Kamis, 14 April 2011

1. Socrates(470-399 SM)
Posisi Socrates bagi filsafat Dunia sungguh unik. Unik sebab keberadaannya bagi filsafat melahirkan implikasi yang seakan paradoks. Paradoksi tersebut tercermin dalam dua gambaran kata, yakni signifikan namun sekaligus membingungkan. Signifikan karena pemikirannya dinilai secara langsung berpengaruh kepada muridnya Plato, dan Plato adalah tokoh penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Membingungkan sebab dari Socrates tidak ditemukan bukti tertulis apapun yang bisa menjelaskan bagaimana sesungguhnya pemikiran ia yang orisinil.[1] Semua tentang Socrates ditemukan dalam catatan murid-muridnya seperti Plato, Xenophanes, Aristoteles dan Aristophanes.[2]
Ada catatan menarik dalam bukunya Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa tokoh Socrates bisa jadi memiliki dua pengertian berbeda. Pertama, Socrates sebagai tokoh atau individu yang faktual dalam sejarah. Kedua, Socrates sebagai tokoh konseptual bayangan Plato dengan segenap sistem filsafatnya. Di katakan dalam buku tersebut bahwa buku catatan Dialog Plato dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, dialog-dialog elenctic (elenctic dialogues) yakni; Apology, Charmides, Crito, Euthyphro, Gorgias, Hippias Minor, Ion, Laches, Protagoras dan Republic. Kedua, dialog-dialog transisi (transitional dialogues) yakni; Euthydemus, Hippias Major, Lysis, Menexenus dan Meno. Kelompok dialog pertama banyak menggambarkan Socrates sebagai pribadi dalam sejarah, sedangkan kelompok kedua mengkonsepkan Socrates sebagai konsep dan tokoh rekaan bayangan Plato.[3]
Socrates menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Athena. Hampir seluruh hidupnya tersebut diabdikan bagi negara, masyarakat dan filsafat. Yang mengesankan dari Socrates adalah bahwa ia tidak menjadikan pengajaran tentang kebijaksanaan kepada masyarakat sebagai profesi untuk mencari penghasilan. Berbeda dengan kebanyakan kaum sofis. Hal inilah yang menjadikan betapa Plato dan murid-muridnya yang lain begitu menaruh hormat secara pribadi kepada Socrates.
Yang terpenting yang dianggap sebagai peninggalan Socrates adalah metode kefilsafatan dan epistemologi. Metode kefilsafatan Socrates dikenal sebagai metode elenchos. Metode ini berupa dialog dengan menanyakan sejumlah daftar pertanyaan dan mempersoalkan kembali jawaban dari lawan bicara. Kebanyakan tema dialog yang diajukan pada saat itu adalah tentang keadilan dan kebaikan. Berikutnya metode ini dikenal sebagai meutika tekne atau intellectual midwife yakni metode yang mirip dengan teknik bidan dalam membantu kelahiran. Bahwa kebenaran yang datang tidak datang dari orang lain tetapi datang dari setiap individu itu sendiri. Sebagai catatan, banyak yang berpendapat bahwa metode Socrates ini diinspirasi oleh Ibu Socrates, Phaenarete yang saat hidup berprofesi sebagai bidan.
Metode Socrates juga dikenal sebagai metode percakapan negatif. Negatif karena hampir semua isi pertanyaan adalah eliminasi atau pemojokan dari kepercayaan-kepercayaan masa lalu seseorang. Tujuan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan ini tidak lain adalah agar seseorang senantiasa menguji keyakinan dan pengetahuannya sendiri. Semacam metode verifikasi untuk mengukur validitas pengetahuan. Dia pernah berkata, “saya tahu anda tidak akan menganggap saya, akan tetapi manusia yang hebat adalah manusia yang mampu mempertanyakan tentang dirinya sendiri dan orang lain.”[4]
Tidak ada yang tahu persis kenapa Socrates meninggal secara tragis dengan meminum racunnya sendiri akibat hukuman. Banyak polemik menyangkut fakta ini. Banyak yang berpendapat bahwa Socrates dihukum oleh pengadilan Athena sebab ia cenderung memuji Sparta dan tidak loyal kepada demokrasi yang dianut Athena. Pendapat lain menyatakan bahwa dia dianggap meracuni pikiran-pikiran masyarakat Athena mengenai isu-isu moral dan kepercayaan beragama. Sehingga diputuskan bahwa melalui metode dialektika-negatifnya, Socrates dianggap berbahaya dengan wabah keragu-raguan bagi generasi Athena berikutnya. Socrates dihukum dan secara terhormat memilih mati dengan keyakinannya yang tetap di genggaman.

2. Plato (428-347 SM)
Plato adalah murid terbaik Socrates. Dilahirkan di Athena dari keluarga bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan Socrates dan pemikirannya, maka sama sekali ia tidak tertarik dengan dunia politik. Pasca kematian Socrates karena pengadilan yang janggal, Plato mengembara ke beberapa tempat sekedar mengekspresikan kekecewaannya terhadap pemerintahan Athena. Ada yang mengatakan ia berkelana ke Sisilia dan Italia, bahkan hingga ke Mesir.[5]
Setelah lama berkelana, ia pun kembali ke Athena dan mulai merintis mendirikan Akademi. Akademi disebut-sebut sebagai model Universitas pertama di Dunia.
Plato dikenal menghasilkan banyak catatan kefilsafatan yang berbentuk dialog-dialog. Dialog-dialog yang terkenal adalah; Apology, Charmides, Crito, Euthyphro, Gorgias, Hippias Minor, Ion, Laches, Protagoras, Republic, Phaedo, Symposium, Timaeus, Euthydemus, Hippias Major, Lysis, Menexenus dan Meno.
Metafisika Plato yang terkenal adalah apa yang juga dipikirkan oleh Socrates, bahwa kenyataan ini tersusun dari dua hal yang tidak bisa didamaikan, dunia material dan dunia spiritual. Dunia material baginya adalah bayangan dunia yang sesungguhnya, dunia spiritual. Menurut Plato, “kebanyakan manusia bahagia dengan hidup tanpa perenungan”, eu a-mousoi. Hal ini ironis, sebab kualitas hidup tertinggi adalah pada saat manusia menutup mata dan mampu keluar dari kungkungan dunia material. Plato dengan fasih mengumpamakannya dengan kisah manusia gua yang selamanya hanya akan melihat bayangan kecuali dia berjuang membebaskan diri untuk ke luar gua.[6]
Teori tentang “bentuk” Plato juga diinspirasi oleh Socrates. Bentuk adalah arketip atau abstraksi dari pengalam fisik yang terjadi di sekitar manusia. Pengalaman fisik serba rusak dan berubah, namun bentuk tidak bisa rusak atau berubah.
Di dalam epistemologi, Plato berpendapat bahwa pengetahuan sejatinya adalah kepercayaan benar yang telah mengalami proses pembenaran atau justifikasi. Pengetahuan adalah pemahaman menyeluruh tentang “bentuk” yang tidak berubah dan hubungan antara satu bentuk dengan bentuk lainnya. Sama seperti Socrates, Plato sepakat dengan konsep pengetahuan rekoleksi atau anamnesis. Bahwa jiwa itu abadi dan tidak punah. Jiwa yang abadi ini berinkarnasi kepada tubuh-tubuh lain yang akan dilahirkan. Setiap manusia telah mempunyai pengetahuannya sendiri tentang bentuk yang tak berubah, hanya saja ia melupakan pengetahuan tersebut dikarenakan shock saat kelahiran. Dunia pengalaman dan dunia fisik hanya membantu manusia mengingatkan pengetahuan yang sebenarnya pernah ia miliki.

3. Aristoteles (384-322 BC)
Aristoteles adalah tokoh besar dengan pemikiran besar. Dia adalah murid Plato dan Socrates, guru dan mentor Alexander the Great. Belakangan diketahui bahwa Aristoteles juga merupakan tutor bagi Raja Firaun Ptolemy I Soter di Mesir dan Raja Cassander di Babilonia. Bersama Plato dan Socrates, Aristoteles adalah tokoh filsafat yang sangat penting bagi dunia Barat dan Dunia. Signifikansi Aristoteles disebabkan pemikirannya yang lengkap dan luas tentang semua hal, mulai dari moral, estetika, logika, sains, politik hingga metafisika.
Fisika Aristoteles mengobarkan intelektual masa pertengahan dan menginspirasi masa renaissans terus kembali dikutip oleh fisika klasik Newton.[7] Observasinya tentang ilmu hewan dan logika bahkan masih relevan di masa abad ke-19 M. Metafisika Aristoteles mempengaruhi hampir semua agama, masa skolastik kekristenan, hingga etika modern. Praktis, semua yang pernah dibangun Aristoteles, masih relevan menjadi bahan kajian intelektual di masa kini.
Aristoteles dilahirkan di Stageira dalam keluarga bangsawan pembantu Amyntas Raja Makedonia. Ia dididik secara baik oleh lingkungan aristokrasi Makedonia. Pada usia 18 mulai bergabung belajar di Akademi Plato. Pada tahun 335 SM, ia mendirikan sekolahnya sendiri, Lyceum di Athena.
Di dalam logika, Aristoteles terkenal dengan penemuan logika formalnya. Menurut Kant, logika Aristoteles identik dengan inferensi deduktif. Sebenarnya, Aristoteles menyebut logikanya sendiri dengan “analitik”. Dan dia memaksudkan pengertian logika sebagai dialektika. Pemikiran Aristoteles khusus tentang logika terwadahi dalam buku-bukunya yang tergabung dalam Organon. Organon tersebut tersusun dari 6 bagian yakni Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics dan On Sophistical Refutations.
Dialektika atau metode penemuan kefilsafatan Aristoteles yang aplikatif memuat tiga tahapan:
a) Peneliti harus mengumpulkan data yang bisa diamati atau tampak (fenomena). Verifikasi fenomena tidak hanya diukur lewat observasi empiris, namun juga harus bisa dipertanggung jawabkan secara luas dan berdasarkan otoritas keumuman universal.
b) Data yang terkumpul mulai dihubungkan satu sama lain dan jika terdapat kejanggalan dalam pola hubungannya (paradoks maupun kontradiksi), maka peneliti harus memecahkan kejanggalan tersebut.
c) Jika kejanggalan tetap tidak bisa diselesaikan, maka peneliti berhak merevisi data. Merevisi berarti boleh mempertahankan temuan yang relevan dan berhak membuang temuan yang tidak relevan.[8]
Aristoteles, sama seperti Plato, berusaha menemukan prinsip universal atas pengetahuan. Berbeda dengan Plato yang menyatakan bahwa yang universal adalah yang melampaui benda partikular dan bersifat prototipe atau exemplar, menurut Aristoteles, yang universal ditemukan dalam setiap yang partikular. Aristoteles menyebutnya sebagai esensi, atau inti benda-benda. Hal inilah yang membedakan Aristoteles yang realis dari Plato yang idealis.
Di dalam pembagian Aristoteles, sains terkelompokkan dalam tiga rumpun; teoritis, praktis dan puitis. Sains teoritis adalah matematika, fisika dan metafisika. Sains praktis adalah etika dan politik. Sedangkan sains puitis adalah puisi dan seni lainnya. Istilah sains yang dimaksudkan waktu itu berbeda dengan konsep sains yang berkembang di masa sekarang.
Di dalam fisika, Aristoteles menambahkan elemen ether untuk melengkapi 4 elemen yang pernah diperkenalkan oleh Democritus atau Empedocles tentang api, air, udara dan tanah. Ether adalah subtansi rohani yang berfungsi mengangkat ruang angkasa tempat bintang-bintang dan planet-planet.



SUMBER BACAAN
Donal M. Borchert, ed.all. The Encyclopedia of Philosophy Supplement (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996).
Ted Honderich, ed.all. The Oxford Companion to Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1995).
http://en.wikipedia.org/wiki/Socrates.
http://en.wikipedia.org/wiki/Plato
http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotle

Tidak ada komentar:

Posting Komentar