Rabu, 13 April 2011

Perkembangan Ilmu perbandingan Agama di Indonesia
Oleh : Mohammad Thoriqul Huda

Perkembangan ilmu perbandingan agama di Indonesia di mulai Pada pertengahan abad ke-17, Nuruddin Ar-Raniri (w. 1685) menulis sebuah buku berjudul Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan. Selain membahas agama-agama yang lahir semenjak Nabi Adam, buku ini juga membahas aliran-aliran dalam disiplin Ilmu Kalam dalam tradisi Islam. Selanjutnya Pada tahun 1930-an, di Padang muncul beberapa sekolah yang disebut sebagai “sekolah kaum mudo”. Sebut saja Cursus Normal Putri, Tsanawiyah, dan Islamic College. Ketiga sekolah ini mencantumkan mata pelajaran “perbandingan agama” dalam kurikulumnya. Di antara pengajar ahlinya adalah Muchtar Luthfi dan Iljas Ja’qub.
Selain tiga sekolah di atas hal lain yang menandai perkembangan Ilmpu perbandingan agama di Indonesia adalah dengan dimasukkannya kurikulum perbandingan agama atau setudi agama agama di berbagai sekolah baik tingkatan tsanawiyah sampai perguruan tinggi, ada beberapa sekolah, seperti al-Jami’ah al-Islamiyah dan Normaal Islam (yang berdiri pada tahun 1931), Training College (yang berdiri pada tahun 1934) dan Madrasah Tsanawiyah, yang juga mengajarkan mata pelajaran “perbandingan agama”.
Salah satu pengajarnya adalah Mahmud Yunus yang menulis buku berjudul “Al-Adyan”.
Pada tahun 1951, Pesantren Persatuan Islam (Persis) mengembangkan satu mata pelajaran yang disebut “Mengenal Agama-agama Lain”. Pelajaran ini diajarkan pada tingkat Tsanawiyah dan digolongkan sebagai mata pelajaran umum.
A. Hasan mendirikan pesantren Persis pada tahun 1936 di Bandung. Pada tahun 1940, pesantren ini dipindah ke Bangil Pasuruan beserta dengan 25 orang santrinya.
Pada tahun 1951 juga berdiri perguruan Tinggi Islam Jakarta (PTIJ). Pada salah satu perencanaan kuliah yang disusun perguruan ini terdapat mata kuliah “Lain-lain Agama dan Kepercayaan”
Pada tahun 1955, Unversitas Cokroaminoto (yang awalnya bernama Perguruan Tinggi Cokroaminoto) memunculkan mata kuliah “Perbandingan Agama”.
Berdiri pada tahun 1957, Perguruan Tinggi Islam Palembang (PTIP) memiliki satu fakultas, yakni Hukum Islam dan mengajarkan mata kuliah “perbandingan agama” pada tingkat sarjana muda lengkap (bacalaureate).
Mulanya pemerintah RI mendirikan dua lembaga pendidikan tinggi Islam: Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berdiri pada tahun 1951 di Yogyakarta dan Akademi Dinas Agama Islam (ADIA) yang berdiri pada tahun 1957 di Jakarta. PTAIN mengajarkan mata kuliah “Pengantar Ilmu Agama” dan “Perbandingan Agama”, sedangkan ADIA mengenalkan mata kuliah “Agama-agama Besar” yang salah satu tokoh besarnya adalah Ali Mukti.
Dosen ahli pada saat itu adalah Prof. Dr. Ahmad Syalabi untuk PTAINdan Prof Mahmud Yunus untuk ADIA.
Di perguruan tinggi non-Islam juga diajarkan mata kuliah bernuansa “perbandingan agama”, dengan istilah Agama-agama, Fenomenologi Agama, Ilmu Agama dan Pengenalan Terhadap Agama Timur. Sekolah Tinggi Teologi Duta Wacana misalnya meletakkan mata kuliah Agama-agama sebagai MKDK (Mata Kuliah Dasar Keahlian). Universitas Kristen Immanuel (UKRIM) mengenalkan mata kuliah Pengenalan Terhadap Agama Timur.
Universitas Katolik Atma Jaya di Jakarta meletakkan ilmu perbandingan agama sebagai MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum).
Institut Hindu Dharma mempunyai Fakultas Ilmu Agama (FIA) yang di dalamnya terdapat kurikulum bermuatan mata kuliah “ilmu agama” secara luas
Hingga tahun 1950-an, disiplin ilmu perbandingan agama masih diajarkan dalam batas-batas tertentu sebagai media (alat) untuk dakwah Islamiyah. Tokoh-tokoh yang mengajarkan disiplin ini tidak memiliki latar belakang ilmu perbandingan agama. Misalnya, Ahmad Syalabi adalah pakar kebudayaan Islam dan Mahmud Yunus pakar pendidikan.
Setelah menamatkan studinya di McGill University, A. Mukti Ali ditunjuk sebagai “pembina” Jurusan Perbandingan Agama di IAIN (1960) Jakarta dan Yogyakarta. Kurikulum yang ia susun antara lain adalah Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Filsafat Agama, Kristologi, Dogmatika Kristen, Sejarah gereja, Tafsir Injil, Orientalisme, dan Aliran Kebatinan.
Tentu saja, Mukti Ali tidak melupakan disiplin Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Pemikiran Modern dalam Islam.

3 komentar: