Selasa, 29 Maret 2011

adakah keselamatan diluar yesus

PENGANTAR
sembunyikan teks Joachim huang
Ada sebuah gambar tempel (sticker) di belakang mobil bertuliskan "IF OTHERS FAILED, TRY MY JESUS!" (Bila yang lain-lainnya gagal, cobalah Yesus-ku!). - Sekilas tampaknya di sana tersirat suatu pesan yang menarik untuk kita simak lebih kritis dan mendalam. Alih-alih message bercap Kristen tersebut bakal menantang atau mengundang siapapun pembacanya percaya kepada Tuhan, atau sebaliknya malah yang sering muncul adalah reaksi polemik, alias perang sticker tak langsung antar pemeluk kepercayaan agama.
Telaah terhadap konsep keselamatan yang disajikan lewat tulisan ini sama sekali tak berpretensi untuk saling mengadu, menggoyahkan atau merontokkan keyakinan umat beragama apapun; tetapi bertujuan untuk memaparkan isi kepercayaan khas Kristiani. Secara obyektif dalam konteks jujur, bebas, dan terbuka, setiap insan religius tentu boleh mengungkapkan isi keyakinan dogmatis yang diakui dan dipegangnya selama ini. Asal saja sikap dan pendirian seperti ini tidak beritikad menghina orang lain. Voltaire, sang filsuf ateis itu pernah berujar: "Aku mungkin tidak sepatah katapun menerima isi pandangan yang dilontarkan oleh seseorang, tetapi dengan sepenuhnya aku mendukung hak serta kebebasan orang tersebut dalam mengutarakan keyakinannya itu!" Dalam konteks ini, sudah barang tentu saudara juga memiliki kebebasan untuk bersikap entah menyetujui atau menolak pendapat seperti Voltaire tadi. Agaknya yang dirasakan terlebih penting adalah meninjau serta mengkaji argumen-argumen pemikiran yang mendasari penilaian kita terhadap sesuatu keyakinan tertentu.
Artikel ini ingin memperbincangkan apakah di luar Yesus Kristus maksudnya dalam keyakinan-keyakinan lain non Kristen - terdapat pula jaminan keselamatan secara mutlak dan pasti. Untuk memperoleh suatu jawaban yang cukup tuntas komprehensif, penulis ingin memakai beberapa pendekatan: antropologis komparatif, teologis kualitatif, dan logis (filosofis) selektif.
PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
sembunyikan teks
Setiap manusia, tak terkecuali ia berasal dari bangsa manapun, memiliki kebudayaan apapun, maupun hidup pada zaman kapanpun dan seterusnya; siapapun dirinya tentu memiliki naluri dan nurani beragama yang khas masing-masing. Maka dalam hal ini mula pertama kita tidak perlu terlebih dulu mempersoalkan perbedaan obyek kepercayaannya, pemahaman imaninya serta tata cara peribadatannya, apalagi kadar kedalaman religiusnya. Singkat kata, pada dasarnya setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya adalah seorang insan beragama, terlepas dari subyektivitas entah benar atau tidak nilai keyakinannya tersebut. Namun tetap harus diakui adanya fakta obyektivitas bahwa beranjak dari kodrat insaninya semua manusia juga mempunyai dimensi religiositas yang unik. Artinya, pengalaman hidup beragama seseorang merupakan bagian yang memang tak terpisahkan dari natur ciptaan yang melekat pada dirinya sebagai makhluk yang berkapasitas untuk percaya dan menyembah kepada "realitas" yang lebih tinggi dari diri manusia, entah "realitas" itu bersifat tunggal atau jamak, dipanggil sebagai Allah atau dewa ataukah sesuatu yang diilahkan.
Orang Kristen, sama seperti sesamanya manusia yang beragama lain juga mempunyai naluri dan nurani untuk beragama sesuai dengan kodrat manusiawi tadi. Dalam pengertian umum, kita melihat bahwa ungkapan beragama di sini adalah mengandung asumsi dan konotasi seseorang ingin melepaskan hidupnya dari keadaan kacau (sebagaimana kata agama berasal dari bahasa Sansekerta a gamos, yang berarti tidak kacau). Secara lebih mendalam tersirat adanya suatu ketergantungan kepada "realitas" yang lebih tinggi itu agar manusia bisa mencapai hidup yang tidak kacau. Keselamatan menurut keyakinan iman Kristiani, sebagaimana juga dalam beberapa kepercayaan yang lain membutuhkan campur tangan realitas "Juruselamat". Sedangkan upaya menyelamatkan diri dari kebinasaan atau kekacauan hidup yang hanya tergantung kepada kehendak maupun kemampuan diri pada dasarnya bersifat antroposentris. Walaupun demikian, kita menyadari bahwa naluri untuk mempertahankan hidup memang telah terpatri dalam sanubari setiap makhluk ciptaan yang disebut manusia.
Telaah komparatif agama meliputi segi persamaan dan perbedaan. Studi yang cermat dan menyeluruh dalam arti seluas-luasnya, sedalam-dalamnya bahkan selengkap-lengkapnya, tentu tidak dapat dipaparkan hanya melalui tulisan ini. Karena itu di atas penulis hanya menyebutkan aspek persamaan yang paling mendasar dan umum antara umat beragama yang sama-sama menginginkan tercapainya suatu kehidupan yang aman sejahtera dan tidak kacau. Selebihnya tentu masih banyak segi persamaan seperti kesadaran akan adanya satu eksistensi sesudah melewati kesementaraan hidup di dunia ini; pengakuan terhadap adanya sumber kekacauan, kejahatan dan sistem dunia yang telah rusak (baca. berdosa); sementara juga mengharapkan adanya semacam penyelesaian terhadap kekacauan tadi dengan keyakinan adanya jalan keluar yang biasa disebut sebagai suatu sistem keselamatan. Sampai di sini kita juga dapat mengamati perbedaan antara sistem penyelesaian atau jalan, cara serta persyaratan keselamatan yang diyakini dan dianut oleh setiap insan beragama.
PENDEKATAN TEOLOGIS
sembunyikan teks
Di atas telah disinggung bahwa hampir semua sistem agama di dunia ini, besar atau kecil, yang amat primitif sederhana maupun yang telah berkembang maju dan komplek, semuanya mengakui adanya keselamatan. Adapun dasar pengakuan terhadap sistem keselamatan ini berpijak kepada otoritas pewahyuan yang diterima oleh umat. Setiap agama yang sudah mapan umumnya mempunyai Kitab Sucinya masing-masing sebagai pewujudan baku dari wahyu yang mereka terima dari "Realitas" ilahi. Orang Muslim mempunyai Al Qur'an. Orang Hindu memiliki Kitab Weda. Sedangkan umat Kristen mengakui Alkitab adalah firman Allah yang telah diwahyukan oleh Allah sendiri.
Di dalam Alkitab dipaparkan pokok ajaran yang amat jelas, gamblang dan pasti mengenai keselamatan; yang mana secara ringkas dapat dibeberkan sebagai berikut: Pertama, manusia yang diciptakan oleh Allah Sang Khalik memiliki kehendak bebas pada dirinya. Penyalahgunaan kehendak bebas inilah yang merupakan dosa penyebab keterpisahan manusia dari Allah-nya. Manusia yang telah berdosa tidak mungkin memulihkan sendiri hubungan antara dirinya dengan Allah. Untuk itu Allah-lah yang berinisiatif dan definitif menetapkan jalan keselamatan sebagai upaya memulihkan relasi yang telah rusak tersebut. Kedua, di dalam rencana keselamatan ini Allah Tritunggal terlibat seutuhnya yang biasa dijabarkan sebagai Allah Bapa mengutus AnakNya yang tunggal Tuhan Yesus Kristus menjadi Juruselamat serta Roh Kudus mengefektifkan karya penebusan dalam diri manusia yang akan diselamatkan. Tiada jalan lain yang diberikan oleh Allah untuk mencapai keselamatan dan memperoleh hidup yang kekal selain di dalam rencana dan kehendak ilahi dari Allah Tritunggal ini. Jadi pada dasarnya keselamatan dalam pemahaman iman Kristen merupakan suatu sistem yang murni dan mutlak teosentris. Ketiga, selanjutnya proses keselamatan meliputi dilahirkan kembali (baru) oleh Roh, pertobatan, pengampunan dosa, pembenaran, penyucian progresif dar disempurnakan dengan jaminan atau kepastian keselamatan. Kesemuanya ini tetap berpangkal kepada perpaduan antara hanya oleh anugerah dan respons iman. Namun harus dicatat bahwa iman itupun muncul dari mendengar firman dan bibit percaya sekecil apapun tidak terlepas dari kasih karunia pemberian Allah.
Jadi dalam keyakinan Kristen, keselamatan dipandang sebagai anugerah dari Allah yang terlebih dahulu memprakarsai rencana penyelamatan manusia berdosa. Konsep Allah mencari insan berdosa yang digambarkan seperti domba yang terhilang adalah demikian gamblang menyatakan tindakan aktif dari Allah sendiri. Alkitab menegaskan berulang kali akan ketidakmungkinan, ketidaklayakan dan ketidakberdayaan manusia untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Kecuali Allah saja yang bertindak, tiada seorang pun jua yang bakal akan selamat serta memiliki hidup yang kekal.
Dalam kerangka pemahaman tersebut di atas, tentu saja tindakan penyelamatan oleh Allah ini mengandung beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Juruselamat yang disediakan oleh Allah harus memenuhi kualifikasi tertentu. Perbedaan kualitatif justru terletak pada posisi unik Tuhan Yesus Kristus selaku satu-satunya Pengantara esa antara Allah dan manusia, Dialah Logos (Kalam) yang menjelma menjadi Manusia Yesus. Dwi sifat dasar Kristus ini amat berperan dalam merealisasikan "jalan" penghubung untuk maksud keselamatan. Seandainya Kristus bukanlah Allah sejati, tentu Dia tidak dapat mengampuni dan memberikan hidup kekal; sebaliknya jika Dia bukan Manusia sejati, Dia tidak bisa mewakili atau tiada berhak menggantikan posisi manusia berdosa yang hendak ditebusNya. (2) Di bawah kolong langit ini, semenjak masa penciptaan hingga kiamatnya dunia nanti, tidak ada nama lain yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan. Sebenar-benarnya hal ini merupakan konsekuensi logis dari pernyataan butir pertama terdahulu. Apabila di dunia ini manusia mempunyai banyak alternatif cara untuk memperoleh keselamatan, niscaya Kristus tidak harus datang dan mati mengorbankan diri-Nya. Sementara klaim dari Yesus: "Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tak seorangpun sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku" tidak berlaku lagi sebab toh ada kemungkinan lain manusia bisa mendapatkan keselamatan. Sekali lagi seandainya memang demikian; namun kenyataannya adalah tidak begitu. (3) Oleh sebab itu kemutlakan dan finalitas keselamatan adalah hanya dan harus melalui Tuhan Yesus Kristus saja. Keeksklusivan ini bukanlah sikap arogan yang sengaja dicanangkan oleh ajaran Alkitab untuk mendiskreditkan umat beragama lain. Sama sekali tidak! Oleh sebab itu, hendaknya jaminan dan kepastian keselamatan di dalam diri Yesus dipandang sebagai suatu keunikan yang hakiki dan valid menurut kehendak Allah sendiri. Umat Kristen mewarisi dan tetap memegang teguh ajaran yang demikian. Inilah kekhasan dan kenyataan posisi iman Kristiani dalam masalah keselamatan.
PENDEKATAN FILOSOFIS
sembunyikan teks
Secara umum pandangan filosofis seseorang memang dipengaruhi oleh nilai-nilai keimanan yang diyakininya. Misalnya, seseorang yang menganut faham ateisme tulen bahwa Allah tidak ada, praktis dalam pandangan maupun perilaku hidupnya sedikit banyak akan mencerminkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Demikian pula halnya dengan seseorang yang ber-Tuhan, tentu kepercayaannya ini akan mewarnai wawasan berpikir serta tata cara atau sepak terjang dalam hidupnya sehari-hari. Boleh dikatakan bahwa fenomena seperti ini adalah semacam lapisan kebudayaan yang menutupi lapisan yang lebih dalam lagi, yaitu persoalan keagamaan.
Apakah Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat di dunia ini? Apakah di luar diri-Nya tidak ada keselamatan? Jawaban terhadap kedua pertanyaan yang bertalian erat ini sangatlah tergantung kepada siapakah pertanyaan au diajukan. Apabila kita menanyakannya kepada orang Kristen, sewajarnya bila ia menjawab bahwa sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya, Kristus adalah satu-satunya Juruselamat hidupnya, dan di luar diri Yesus tak ada keselamatan yang mungkin diterimanya. Sebaliknya, mungkin bagi kebanyakan orang yang beragama lain jawabannya juga berlainan lagi. Masing-masing orang agaknya memang berhak untuk menjawab pertanyaan krusial di atas sesuai dengan filsafat hidup yang dilandasi oleh nilai spiritual agamanya, namun yang hendak dipersoalkan adalah obyektivitas argumen dari apa yang dipegangnya. Sampai di sini kita tak dapat memaksakan unsur rasional logika yang terbatas untuk menilai apalagi menghakimi kebenaran substansial dalam religi seseorang. Demikian pula kita tak boleh dengan gegabah memakai unsur emosional pengalaman yang bersifat pribadi untuk membela apalagi membenarkan praktek agama seseorang. Bagaimanapun juga nilai-nilai religius atau iman kepercayaan melampaui limitasi akal dan indera kita. Namun kendatipun terbatas, akal sehat dan intuitif rasa tidak perlu disingkirkan atau dibuang sama sekali. Dalam keterbatasan tertentu, mereka bisa saja diikutsertakan dalam proses pengukuhan atau pemantapan imani agama seseorang. Hanya dalam hal ini perlu dicatat keterbatasan fungsi akal dan rasa dalam menimbang sesuatu. Oleh karenanya mereka senantiasa perlu disucikan, dipimpin dan diarahkan secara tepat dalam kaitan meyakini kepercayaan agama, termasuk penghayatan akan obyektivitas keselamatannya.
Seleksi terhadap Juruselamat sungguh harus dengan serius dipertimbangkan sematang dan secermat mungkin. Tentu jauh melebihi ketelitian sewaktu kita memilih siapakah jurumudi yang akan membawakan kendaraan yang kita tumpangi. Apabila kesalahan, dan kecerobohan akan berakibat fatal; demikian juga pilihan yang keliru terhadap juruselamat akan membawa dampak resiko yang amat besar, bahkan pengaruhnya sampai kepada kekekalan kelak.
KESIMPULAN AKHIR
sembunyikan teks
Tokunboh Adeyemo dalam sebuah artikelnya "Apakah setiap orang diselamatkan?" (The Lion Handbook of Christian Belief, 1982, 418-419) menyatakan bahwa dalam satu bentuk atau yang lain, hampir semua agama-agama dan ideologi-ideologi (falsafah) dunia menjanjikan kepada para penganut mereka beberapa wujud kedamaian -- semacam pelepasan dari bahaya bencana di mana manusia berada di dalamnya. Budhisme dan Hinduisme menjanjikan nirvana, keberkatan melalui pemadaman kepribadian dan hawa nafsu. Dalam agama Afrika tradisional, seorang penyembah mempercayai bahwa melalui pengilahian dan korban-korban yang telah ditentukan ia dapat dibebaskan dari musuh-musuhnya, secara nyata dan potensial, menjamin akan pertolongan dari para leluhurnya serta, dari ilah-ilah agar menjadi makmur dalam kehidupan. Islam dengan kuat menganjurkan penundukan diri kepada Allah sebagai jalan kepada kedamaian. Dan Humanisme modern memandang pada suatu masyarakat yang bebas dari segala bentuk kekerasan - secara sosial, kultural, ekonomis maupun politis.
Lebih jauh ditandaskan olehnya bahwa ada suatu perbedaan kunci yaitu sementara agama-agama non Kristen mengakui akan kejahatan manusia serta kebutuhan akan keselamatan, mereka tidak menimbang bencana ini sebegitu mendalam sehingga membutuhkan seorang juruselamat. Kita sendiri mampu mencapai keselamatan diri melalui penyangkalan diri (sebagaimana dalam Budhisme) atau kita dapat bekerja sama dengan Allah melalui memelihara ritual dan hukum-hukum (sebagaimana dalam Islam). Kesemuanya ini dilukiskan oleh orang Kristen sebagai "keselamatan melalui usaha."
Sebaliknya Alkitab dengan kontras menunjukkan bahwa umat manusia secara total terhilang dan terputus dari Allah. Akar permasalahannya adalah sifat dasar (natur) di dalam, yang memperdaya di atas semua kejahatan apapun yang dapat dibayangkan dan benar-benar jahat adanya. Bagaimanapun ia boleh mencoba, melalui pengabdian, moralitas, cinta akan sesama, dan legalisme, tak seorang makhluk manusia pun yang dapat mencapai standar kesempurnaan dan kebenaran Allah. Kenyataannya Alkitab berkata "Semua orang berada di bawah kuasa dosa... tak seorangpun yang benar. ...Kesemuanya telah berpaling dari Allah; mereka telah tersesat; tiada seorangpun yang melakukan kebenaran, seorangpun tidak ada." Hasil dari dosa adalah keterpisahan dari Allah di dalam waktu dan kekekalan.
Di dalam Yesus Kristus, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita yang tidak dapat disampaikan menurut pewahyuan natural. Seturut dengan rencana Allah, Yesus telah hidup secara sempurna dan tanpa dosa, membayar harga penebusan atas dosa manusia dengan kematian-Nya di kayu salib. Kepada barangsiapa yang menerima Kristus dengan iman Allah mengaruniakan kebenaran Kristus. Tidak sama dengan "keselamatan oleh usaha" dari agama-agama dunia yang lainnya, keselamatan dalam Kristus adalah suatu pemberian. Karena keberdosaan kita, kita tidak mampu memperbaiki kegagalan kita terhadap Allah. Justru karena itulah, Allah di dalam Kristus telah menyediakan perbaikan itu bagi kita. Dan ini berarti tidak ada lagi jalan keselamatan yang lain.

1 komentar:

  1. bermanfaat untuk menambah wawasan tentang arti dari "Keselamatan".

    BalasHapus