Selasa, 29 Maret 2011

Nama : Moh.Thoriqul Huda
Nim :E82208026
AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI

A. Pluralisme dan Toleransi
Mencari padanan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam, tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “madaniyah” dalam tradisi kehidupan sosial dan politik bangsa.
Namun banyak orang menyepadankan istilah ini dengan civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike ( Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya berbeda. Masyarakat madani merujuk tradisi Arab-Islam, sedang civil society pada tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul.
masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad. Idealisasi tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum,dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual
Muslim sejajar dengan konsep civil society.
Dasar tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nas) al-Qur’an maupun Hadist dan praktik generasi awal Islam. Landasan ini tercermin dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, ( akan tetapi dalam al- qur’an juga menyebutkan adnya diskriminasi terhadap perempuan salah satunya mengenai masalah hokum waris mewaris, padahal kalau kita terapkan pada zaman sekarang perempuan bukanlah insan yang lemah seperti dulu yang hanya ikut pada suami alam segala hal, namun perempuan saat ini sudah banyak yang berkarir sama seperti laki laki, ) serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mithaq al-Madinah), atau terkenal dengan “Konstitusi Madinah”.
Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah, tenpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota ummat yang tunggal (ummah wahidah), dengan hak dan kewajiban yang sama Meskipun prinsip Piagam Madinah ini tidak dapat sepenuhnya terwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi di Madinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankan dalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagai daerah yang telah dibebaskan tentara Islam. semangat ini terus menjiwai pandangan sosial, politik, dan
keagamaan masyarakat Muslim.
Setelah masa Khulafa’ al-Rashidin (40 H/661 M) adalah ‘Umar Ibn ‘Abd al-Aziz, seorang khalifah Dinasti Umaiyah yang memerintah antara tahun 717-720, yang telah mencoba mengembalikan tatanan kehidupan sosial-politik dengan merujuk pada contoh masa Nabi dan Khulafa’ al-Rashidin sebagai the Islamic era par-excellence. Hal penting yang dilakukan di antaranya adalah pengembalian hak sipil dari beban pajak yang memberatkan, dan menata kembali infrastruktur politik yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan sosial-politik saat itu. Konsolidasi politik ini mencapai momentumnya dengan dikembalikannya hak demokrasi kepada rakyat.
Meskipun telah ditunjuk untuk mewarisi jabatan khalifah dari pamannya, Sulaiman, namun jabatan tersebut diserahkan kembali kepada rakyat untuk memilihnya. Ini adalah sebuah keputusan politik yang berlawanan dengan tradisi yang telah berlangsung selama 56 tahun, yang melestarikan sistem suksesi kepemimpinan melalui warisan turun-temurun. Reformasi politik yang dilakukan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz merambah pada pemangkasan dominasi kekuasaan keluarga Bani Umaiyah pada jajaran elite birokrasi, dan memberikan kesempatan umum untuk mendudukinya. Kebijakan baru yang dilakukan Umar ini mendapat perlawanan keras dari kalangan keluarganya sendiri, Bani Umaiyah, yang selama setengah abad lebih menikmati kekuasaan dan kekayaan negara. Mengakarnya KKN dalam tradisi kekuasaan pemerintahan Bani Umaiyah menjadikan upaya reformasi Umar ini tidak berlangsung lama, seiring dengan meninggalnya khalifah yang arif ini pada 720. Ia hanya memerintah kurang lebih selama dua tahun tiga bulan, dan oleh beberapa sumber disebutkan bahwa ia meninggal karena diracun keluarga sendiri. (meninggalnya umar bin abdul azis yang dikatakan karena diracun atas konsepnya tadi dalam system kepemimpinan merupakan suatu bukti bahwa masyarakat muslim pada waktu itu kurang setuju, hal ini dikkarenakan tatanan social politik umat islam masih labil sehingga kalau proses pemilihan pemimpin dilakukan berdasarkan system demokrasi maka dikuatirkan pihak pihak yang menjadi musuh orng islam bias menempati jabatan tertinggi tersebut dengan hanya mengumpulkan masa yang sebnayak banyaknya.
Jadi penerapan system demokrasi juga harus disertai kondisi masyarakat yang stabil sehingga nantinyasistem demokrasi tersebut berjalan dan berkelanjutan dengan hasil yang baik. )

B.Wawasan Politik Islam
Meskipun secara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah. Prinsip persamaan bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya
adalah makhluk Tuhan, Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki derajat sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadist Nabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang
Arab dan orang yang bukan Arab.
Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas, Perbedaan antara Islam dan Barat klasik mengenai konsep ekualitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan), tidak membedakan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapi tidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu kaum Muslimin di zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagara ini dengan kata muwat}in (Arab), yang jelas merupakan istilah baru.
Sebaliknya bagi rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidak memiliki hak, dan karenanya disamakan statusnya dengan budak. Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menentang keditaktoran, Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. (system kepemimpinan dalam islam zaman dahulu yang hanya terpusat pada satu pemimpin saja yang berperan memimpin Negara dan agama seperti zaman khulafa a r-Roshidin merupakan system kepemimpinan yang menurut saya system tersebut akan menyulitkan tumbuhnya demokrasi itu sendiri, hal ini dikarenakan semua keputusan baik urusan agama dan negara hanya berada pada satu orang sehingga kalau nanti masyarakat ingin mengkritik dan protes terhadap keputusan pemimpinan maka dianggap nanti masyarakat tersebut tidak patuh pada pemimpin agama yang merupakan penerus nabi.
Kalau kita telisik lebih lanjut Pada zaman kholifah usman, banyak dari kalangan keluarganya yang menempati posisi strategis dalam pemerintahan, hal ini sebennarnya tidak baik bagi tumbuhnya demokrasi dikarenakan nanti masyarakat akan merasa di diskriminasi dan seakan akan Negara hanya milik satu keluarga saja. )

C. Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Islam juga menekankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri penting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang harus bebas merdeka. salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan yang berkembang pada zaman jahiliyah. Apabila keyakinan seseorang karena paksaan, maka keyakinan yang dimiliki itu bukan merupakan keyakinan sesungguhnya. Dan jika seorang Muslim secara bebas menyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.
Dalam kekaisaran Romawi Kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijakan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang., Di Mesir Kuno pernah diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya.

D. Prinsip Musyawarah
Al-Qur’an tidak mentolerir adanya perbedaan antara satu dengan yang lain, laki-laki atau wanita atas dasar partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan ini al-Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani.
Sayangnya, selama berabad-abad di kalangan kaum Muslimin telah tumbuh kekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dengan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan; “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…. .”Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu, kelompok, atau elit tertentu, tapi “urusan masyarakat pada umumnya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan “musyawarah antara mereka” yaitu urusan mereka itu dibicarakan dan diputuskan melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sini dipahami bahwa syura tidak sama maknanya dengan “seorang minta nasehat dengan orang lain”, tetapi saling menasehati melalui diskusi dalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti, kepala negara tidak boleh menolak begitu saja keputusan yang diambil melalui musyawarah, ( ketika kekeliruan pamahaman itu terjadi, maka sitem musyawarah yang diterapkan tersebut harus dikonsep lebih baik lagi dan di berikan perincian mengenai penjelasan dari musyawaroh itu sendiri sehingga kedepannya masyarakat islam menjadi pahamdan tidak terjadi salah penafsiran lagi )

E. Demokrasi di Era Modern Islam
Dampak praktik kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahan sendiri, tetapi hampir semuanya dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduknya Muslim dimpin oleh variasi dari rezim otoriter, otokrasi,
despotis, dan sebangsanya.
Dari kalangan sosiolog dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis, kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer, Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan
demokrasi.
Sejak kira-kira abad ke-19, beberapa pemimpin reformis Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan menjadi pertimbangan kaum reformis seperti Jamal al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, negara Islam tidak akan kuat menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat Diperlukan. (meskipun system demokrasi dan undang telah menjamin setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam pemerintahan namun dalam pelaksanaannya sulit untuk dilakukan semua orang, system birokrasi yang rumit membuat masyarakat yang lemah tidak mampu untuk masuk dalam system pemerintahan bahkan untuk menyalurkan aspirasinya saja sangat sulit, jadi system demokrasi yang baik juga harus disertai birokrasi yang mudah pula, biar nanti demokrasi juga bias dirasakan oleh kaum bawah.)
Namik Kemal (1840-1888), seorang tokoh gerakan Usmani Muda pada akhir abad ke-19, “Jika seseorang, kata Kemal, mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang hakim hanya berdasarkan deklarasinya sendiri dan bukan ddiangkat pejabat yang
berwenang, maka klaimnya tidak sah”.
Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani salah satunya adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik, yang oleh kalangan intelektual Muslim direfleksikan sebagai tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin yang tidak lagi kondusif bagi munculnya tatanan kehidupan politik yang demokratis, menyebabkan prinsip-prinsip dasar Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya, perbedaan antara teori (wawasan islam tentang demokrasi) dan praktik kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi yang berkembang. Keterasingan simbol itulah yang barang kali menjadikan orang berusaha untuk mengimbanginya dengan merumuskan kembali tatanan kehidupan yang ada pada “masyarakat madani”.

Sebagai penutup ada beberapa catatan penting yang seperti dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa Islam sebenarnya, pertama, telah menegaskan peran masyarakat Muslim untuk menegakkan semacam tatanan sosial politik dan untuk mengimbangi ekstrimitas; kedua, kehidupan dan konstitusi internal masyarakat muslim harus selalu bersifat terbuka dan egaliter, tidak larut dengan kepentingan elistime serta tidak tertutup dan; ketiga, kehidupan dan tingkah laku internal masyarakat harus berpusat pada saling aktif berbuat baik dan bekerjasama.
( salah satu ciri masyarakat madani adalah terbentuknya system demokrasi yang mapa dan juga menghagai pluralisme, jadi untuk memebentuk masyarakat madani maka demokrasi harus di konsep lebih baik lagi agar semua elemen masyrakat bisa merasaknnya, contohnya saja Negara Indonesia yang menyatakan sebagai Negara demokrasi dan banyak warga muslim akan tetapi masih banyak pula mamsyrakat bawah yang belum bias merasakn demokrasi, yang berprinsip pada : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar