Sabtu, 29 September 2012
ETIKA KHONGHUCU Oleh: Dian Syva`Hanina
ETIKA KHONGHUCU I
Oleh: Dian Syva`Hanina
ABSTRAK
Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup baik. Akal budi itu ciptaan Allah dan tentu diberikan kepada Manusia untuk dipergunakan dalam semua dimensi kehidupan. Etika sering dipadankan dengan kata moral, dalam bahasa Latin Mos yang bentuk jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Sedangkan dalam arti luas etika adalah sarana orientasi bagi usaha manusia untuk menjalani hidup di dunia. Antara etika dan agama jelas memiliki hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Banyak nilai dan norma etis yang berlaku di masyarakat berasal dari semangat (ideal-moral) agama. Mengingat agama merupakan suatu kepercayaan yang mengandung nilai-nilai tentang norma yang dapat mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya juga hubungan antara manusia dengan makhluk lain serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Kata Kunci: Etika, Sosial, Agama konghucu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konfusianisme merupakan salah satu ajaran yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang dipopulerkan oleh konfusius dan para penganutnya. Dalam istilah Cina, Konfusianisme menunjukkan pada dua pengertian yaitu, Ju Chiao dan Ju Chia. Secara garis besar ajaran konfusianisme dalam bidang filsafat dapat dikelompokkan dalam ajaran tentang metafisika dan etika. Metafisikanya bertolak dari konsep T`ien atau Thian, yang dalam bahasa inggris Heaven merupakan faktor spiritual yang utama dalam bidang keagamaan. Oleh karena itu di dalam Ju Chiao, konsep tentang Thian perlu mendapatkan perhatian khusus walaupun hal ini cukup rumit mengingat keterbatasan manusia sebagai salah satu makhluk ciptaannya.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Etika dari agama konghucu?
2. Bagaimana hubungan norma kesopanan dalam confusius?
3. Bagaimana hubungan tata krama dalam khonghucu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Etika dari agama konghucu
2. Untuk mengetahui hubungan norma kesopanan dalam confusius
3. Untuk mengetahui hubungan tata krama dalam konghucu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian etika
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993), etika di definisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
karena kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat "built-in mechanism" berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Secara garis besar ajaran konfusianisme dalam bidang filsafat dapat dikelompokkan dalam ajaran tentang metafisika dan etika. Metafisika bertolak dari konsep T`ien atau Thian, yang dalam bahasa inggris Heaven merupakan faktor spiritual yang utama dalam bidang keagamaannya.
B. Lima Norma Kesopanan Confucius
Confucius mengajarkan bahwa terdapat lima hubungan norma kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat, dimana secara bersama membentuk suatu dasar interaksi manusia yang diwujudkan dalam lima sifat mulia (Wu Chan), yaitu Jen, I, Li, Chih, dan Hsin. Dengan menjalani kehidupan secara berkesesuaian terhadap lima hubungan norma kesopanan tersebut, maka seseorang akan memiliki kehidupan moralitas yang tinggi terhadap hubungan pribadinya maupun terhadap komunitas sebagai suatu eksistensi bersama yang harmonis.
Hubungan norma kesopanan yang dipaparkan secara berpasangan dapatlah dilihat sebagai suatu paduan keharmonisan dalam unsur Yin-Yang dimana nama awal sebagai dominan bertindak selaku Yang dan nama yang kedua sebagai pengikut bertindak selaku Yin. Lima hubungan tersebut terdiri dari :
a. Hubungan ayah dengan anak, yang dapat ditafsirkan sebagai hubungan anak-anak terhadap orang tua mereka. Seorang anak haruslah berbhakti terhadap orang tua mereka dengan melayani mereka secara sopan santun dan berbudi pekerti luhur, baik pada saat mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Apabila orangtua masih hidup, layanilah mereka dengan sopan santun / budi pekerti. Pada saat mereka meninggal, makamkanlah dengan sopan santun / budi pekerti dan sembahyangilah dengan sopan santun / budi pekerti.” (Lun Yu II/5).
Pengertian bhakti terhadap orangtua juga sangat ditekankan dalam Buddhisme sebagaimana dapat dilihat dari Sutra Kasih Yang Mendalam Dari Orangtua dan Kesulitan Membalasnya (Filial Piety Sutra) dan sutra-sutra lainnya. Dalam sutra tersebut disabdakan oleh Sang Buddha : “Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya, dan ibunya dengan bahu kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya, sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi Puncak Sumeru seratus ribu kalpa lamanya, sehingga darah yang keluar dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belumlah cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya.”
Orangtua senantiasa mengkhawatirkan keberadaan dan kesehatan anak-anaknya. Sungguh berbahagia bagi kita yang dapat hidup di dekat orangtua sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran mereka. Namun dalam kehidupan jaman sekarang sulit dapat dihindari untuk hidup berjauhan dari orangtua karena tuntutan pendidikan ataupun pekerjaan. Kemampuan teknologi komunikasi sangat membantu untuk membolehkan kita menghubungi orangtua secara rutin apabila kita berada jauh dari tempat mereka tinggal, hanya untuk mengabarkan keberadaan kita.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Bila orangtua Anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika Anda harus berpergian jauh, Anda harus memberitahu mereka di mana Anda berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai keadaan Anda .” (Lun Yu IV/19).
Orangtua senantiasa mengharapkan kemajuan dan kesejahteraan anak-anaknya. Apabila anaknya laki-laki, tentunya mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang isteri yang setia. Demikian juga kalau anaknya perempuan, maka mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang suami yang baik.
b. Hubungan Suami dan Isteri, Keharmonisan hubungan suami dan istri sangatlah ditekankan dalam ajaran Confucius. Kedudukan seorang perempuan kelihatannya menduduki sifat Yin yang mana lebih bersifat menuruti seorang Suami. Tentunya dalam era kehidupan saat ini, telah tercatat banyak sekali perempuan yang menunjukkan emansipasinya dalam ikut berperan serta memajukan kehidupan suatu negara. Perlu juga kita sadari, di sisi lainnya, bahwa sebagai seorang perempuan yang melahirkan anak-anaknya, kiranya peran sebagai seorang ibu rumah tangga juga tidak begitu saja dapat diabaikan. Kedekatan seorang ibu terhadap anak-anaknya sangatlah memegang peranan dalam perkembangan moralitas anaknya tersebut.
” Buah Pohon Peach sungguh matang, daunnya sungguh segar. Gadis itu akan ke rumah suaminya, dan dia akan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam rumah tangganya.”
Apabila rumah tangga telah harmonis, maka seluruh rakyat dalam suatu negara akan dapat diajarkan keharmonisan hidup. Dengan demikian kemampuan untuk memerintah dalam suatu negara tergantung dari keharmonisan rumah tangga. Keharmonisan dalam rumah tangga juga sangat ditekankan dalam Buddhisme sebagaimana sabda Sang Buddha, “Sebuah keluarga adalah tempat dimana pikiran-pikiran bergabung dan bersentuhan satu dengan lain . Bila pikiran-pikiran ini saling mencintai satu sama lain, rumah itu akan seindah taman bunga yang asri. Namun bila pikiran-pikiran itu tidak harmonis yang satu dengan yang lain, keadaannya adalah bagaikan topan badai yang memporak porandakan isi taman itu. ” (Anguttara Nikaya III, 31)
Hubungan suami dengan isteri juga berdasarkan pengertian yang baik dan saling menghormati. Seorang calon isteri selalu dinasehati oleh ibunya untuk dapat menghormati suaminya dan senantiasa menghindari perselihan paham. Seorang isteri dituntut dapat menurut secara patut.
Guru Mencius bersabda, ”Apabila seorang lelaki telah dewasa, ayahnya memberikan nasehat-nasehat kepadanya. Pada waktu pernikahan seorang wanita akan dinasehati oleh ibunya dengan memberikan pesan, supaya kalau telah berada di rumah sang suami, haruslah menghormatinya dan jangan sampai berselisih paham. Isteri haruslah menurut secara patut.” (Meng Zi III B/2).
Pengertian isteri yang menurut secara patut adalah bahwa isteri harus menurut pada suami jika hal itu adalah benar dan wajar. Bukan berarti seorang isteri harus secara mutlak menuruti kehendak dari suami. Hubungan suami dengan isteri menurut padangan Confucianis adalah hubungan yang berdasarkan keharmonisan, dimana suami menjalankan tugas sebagai suami yang bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga menjaga nama baik keluarga. Begitu pula isteri juga harus menjalankan tugas sebagai isteri yang baik sebagai ibu rumah tangga, dan kedua belah pihak saling menghormati, sehingga dengan demikian akan terbinalah keharmonisan dalam rumah tangga.
Hubungan suami dan isteri dalam menciptakan kehidupan yang harmonis juga sangat ditekankan dalam Buddhisme dimana sang isteri juga diingatkan untuk secara hati-hati menjaga kekayaan suaminya sebagaimana sabda Sang Buddha, “Cekatan dan cakap dalam pekerjaannya, harmoni dengan orang lain, demikian seorang isteri menyenangkan suaminya , dan dengan hati-hati menjaga kekayaan suaminya.” (Anguttara Nikaya IV, 271).
c. Hubungan antar Saudara yang lebih tua dan muda, lebih ditekankan kepada sikap dan sopan santun yang lebih bersusila antara saudara yang lebih muda kepada saudaranya yang lebih tua. Bagaimanapun seorang saudara yang sama-sama berasal dari satu kandungan, serta dilahirkan dalam satu keluarga yang sama, tentunya memiliki lebih banyak waktu untuk saling mengenal dari semenjak kecil, tanpa adanya suatu sikap mendendam sebagaimana seorang musuh bebujutan. Sikap saling menghormati ini dituntut dari kedua belah pihak, baik dari saudara yang lebih muda ataupun saudara yang lebih muda.
“Dia memperlakukan saudara tuanya dengan benar, dia memperlakukan saudara mudanya dengan benar. ” (Shi Cing)
Confucius sangat menekankan agar seseorang yang masih muda lebih bersikap sopan terhadap yang lebih tua baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Etika ini kelihatan secara nyata sudah mengendur dalam era kehidupan saat ini. Sudah sering kita menyaksikan dalam kehidupan kita sehari-hari dimana terdapat banyak anak-anak muda yang sudah tidak menghormati orang lain yang lebih tua bahkan saudara kandungnya sendiripun tidak dihormati sama sekali. Sikap demikian sering terbentuk karena pengaruh pergaulan di luar, ataupun tindakan orangtua yang kurang menciptakan kondisi kerukunan hubungan anak-anaknya selagi masih muda, akhirnya tanpa disadari akan menghancurkan benih cinta kasih terhadap sesamanya.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Seorang yang masih muda, di rumah hendaklah berlaku bhakti, dan di luar rumah hendaklah bersikap sopan terhadap yang lebih tua. Dia haruslah bersungguh-sungguh dan dapat dipercaya. Dia haruslah memperhatikan cinta kasih terhadap sesama, dan menjalin hubungan persahabatan dengan orang yang memahami cinta kasih.” (Lun Yu I/6)
Hubungan antara saudara, menurut pandangan Confucius, merupakan bagian dari terciptanya keharmonisan antara manusia dan kemudian berpadu dengan hukum Ketuhanan (Th’ien Li), dimana saudara lebih tua harus menyayangi yang lebih muda; saudara yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua.
d. Hubungan antar Teman, Pergaulan di luar sangat menentukan dalam membentuk karakter seseorang. Bergaul dengan teman yang tidak baik tentunya akan mempengaruhi perkembangan batin kita juga. Sebagaimana layaknya seekor anak harimau yang semenjak kecil diasuh dan bergaul dengan kelompok anjing, maka harimau tersebut sesudah besar akan bertingkah laku seperti anjing. Kebijaksanaan dalam bergaul sangat menentukan dimana kita mampu membedakan teman yang baik sebagai seorang sahabat sejati dan yang jahat sebagai koreksi kepribadian kita sendiri yang lemah. Keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini harus dibina secara bersama oleh seluruh masyarakat. Karena itu menjaga hubungan antar teman merupakan suatu peranan yang sangat penting.
Confucius menilai hubungan dengan seorang sahabat sebagai suatu hubungan yang menyenangkan, sehingga apabila ada seorang sahabat yang dari jauh mengunjungi kita, maka selayaknya kita perlakukan dengan baik. Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Apakah bukan sesuatu yang menyenangkan mempunyai teman yang datang mengunjungi dari jauh ? ” (Lun Yu I/1 = awal kumpulan dari Lun Yu).
Orang yang bijak senantiasa berusaha melihat kelemahan temannya untuk mengoreksi dirinya sendiri demikian juga sebaliknya kelebihan temannya akan dipakai untuk memperbaiki kelemahan yang ada dalam dirinya. Guru Khung Fu Zi bersabda,” Bila saya berjalan dengan dua orang lain, selalu ada sesuatu yang dapat saya pelajari dari mereka. Kekuatan mereka saya ambil, sedangkan kelemahan mereka saya pakai untuk mengoreksi diri saya sendiri.” (Lun YU VII/21).
Bergaul dengan sahabat yang sejati tentunya akan memberikan manfaat yang positif, namun bergaul hanya dengan sahabat yang picik akan membawa celaka pada diri kita sendiri. Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Ada tiga sifat sahabat yang membawa faedah dan ada tiga sifat sahabat yang membawa celaka. Seorang sahabat yang baik, jujur dan berpandangan luas akan membawa faedah. Seorang sahabat yang licik, yang lemah dalam hal-hal yang baik dan hanya pandai bersilat-lidah akan membawa celaka.” (Lun Yu XVI/4).
Sang Buddha juga sangat menekankan agar kita senantiasa bergaul dengan sahabat sejati yang berbudi luhur, malahan diminta agar kita tidak bergaul dengan orang jahat yang berbudi rendah. “Bergaul hanya dengan mereka yang baik, berkumpul hanya dengan mereka yang baik, mempelajari ajaran mereka yang baik, akan memberikan kebijaksanaan yang tak dapat diberikan oleh yang lainnya.” (Samyutta Nikaya Vol.I, 17)
“Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan orang yang berbudi rendah; tetapi bergaullah dengan sahabat yang baik, bergaullah dengan orang yang berbudi luhur.” (Dhammapada , 78)
Adakalanya kita mengeluh bahwa sulit sekali untuk memperoleh seorang teman yang sejati, tanpa berusaha melihat ke dalam diri kita sendiri. Tingkah laku kita dalam bergaul juga sangat menentukan bagaimana seseorang itu akan menjadi sahabat kita. Untuk itu kita haruslah melatih kebajikan dalam diri kita sendiri, dan kemudian kebajikan tersebut dapat kita refleksikan dalam tingkah-laku kita terhadap teman. Murid Confucius, Zeng Zi berkata : ” Seseorang yang berbudi mendapat teman dengan membudayakan diri sendiri. Dan melihat kepada temannya untuk membantu mereka melatih kebajikan.”
Adakalanya seorang pengemis ataupun seseorang yang menunjukkan sifat yang kurang baik, dapat saja merupakan sahabat kita pada kehidupan sebelumnya. Mereka yang sering dianggap sampah masyarakat, malah kalau kita pandang dari aspek positif, justru mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga moralitas yang baik dalam menjalani kehidupan ini.
e. Hubungan Pimpinan dan Bawahan, Seorang pimpinan yang bijak akan senantiasa melihat kesejahteraan bawahannya dengan layak. Demikian juga sebaliknya seorang bawahan yang baik akan senantiasa melaksanakan kewajiban tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Dalam era yang serba kompetitif ini, sering kita jumpai adanya seorang karyawan yang berpindah-pindah tempat kerja hanya mengeluh karena kurang mendapatkan perhatian dari atasannya. Tanpa disadari oleh karyawan bersangkutan, sifat berpindah-pindah kerjaan tersebut malah menciptakan suatu citra yang kurang baik bagi dirinya sendiri, sehingga sampai suatu saat dia menemui kesulitan untuk menemukan suatu pekerjaan yang sesuai.
Sifat berpindah-pindah pekerjaan tersebut biasanya timbul karena kurangnya sifat kesetiaan dalam diri orang tersebut. Adakalanya seorang pimpinan menuntut hasil terlebih dahulu dari karyawannya, namun ini merupakan kesalahan yang besar dari tipe pimpinan seperti ini. Karena mestinya seleksi awal dalam penempatan karyawan sudah semestinya ditentukan posisi yang tepat untuk calon karyawan bersangkutan. Kedudukan dan jabatan yang diberikan terhadap seorang karyawan adalah menunjukkan fungsi dan tanggungjawabnya, demikian juga nama atau kedudukan yang disandang oleh seorang pimpinan, menunjukkan luasnya cakupan tanggungjawab yang harus dipikulnya.
Seorang pimpinan haruslah memperlakukan bawahannya dengan budi pekerti, demikian juga seorang bawahan haruslah dapat mengabdi kepada atasannya dengan penuh kesetiaan. Dengan demikian keharmonisan hubungan antara pimpinan dan bawahan akan terjalin dengan baik. Pimpinan dalam pengertian yang lebih luas mencakup kepala negara ataupun seorang raja, sedangkan bawahan mencakup menteri dan para pembantunya.
Guru Khung Fu Zi bersabda : ” Seorang raja memperlakukan menterinya dengan Li (kesopanan / tata krama / budi pekerti). Seorang menteri mengabdi kepada raja dengan kesetiaanya.” (Lun Yu III/19).
Confucius sangat menekankan mengenai pentingnya pemilihan seorang kepala negara, dan juga gaya pemerintahan yang ditunjukkannya. Pandangan Beliau bahwa cara pemerintahan seorang kepala negara akan mempengaruhi juga sikap rakyatnya. Misalnya seorang raja yang memerintah dengan penuh kesusilaan, maka rakyatnya juga akan mengikuti caranya. Guru Khung Fu Zi bersabda, “Jika kamu berbuat baik, maka rakyat juga akan berbuat baik. Karakter seorang kepala negara seperti angin dan rakyatnya seperti rumput. Ke arah manapun angin bertiup, maka rumput akan mengikuti arahnya.” (Lun yu XII, 19)
Beliau mengakui bahwa para pemimpin negara memperoleh posisinya karena mendapatkan mandat dari Yang Maha Kuasa, tetapi Beliau juga mengargumentasikan bahwa situasi tersebut bukannya tidak bisa berubah. Seandainya seorang pemimpin negara memerintah dengan tangan besi dan penuh ketamakan, maka dia mengkhianati kepercayaan yang telah dilimpahkan kepadanya. Sehingga tepat baginya untuk diturunkan tahtanya dan digantikan pemimpin lainnya. Cara pemerintahan seorang kepala negara atau pemimpin akan mempengaruhi sikap pandang rakyat atau bawahannya.
Guru Meng Zi bersabda, “Bila seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai tangan dan kakinya, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai jantung dan pikirannya. Jika seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai anjing dan kuda, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai orang kebanyakan. Jika seorang pemimpin negara memperlakukan menterinya sebagai lumpur dan rumput, maka menterinya akan memperlakukan pemimpin negaranya sebagai perampok dan musuh.” (Meng Zi IVB,
Sehingga seseorang dalam hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan kedua sifat Yin dan Yang. Sebagai contoh, seorang ayah, bersifat Yang dalam hubungan dengan istri dan anaknya, dan bersifat Yin dalam hubungan dengan pimpinannya ataupun terhadap teman dan saudaranya yang lebih tua. Seorang anak adalah bersifat Yin dalan hubungan dengan ayahnya dan Yang dalam hubungan dengan saudara atau temannya yang lebih muda. Confucius tidak menjelaskan masalah yang kemungkinan dapat terjadi apabila suatu keluarga dimana anak kedua (dalam pengertian China) memiliki keunggulan yang lebih dominan daripada saudara tuanya; juga tidak ditegaskannya apakah seorang perempuan layak memiliki sifat selain Yin.
Sangat ditekankan oleh Confucius, bahwa dalam berbagai posisi apakah sebagai seorang pemimpin atau kepala negara, bawahan atau menteri, ayah dan anak, haruslah mampu menyadari akan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing sehingga terbentuk keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah, dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Yu XII/11).
C. Tiga hubungan tata karma dalam etika khonghucu
a. Hubungan seorang raja dengan mentrinya atau hubungan atasan dengan bawahannya Untuk melihat sebagaimana pandangan khonghucu tentang hubungan atasan dengan bawahan ini, dapat dilihat ungkapan khonghucu berikut ini: Seorang raja memprlakukan menterinya dengan Li (kesopanan atau penuh dengan budi pekerti yang baik). Seorang mentri mengabdi kepada raja dengan kesetiaannya. (lun gi III; 19). Seorang atasan tidaklah semestinya bersifat otoriter terhadap bawahanya, dan bawahan kebaikan bersama. Ungkapan ini juga menggambarkan bahwa khonghucu ingin mengubah tradisi kerajaan pada masa itu yang selalu besifat otoriter terhadap bawahan dan masyarakatnya.
b. Hubungan ayah dengan anaknya, Selain membicarakan hubungan raja dengan mentrinya dan sebaliknya mentri dengan raja, khonghucu juga bicara tentang hubungan bapak dengan anak-anaknya, dan hubungan anak dengan orang tuanya. Hubungan ayah dengan anak tersebut dapat dilihat dalam perkataan khonghucu sebagai berikut: Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai mentri, ayah berfungsi sebagai ayah dan anak berfungsi sebagai anak. (Lun gi XII: II) perkataan khonghucu diatas menggambarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang harus mendapat menempatkan fungsi sosialnya dengan baik.
c. Hubungan suami dengan istri, Bagi khonghucu hubungan suami dengan istri haruslah juga didasarkan pada sifat-sifat yang baik dan terpuji. Seorang suami harus dapat menghormati istrinya dan begitu juga sebaliknya, seorang istri harus menghormati suaminya. Menurut sifat-sifat yang benar inilah jalan suci bagi seorang wanita (Mencius III, 2.2) istri yang baik adalah istri yang tunduk dan patuh terhadap perintah suaminya, dan istri yang tidak baik adalah istri yang selalu melanggar perintah suaminya
D. Kesimpulan
Lima Norma Kesopanan yang telah diuraikan tersebut di atas, dapat dilihat memiliki banyak kesamaannya dengan pengertian Buddhisme sebagaimana sabda Sang Buddha dalam Sigalovada Sutra yang menjelaskan kesopanan dalam kehidupan dengan melakukan kewajiban-kewajiban, seperti kewajiban antara orang tua dan anak, guru dan murid, suami dan istri, sahabat dan kenalan, atasan dan bawahan yang ditambahkan dengan umat biasa dan para orang suci.
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
Daftar Pustaka
- Cenggana,Anly dkk.1998.Hak Asasi Beragama dan Perkawinan Khonghucu Prespektif Sosial,Legal, dan Teologi.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama Bekerja Sama Dengan MATAKIN
- Keene,Michael.2006.Agama-Agama Dunia.Yogyakarta:Kanisius
- Mathar Qasim, Muhammad.2003.Sejarah ,Teologi dan Etika Agama-Agama.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Smith, Huston,2001.Agama-Agama manusia.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
- Anly Cenggana dkk, 1998 “Hak Asasi beragama dan perkawinan konghucu dalam prespektif legal dan teologoi” Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
- Abdurrahman Wahit, 1995“Pergulatan Mencari Jati Diri”Yogyakarta: PT. Rineka cipta
- Abu Ahmadi, 1991 “Ilmu Perbandingan Agama” Jakarta: PT.reneka citra
- M.Iksan Tanggok .2000. “Jalan Melalui Agama Konghucu” Jakarta: PT Gramedia Pystaka Utama.
- http://sumansutra.wordpress.com/lima-norma-kesopanan-ala-confucius/k
- http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Best online casino no deposit bonus codes 2021
BalasHapusIn our online casino review, you can find a list of the best no deposit 온카지노 bonus 1xbet korean codes, free spins, and deposit 제왕카지노 bonuses from different online