu : "Seorang yang berperi Cinta Kasih ingin dapat tegak, maka berusaha agar orang lain pun tegak ; ia ingin maju, maka berusaha agar orang lain pun maju". (Sabda Suci VI : 30 : 3). "Seorang yang berperi Cinta Kasih rela menderita lebih dahulu dan membelakangkan keuntungan. Demikianlah orang yang berperi Cinta Kasih". 2. I/Gi Chau Ming, mengartikan I atau Gi, sebagai rasa solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan dan rasa sepenanggungan dan rasa membela kebenaran. Sedangkan Fung Yu Lan mengartikan I atau Gi sebagai "keadilan" dan "kebenaran". Hal ini dapat dilihat dalam perkataan Khonghucu, "seorang kungcu (manusia budiman)hanya mengerti akan kebenaran, sebaliknya seorang rendah budi hanya mengerti akan keuntungan." ( Lun Gi IV:16) Pembahasan tentang kebenaran/ keadilan terdapat pada Kitab Ajaran Besar sebanyak 2 pasal 2 ayat. Tengah Sempurna 3 pasal 6 ayat, Sabda Suci 4 pasal 5 ayat dan Meng Zi 6 pasal 8 ayat. Kebenaran itu adalah kewajiban hidup dan jalan lurus, seringkali disebut bahwa kebenaran adalah Jalan sedangkan kesusilaan adalah pintu. Maka dikatakan apabila hendak menemui seorang bijaksana dengan tidak memakai cara yang berlandas Jalan Suci, laksana menyuruh orang masuk rumah tetapi menutup pintu". (Meng Zi VB: 7:8). i/Gi, tidak hanya sekedar dimiliki, tetapi juga harus diwujudkan dalam diri manusia, maka seorang harus dapat merasakan bagaimana penderitaan orang lain. Oleh karena itu, menurut Khunghucu I/Gi harus diwujudkan dalam perbuatan nyata sehingga akan terwujud rasa saling tolong menolong antar sesama. 3. Li/Lee Pengertian Li menurut Khonghucu adalah "sopan santu" dan "tata krama" atau "budi pekerti". Suatu hubungan yang dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lain harus dilakukan dengan Li. Li adalah suatu pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Khonghucu mengartikan kata Li ini sebagai "ritus" atau "upacara-upacara atau ketentuan-ketentuan kepantasan"."ritus" ini betul-betul diajarkan oleh Khonghucu kepada murid-muridnya dengan tujuan agar orang-orang yang berkedudukan rendah dapat menempati istana-istananyadan sekaligus menciptakan lembaga tersebut penuh dengan orang-orang yang beradab. Ada juga yang berpendapat bahwa Li menpunyai dua arti, yakni kesopanan dan ibadat.arti pertama adalah kesopanan, kesopanan ialah cara segala sesuatu yang harus dilakukan. Menurut Khonghucu jika individu harus memulai sesuatu dari awal, maka tidak banyak yang akan dicapainya dalam mencari keindahan dan kebaikan. Dan arti kedua ialah ibadat,menurut Khonghucu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari penuh dengan ritus dan upacara. Setiap langkah dalam perjalanan hidup ini telah ditentukan sehingga tidak ada lagi peluang atau kebutuhan akan perbaikan. Pembahasan tentang Kesusilaan terdapat pada Kitab Tengah Sempurna sebanyak 4 pasal 6 ayat, Sabda Suci 16 pasal 40 ayat dan Meng Zi 8 pasal 16 ayat. Dalam kamus Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta arti kata dari kesusilaan adalah kesopanan ; sopan santun, keadaban. Pada jaman sekarang, kesopanan atau kesusilaan sudah merupakan barang mahal. Maksudnya adalah semakin langka orang berlaku sopan terhadap orang tuanya, saudara-saudara tuanya, orang-orang lain yang lebih tua. Perkembangan ini menunjukkan suatu kemerosotan moral dan cukup memprihatinkan. Demikianlah pengertian Li menurut pandangan Khonghucu, seorang yang sudah memiliki jen, dan Gi harus juga dilengkapi dengan Li. 4. Ce/ Ti Secara harfiah, Ce/Ti berarti bijaksana atau kebijaksanaan, pengertian dan kearifan. Ce juga diartikan "kekuatan", khususnya kekuatan untuk memerintah manusia. Khonghucu tidak setuju dengan konsep yang dikembangkan oleh kaum realis, bahwa saru-satunya pemeintahan yang efektif adalah pemerintahan yang mengguanakan kekerasan fisik. Ce sesungguhnya terletak dalam kekuatan yang terkandung dalam masyarakat bukan diperoleh melalui kekuatan fisik dan bukan pula melalui paksaan hukum, melainkan melalui kepribadian yang luhur. Segala sesuatu yang terjadi di masyarakat tergantung dari watak orang yang menjadi pimpinannya. Jika seorang pemimpin berwatak buruk, maka tidak ada harapan akan adanya ketertiban dalam masyarakat. Pembahasan tentang kebijaksanaan terdapat pada Kitab Ajaran Besar sebanyak 4 pasal 10 ayat, Tengah Sempurna 5 pasal 5 ayat, Sabda Suci 14 pasal 42 ayat dan Meng Zi 9 pasal 23 ayat. Kebijaksanaan asal kata dari bijak artinya pandai, mahir, selalu menggunakan akal budinya (W.J.S. Poerwadarminta). Nabi bersabda, "Orang yang memahami ajaran lama lalu dapat menerapkan pada yang baru, dia boleh dijadikan guru". (Tengah Sempurna XXVI : 6). Kata-kata atau ungkapan yang bijak selalu berlaku sepanjang masa, maka Nabi Agung Kong Zi dijuliki Nabi Sepanjang Masa. 5. Sin Sin Pengertian Hsin dalam ajaran Confucius, tidak hanya berarti bahwa orang percaya pada dirinya sendiri, tetapi juga harus dapat dipercaya oleh orang lain. Dalam era kehidupan saat ini, terdapat begitu banyak orang yang hanya percaya pada dirinya sendiri, tetapi tidak berhasil memperoleh kepercayaan dari orang lain, sehingga terjadi kemerosotan nilai moralitas di dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan dapat diartikan sebagai suatu gandaran dari kendaraan. Suatu kendaraan tentunya tidak bisa dijalankan apabila tidak memilki gandaran. Demikian juga , apabila seseorang telah kehilangan sifat dapat dipercaya oleh orang lain, maka akan sulitlah kehidupannya. Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada seseorang, bila dia tidak lagi memiliki kepercayaan ? Bagaimana bisa menjalankan sebuah gerobak besar, yang tidak mempunyai gandaran atau sebuah gerobak kecil yang tidak mempunyai gandaran ? ” (Lun Yu II/22). Suatu pemerintahan harus memiliki legitimasi dan kepercayaan dari rakyatnya. Tanpa kepercayaan rakyat tersebut, maka suatu pemerintahan tidak berarti apa-apa lagi. Kita sering melihat berbagai pemberontakan, gerakan reformasi, gerakan separatisme, dan berbagai gerakan demonstrasi melanda suatu negara, dimana pemerintahnya sudah tidak memiliki kepercayaan ataupun legitimasi pemerintahan dari rakyatnya lagi. Kekuatan rakyat yang tergabung dalam suatu gerakan, merupakan gelombang dasyat yang dapat meruntuhkan berbagai rangkap tembok kekuasaan. Zi Kung menanyakan mengenai pemerintahan kepada Guru Khung Fu Zi yang dijawab,” Yang diperlukan dalam suatu pemerintahan adalah makanan yang cukup, senjata yang memadai dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahannya.” Lalu Zi Kung menanyakan lebih lanjut, bahwa jika terpaksa harus menyerahkan salah satu dari tiga hal tersebut, maka mana yang harus didahulukan ?, yang dijawab oleh Guru Khung Fu Zi,” Serahkan senjatanya.” Kemudian Zi Kung menanyakan lagi, bahwa apabila kita tidak mempunyai pilihan selain menyerahkan yang dua tersisa tersebut, maka mana yang harus didahulukan, dan Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Serahkanlah makanannya. Sejak dulu, kematian tidak bisa dihindarkan, namun bila rakyat tidak mempunyai kepercayaan terhadap pemerintahannya, maka akan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dipegang.” (Lun Yu XII/7). B. Pengertian Pa Te' Seorang Budiman [C’un Zi] selain dituntut memiliki Lima Sifat Mulia [Wu Chang], juga harus memperluas sifat mulia tersebut menjadi Delapan Sifat Mulia Kebajikan atau Pa Te’. Sifat mulia yang tercakup dalam Pa Te’, sebagian besar sudah teruraikan dalam Wu-Chang, kecuali sifat mulia Jen (Cinta Kasih), yang oleh sebagian kalangan dianggap suatu sifat mulia pokok terpenting yang sepenuhnya berdiri sendiri dengan hakikat sejati sifat Jen tersebut. Sifat lainnya dari Wu Chang yang tidak tercakup dalam Pa Te’ yaitu sifat Chih (Kebijaksanaan). Delapan Sifat Mulia Kebajikan atau Pa Te’ , terdiri dari : 1. Hsiao : Bhakti , yakni berbhakti terhadap orangtua, leluhur, dan guru. 2. Ti : Persaudaraan , yakni senantiasa berlaku hormat terhadap yang lebih tua sebagai saudara atau adanya sifat rendah hati. 3. Cung : Kesetiaan, yakni kesetiaan terhadap atasan, teman dan kerabat. 4. Hsin : Dapat Dipercaya, yakni senantiasa memiliki sifat-sifat dan bertingkah laku yang dapat dipercaya 5. Li : Susila, yakni bersusila atau bertata-krama, sopan santun dan berbudi pekerti yang luhur 6. I : Kebenaran, yakni senantiasa menjunjung tinggi kebenaran sejati atau suatu sifat solidaritas 7. Lien : Sederhana, yakni sifat hidup yang sederhana dan senantiasa menjaga kesucian, yaitu tidak menyimpang atau menyeleweng. 8. Ch’e : Tahu Malu, yakni suatu sifat tahu diri atau tahu malu untuk tidak berbuat asusila. Delapan sifat tersebutlah merupakan delapan sifat mulia itulah. Disini akan diperinci lebih lanjut mengenai pengertian dari kedelapan sifat tersebut. 1. Bhakti [Hsiao) Hsiao, merupakan suatu sifat kepatuhan, bhakti, dan peduli terhadap orang tua , leluhur, dan guru. Hsiao merupakan suatu dasar perbuatan moral seseorang yang berpengaruh terhadap kerukunan sosial. Hsiao meletakkan kepentingan terhadap orangtua dan leluhur di atas dirinya sendiri, pasangan hidupnya, dan anak-anaknya, tunduk kepada nasihat orangtua, dan melayani mereka secara susila [Li]. Confucius memunculkan sifat Hsiao sebagai suatu sila moralitas dengan menempatkannya sebagai dasar pembentukan sifat Jen, yaitu penggalian sifat cinta kasih kepada orang lain. Hal ini dapat dipandang sebagai suatu pengembangan moralitas yang serasi. Confucius juga menguraikan pentingnya sifat Hsiao bagi kerukunan keluarga, dan stabilitas sosial-politik, dimana dalam prakteknya lebih diutamakan kepada ritual keagamaan dan sifat yang berkaitan dengan hal tersebut. Seseorang harus menjaga nama baik keluarga, menghormati serta merawat mereka sewaktu masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal. Seseorang akan tetap dianggap durhaka dan tercela, tidak tergantung bagaimana pintar dan cakapnya orang tersebut, apabila dia tidak mempunyai sikap bhakti terhadap orangtuanya sendiri. Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Bila orang tua anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika anda harus berpergian jauh, anda harus memberitahu mereka di mana anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai anda.” (Lun Yu IV/19). Rasa hormat dan bhakti terhadap seorang guru yang membimbing kita bisa diwujudkan dalam berbagai cara, yang tentunya berperilaku yang baik. Menyampaikan suatu barang yang dapat dimanfaatkan oleh guru dengan tujuan untuk menghormatinya, maka hal tersebut akan merupakan suatu sifat bhakti yang melebihi segala-galanya. Guru Khung Fu Zi bersabda ” Kepada siapapun yang memberikan sesuatu hadiah untuk menghormati gurunya. Saya senang sekali menerima dan melatihnya.” (Lun Yu VII/7). Perlakuan bhakti tidak hanya asal kelihatan dari bentuk luar saja, namun rasa bhakti yang dilakukan dengan sepenuh hati dan penuh hormat, itulah bhakti yang sebenarnya. Guru Khung Fu Zi bersabda, “Sekarang yang dikatakan laku bhakti adalah asal dapat memelihara, tetapi anjing dan kudapun dapat memberi pemeliharaan. Bila tidak disertai hormat, apa bedanya?” Buddhisme juga sangat menekankan mengenai perlunya berperilaku patut / sopan dengan menunjukkan suatu bhakti terhadap orangtua, Sang Buddha dan para siswa Sang Buddha (Sangha), yang mana dikaitkan dengan menimbun kebaikan, sebagaimana sabda Sang Buddha, “Jika seseorang berperilaku patut terhadap ayah dan ibunya, terhadap Sang Buddha yang telah mencapai kesempurnaan, dan terhadap para siswa Sang Buddha; orang seperti itu menimbun banyak sekali kebaikan. ” (Anguttara Nikaya II, 4). 2. Persaudaraan [Ti] Ti mengandung arti kata persaudaraan, yaitu rasa hormat terhadap yang lebih tua di antara saudara, ataupun sikap merendah diri. Ini berarti bahwa seorang adik harus menghormati kakaknya dan juga di dalam tata krama pergaulan yang lebih muda seyogyanya menghormati yang lebih tua . Kehidupan dan kematian tidak dapat dihindari (takdir), demikian kekayaan dan kehormatan adalah sesuai dengan karma kehidupan sebelumnya (telah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, dalam arti oleh akumulasi karma kita sendiri, karena karma kitalah Yang Maha Kuasa). Adakalanya seseorang bersedih, karena tidak memiliki saudara kandung. Tetapi kalau kita selalu berlaku hormat dan berbudi terhadap setiap orang, maka kita senantiasa memiliki saudara di setiap tempat yang kita singgahi. Kepada seseorang yang menanyakan mengenai saudara laki-lakinya, Murid Confucius, Zi Hsia berkata kepada Sze Ma Niu yang dengan penuh keingintahuan menanyakan; kenapa dia tidak memiliki saudara sedangkan yang lain punya, ” Saya mendengar bahwa hidup dan mati adalah takdir; kekayaan dan kehormatan ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Jika seseorang berbudi yang mempunyai kemampuan hormat dan tidak melakukan kesalahan dan memperlakukan orang secara terhormat, maka semua yang ada dalam empat lautan, bisa menjadi saudara laki-lakinya. Mengapa orang yang berbudi itu harus susah karena dia tidak mempunyai saudara laki-laki ? ” (Lun Yu XII/5). 3. Kesetiaan [Cung] Cung mengandung arti setia, yaitu setia terhadap atasan, guru, teman dan kerabat. Cung juga berarti dapat melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan dapat memegang teguh janji yang diucapkan. Seseorang yang penuh kesetiaan senantiasa menunjukkan kesungguhan hati dan kerukunan terhadap gurunya, teman maupun saudaranya. Zi Lu bertanya, “Bagaimanakah seseorang itu pantas disebut sebagai seorang Siswa?” Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seseorang yang penuh kesungguhan hati, kesetiaan dan kerukunan, maka dapatlah disebut seorang Siswa. Dengan kawan dia menunjukkan kesungguhan dan kesetiaan, dengan saudara dia menunjukkan kesabaran dan kerukunan.” (Lun Yu XIII/28) Tingkah laku seseorang akan dapat diterima oleh siapapun apabila dia senantiasa memegang teguh dan senantiasa bersikap penuh kesetiaan terhadap semua perkataan ataupun perbuatan yang dilakukannya. Guru Khung Fu Zi bersabda, “Hendaklah seseorang itu senantiasa memegang teguh perkataannya dengan Kesetiaan dan dapat dipercaya; perbuatanmu hendaklah selalu diperhatikan dengan kesungguhan hati. Dengan demikian di manapun, tingkah lakumu akan dapat diterima. Kalau perkataanmu tidak dipegang dengan Kesetiaan dan dapat dipercaya, perbuatanmu tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, maka sekalipun di kampung halaman sendiri mungkinkah dapat didengar?” (Lun Yu XV/6 (2) Sikap setia dalam melakukan tugas bukanlah diukur dari cepat diselesaikannya suatu pekerjaan, ataupun hanya dengan melihat keuntungan yang biasa saja. Sikap yang demikian, akan menjadikan seseorang tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik (karena terburu-buru), dan tidak akan mencapai sesuatu yang luhur (karena mengharapkan keuntungan yang biasa saja). Pada waktu Zi Hsia menjadi gubernur Ju Fu, dia meminta nasehat Guru Khung Fu Zi mengenai pemerintahan, maka Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Janganlah tergesa-gesa mengharapkan hasilnya; janganlah hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja. Jika anda ingin mendapat hasil yang cepat, anda tidak akan bisa menyelesaikan tugas anda. Dan jika hanya melihat keuntungan yang biasa-biasa saja, anda tidak akan bisa mencapai sesuatu yang luhur.” (Lun Yu XIII/17). 4. Dapat Dipercaya [Hsin] Sifat ini sudah dijelaskan terperinci diatas. Bahwasannya shin mempunyai arti dapat dipercaya. Sin Pengertian Hsin dalam ajaran Confucius, tidak hanya berarti bahwa orang percaya pada dirinya sendiri, tetapi juga harus dapat dipercaya oleh oranglain. Dalam era kehidupan saat ini, terdapat begitu banyak orang yang hanya percaya pada dirinya sendiri, tetapi tidak berhasil memperoleh kepercayaan dari orang lain, sehingga terjadi kemerosotan nilai moralitas di dalam kehidupan bermasyarakat. 5. Susila [Li] Sifat ini mempunyai arti susila, sopan santun, tata krama. Seperti yang sudah dijelaskan panjang lebar diatas. Pengertian Li menurut Khonghucu adalah "sopan santu" dan "tata krama" atau "budi pekerti". Suatu hubungan yang dilakukan oleh manusia yang satu dengan yang lain harus dilakukan dengan Li. Li adalah suatu pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 6. Kebenaran (I) Sifat ini mempunyai arti kebenaran, dan hal ini juga diterangkan lebih lanjut diatas. Chau Ming, mengartikan I atau Gi, sebagai rasa solidaritas, rasa senasib-sepenanggungan dan rasa sepenanggungan dan rasa membela kebenaran. Sedangkan Fung Yu Lan mengartikan I atau Gi sebagai "keadilan" dan "kebenaran". Hal ini dapat dilihat dalam perkataan Khonghucu, "seorang kungcu (manusia budiman)hanya mengerti akan kebenaran, sebaliknya seorang rendah budi hanya mengerti akan keuntungan." ( Lun Gi IV:16) 7. Kesederhanaan [Lien] Lien berarti pola hidup sederhana, dapat menahan diri untuk tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan atau senantiasa menjaga kesucian dalam kepribadian kita. Kehidupan di kota besar yang penuh dengan berbagai godaan, sering menyebabkan kelemahan batin seseorang untuk melakukan penyelewengan, berfoya-foya menghabiskan harta kekayaan, ataupun senang mengubar hawa nafsu belaka. Pengendalian diri melalui meditasi pada saat usia muda, akan dapat mengendalikan Chi’ (suatu komponen dasar dari alam semesta yang mengisi tubuh manusia dan bersikulasi dengan darah), sehingga tidak terbawa oleh hawa nafsu yang sering memuncak pada usia muda. Demikian juga pada waktu usia tua, dimana Chi’ telah berkurang, maka kitapun tetap harus menjaga diri dengan pengolahan diri ke dalam (meditasi). Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Tiga hal yang harus diwaspadai oleh seorang Budiman dalam menjalani kehidupan ini : Bila dia masih muda, darah dan Chi’ tidak stabil, untuk itu dia harus menjaga dirinya terhadap hawa nafsu. Setelah cukup dewasa, darah dan Chi’-nya memuncak, untuk itu dia harus menjaga diri terhadap keinginan melawan alam. Pada usia tua, darah dan Chi’-nya berkurang, maka dia harus menjaga dirinya.” (Lun Yu XVI/7). Ajaran Sang Buddha juga menekankan perlunya sikap sederhana atau tidak berfoya-foya sewaktu masih muda, sebagaimana sabda Sang Buddha berikut : “Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan merana seperti bangau tua yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya. Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci serta tidak mengumpulkan bekal (kekayaan) selagi masih muda, akan terbaring seperti busur panah yang rusak, menyesali masa lampaunya.” (Dhammapada, 155-156). 8. Kesadaran Diri / Rasa malu [Ch'e] Ch’e mengandung arti tahu malu, yaitu suatu sikap mawas diri untuk merasa malu apabila melakukan suatu perbuatan yang melanggar susila atau budi pekerti. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu, maka kehidupannya akan sulit sekali. Segala perbuatan yang melanggar susila ataupun budi pekerti, akan dianggapnya biasa saja. Hal ini sering menimpa para pejabat tinggi negara yang bermental korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dimana apabila terjadi perombakan (reformasi), maka kehidupannya tidaklah akan tenang. Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Bagi seseorang yang tidak mempunyai apa-apa untuk merasa malu dan tidak mempunyai apa-apa yang disembunyikan. Ini berarti bahwa tingkah laku sehari-harinya diuji keras.” (Lun Yu XIV/21). Sering kita menemui orang-orang ataupun pejabat tinggi pemerintahan yang tidak pernah merasa malu mengucapkan sesuatu dimana terkesan hanya untuk menyenangkan pihak lain. Usaha untuk membela diri dari perbuatannya yang melanggar budi pekerti, sudah sering kita baca dan dengar dari berbagai pernyataan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi negara yang tidak tahu malu, tidak memiliki kesadaran diri. Perbuatan yang dilakukan sama sekali jauh dari kenyataan atas apa yang diucapkannya. Guru Khung Fu Zi bersabda, Seorang Budiman [C'un Zi] akan malu bila apa yang diucapkannya melampaui perbuatannya.” Sikap tahu malu juga sangat dituntut dalam ajaran Sang Buddha, dimana dikatakan bahwa sangatlah sulit untuk hidup selalu tahu malu, tetapi hidup itu mudah bagi yang tahu malu. Hal ini mencerminkan betapa sulitnya kita dapat membina sikap tahu malu. Budaya tahu malu, tidaklah semudah pengucapannya. Sang Buddha bersabda, ” Hidup ini mudah bagi orang yang tidak tahu malu, yang suka menonjolkan diri seperti seekor bubuk gagak, suka menfitnah, tidak tahu sopan – santun, pongah dan menjalankan hidup kotor. Hidup ini sukar bagi orang yang tahu malu, yang senantiasa mengejar kesucian, yang bebas dari kemelekatan, rendah hati, menjalankan hidup bersih dan penuh perhatian ” ( Dhammapada, 245) Pelaksanaan Delapan Sifat Mulia Kebajikan [Pa Te'] tersebut di atas sangat penting sekali untuk dapat dimengerti, diingat dan dilakukan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat menjadi seorang manusia yang Budiman (C’un Zi). C. Chun Tzu atau Kuncu Menurut Pandangan Khonghucu Setelah seseorang dapat melasanakan San Kang (tiga hubungan tata krama), Ngo lun (lima norma kesopanan dalam masyarakat), Wu Chang (lima sifat mulia), dan Pa te (delapan Kebajikan), maka ia akan sampai pada pengertian manusia yang ideal yang oleh khonghucu di sebut Chun Tzu atau kuncu (manusia budiman). Istilah Indonesia untuk Chun tzu adalah susilawan, yang dalam bahasa inggris diartikan "gentleman" atau " superiorman". Chun Tzu dapat diwujudkan melalui pengembangan watak dan moral yang baik berdasarkan ajaran Khonghucu. Dan Chun tzu atau Kuncu merupakan salah satu tujuan dari hidup manusia. Seorang yang ingin memperolaeh sifat Chun Tzu, ia harus bermoral baik dalam rumah tangga, terhadap semua saudara, teman, orang tuanya, atasannya dan masyarakat umumnya. Bila itu tidak terpenuhi, maka sulit untuk sampai pada taraf Chun Tzu atau Kuncu. Sampai pada tingkat "insane kamil", kun fu tse member gambaran sebagai berikut: " bahwa hanya orang yang benar-benar sempurna dapat membina fondasi besar bagi bangsanya (masyarakat) yang beradap. Bilamana kejujuran berada, maka terdapatlah keindahan dalam watak (akhlak) dan barulah keseimbangan dalam rumah terwujud, dan bilamana ada keseimbangan dalam rumah, maka ada ketertiban dalam kehidupan bangsa (masyarakat). Bilamana ketertiban dapat terwujud, maka timbullah perdamaian dunia." BAB III PENUTUP Kesimpulan Khonghucu merupakan agama yang mempunyai suatu etika-etika yang mengatur dalam kehidupan pemeluknya. Ada beberapa sifat mulia yang seharusnya dimiliki oleh para umatnya yakni Wu Chang (lima sifat mulia) dan Pa te (delapan sifat mulia). Sifat tersebut sangat penting untuk dilakukan, karena dengan melakukan sifat tersebut maka ia akan mencapai Chun Tzu (manusia budiman). Yang hal itu merupakan impian dari Khonghucu. Jika dilihat dari sudut pandang Islam, islam juga mengajarkan tentang insan kamil. Yang mengajarkan bahwasanya manusia yang sempurna ialah manusia yang bisa menjadi pndasi bagi bangsanya (masyarakat) yang beradap.dan mewujudkan suatu ketertiban dalam kehidupan bangsa. Bilamana ketertiban terwujud maka akan timbul perdamaian dunia. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 1991. Perbandingan Agama. Jakarta: Rineka Pustaka Arifin, Muhammad. 1998. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press http://agama.kompasiana.com/2010/12/20/agama-tridharma-buddha-tao-dan-konghucu-sebuah-latar-belakang/ http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1072 http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1166 http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu http://www.bagansiapiapi.net/id/topic.php?id=186 Keene, Michael.2006. Agama-agama dunia. Yogyakarta: kanisius Khung, Lim. 2010. Hidup Bahagia Dalam Jalan Suci Tian. Bandung: Mascot Jaya Lasiyo dkk. 1995. Pergulatan Mencari Jati Diri. Yogyakarta: interfidei Singgih, Marga. 2007. Tridarma. Jakarta: bakti Smith, Hunston. 2001. Agama-agama Manusia. Jakarta: obor Indonesia Tjang. 2007. Pengetahuan Umum Tentang tridharma. Semarang: benih bersemi Tanggok, ikhsan M. 2000. Jalan Keselamatan Melalui Khonghucu. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar