Nama  : Moh.Thoriqul  Huda
Nim  :E82208026
AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI
A. Pluralisme dan Toleransi
Mencari  padanan  kata  “masyarakat madani”  dalam  literatur  bahasa kita  memang  agak  sulit.  Kesulitan  ini  tidak  hanya  disebabkan  adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam,  tetapi  juga  karena  tiadanya  pengalaman  empiris  diterapkannya nilai-nilai  “madaniyah”  dalam  tradisi  kehidupan  sosial  dan  politik  bangsa. 
Namun  banyak  orang  menyepadankan  istilah  ini  dengan  civil  society, societas  civilis  (Romawi)  atau  koinonia  politike  ( Yunani).  Padahal  istilah “masyarakat  madani”  dan  civil  society  berasal  dari  dua  sistem  budaya berbeda. Masyarakat madani merujuk tradisi Arab-Islam, sedang civil society pada tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul.
masyarakat  madani  seakan  merupakan  keterputusan  konsep  ummah  yang merujuk  pada  masyarakat Madinah  yang  dibangun  oleh  Nabi Muhammad. Idealisasi tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum,dan  jaminan  kesejahteraan  bagi  semua  warga  serta  perlindungan  terhadap kaum  lemah  dan  kelompok  minoritas.  Meskipun  secara  ideal  eksistensi masyarakat Madinah  ini  hanya  sebentar  tetapi  secara  historis memberikan makna  yang  sangat  penting  sebagai  rujukan  masyarakat  di  kemudian  hari untuk membangun kembali  tatanan kehidupan yang  sama. Dari pengalaman sejarah  Islam masa  lalu  ini, masyarakat Madinah  yang  dibangun  oleh Nabi Muhammad  secara  kualitatif  dipandang  oleh  sebagian  kalangan  intelektual 
Muslim sejajar dengan konsep civil society. 
Dasar  tatanan masyarakat madani memperoleh  legitimasi  kuat  pada landasan  tekstual  (nas) al-Qur’an maupun Hadist dan praktik generasi awal Islam. Landasan  ini  tercermin  dalam  sikap  budaya  dan  agama  (cultural  and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, ( akan tetapi  dalam al- qur’an juga menyebutkan adnya diskriminasi terhadap perempuan salah satunya mengenai masalah hokum waris mewaris, padahal kalau kita terapkan pada  zaman sekarang perempuan bukanlah insan yang lemah seperti dulu yang hanya ikut pada suami alam segala hal, namun perempuan saat ini  sudah banyak yang berkarir sama seperti laki laki, )   serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia Sikap  toleran  dan  pluralis  seorang  muslim  terhadap  agama  dan pendapat  pemeluk  agama  lain  jelas mendapat  legitimasi  dari  ayat-ayat  al-Qur’an  dan  preseden  yang  dilakukan  oleh Nabi  dan  para  sahabatnya.  Salah satu  tindakan  pertama Nabi  untuk mewujudkan masyarakat Madinah  ialah menetapkan  dokumen  perjanjian  yang  disebut Piagam Madinah  (Mithaq  al-Madinah),  atau  terkenal  dengan  “Konstitusi  Madinah”.
Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang  ada  di  dunia,  yang  meletakkan  dasar-dasar  pluralisme  dan  toleransi. Dalam  Piagam  tersebut  ditetapkan  adanya  pengakuan  kepada  semua warga Madinah,  tenpa  memandang  perbedaan  agama  dan  suku,  sebagai  anggota ummat  yang  tunggal  (ummah  wahidah),  dengan  hak  dan  kewajiban  yang sama Meskipun  prinsip  Piagam  Madinah  ini  tidak  dapat  sepenuhnya terwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi di Madinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankan dalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagai daerah yang telah dibebaskan tentara Islam. semangat  ini  terus  menjiwai  pandangan  sosial,  politik,  dan 
keagamaan masyarakat Muslim. 
Setelah  masa  Khulafa’  al-Rashidin  (40  H/661 M)  adalah  ‘Umar  Ibn  ‘Abd  al-Aziz,  seorang  khalifah Dinasti  Umaiyah  yang  memerintah  antara  tahun  717-720,  yang  telah mencoba  mengembalikan  tatanan  kehidupan  sosial-politik  dengan  merujuk pada contoh masa Nabi dan Khulafa’ al-Rashidin sebagai the Islamic era par-excellence.  Hal  penting  yang  dilakukan  di  antaranya  adalah  pengembalian hak  sipil  dari  beban  pajak  yang  memberatkan,  dan  menata  kembali infrastruktur  politik  yang  dinilai  tidak  sesuai  lagi  dengan  perkembangan kehidupan  sosial-politik  saat  itu.  Konsolidasi  politik  ini  mencapai momentumnya  dengan  dikembalikannya  hak  demokrasi  kepada  rakyat. 
Meskipun  telah  ditunjuk  untuk  mewarisi  jabatan  khalifah  dari  pamannya, Sulaiman,  namun  jabatan  tersebut  diserahkan  kembali  kepada  rakyat  untuk memilihnya.  Ini  adalah  sebuah  keputusan  politik  yang  berlawanan  dengan tradisi  yang  telah  berlangsung  selama  56  tahun,  yang melestarikan  sistem suksesi  kepemimpinan  melalui  warisan  turun-temurun.  Reformasi  politik yang  dilakukan  ‘Umar  ibn  ‘Abd  al-‘Aziz  merambah  pada  pemangkasan dominasi kekuasaan keluarga Bani Umaiyah pada jajaran elite birokrasi, dan memberikan  kesempatan  umum  untuk mendudukinya. Kebijakan  baru  yang dilakukan Umar  ini mendapat  perlawanan  keras  dari  kalangan  keluarganya sendiri,  Bani  Umaiyah,  yang  selama  setengah  abad  lebih  menikmati kekuasaan dan kekayaan negara. Mengakarnya KKN dalam tradisi kekuasaan pemerintahan  Bani  Umaiyah  menjadikan  upaya  reformasi  Umar  ini  tidak berlangsung  lama,  seiring  dengan meninggalnya  khalifah  yang  arif  ini  pada 720. Ia hanya memerintah kurang lebih selama dua tahun tiga bulan, dan oleh beberapa  sumber  disebutkan  bahwa  ia  meninggal  karena  diracun  keluarga sendiri. (meninggalnya umar bin abdul azis yang dikatakan karena diracun atas konsepnya tadi dalam system  kepemimpinan merupakan suatu bukti bahwa masyarakat muslim pada waktu itu kurang setuju, hal ini dikkarenakan tatanan social politik umat islam masih labil sehingga kalau proses pemilihan pemimpin dilakukan berdasarkan system  demokrasi maka  dikuatirkan pihak pihak  yang menjadi musuh orng islam bias menempati jabatan tertinggi tersebut dengan hanya mengumpulkan masa yang sebnayak banyaknya. 
Jadi penerapan system demokrasi juga harus disertai kondisi masyarakat yang stabil sehingga nantinyasistem demokrasi tersebut berjalan dan berkelanjutan dengan hasil yang baik. )
B.Wawasan Politik Islam
Meskipun  secara  eksplisit  Islam  tidak  berbicara tentang  konsep  politik,  namun  wawasan  tentang  demokrasi  yang  menjadi elemen  dasar  kehidupan  politik  masyarakat  madani  bisa  ditemukan  di dalamnya.  Wawasan  yang  dimaksud  tercermin  dalam  prinsip  persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah. Prinsip  persamaan  bisa  ditemukan  dalam  suatu  ide  bahwa  setiap orang,  tanpa memandang  jenis  kelamin,  nasionalitas,  atau  status  semuanya 
adalah  makhluk  Tuhan, Nilai dasar  ini dipandang memberikan  landasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki  derajat  sama.  Pemahaman  inilah  yang  kemudian muncul dalam Hadist Nabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang 
Arab dan orang yang bukan Arab. 
Dari sini kemudian dipahami bahwa  Islam memberikan dasar konsep tentang  ekualitas, Perbedaan  antara  Islam  dan Barat  klasik mengenai  konsep  ekualitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an  hanya menyebutkan manusia  (insan),  tidak membedakan  keyakinan dan  politik  yang  dianutnya,  tetapi  tidak menyebut  kata warga  negara. Oleh karena itu kaum Muslimin di zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagara  ini dengan kata muwat}in  (Arab), yang  jelas merupakan  istilah baru. 
Sebaliknya  bagi  rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia,  seorang  yang  tidak  memiliki  hak,  dan  karenanya  disamakan statusnya dengan budak.  Jika  demokrasi  dimaksudkan  sebagai  sebuah  sistem  pemerintahan yang menentang keditaktoran,  Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam  Islam tidak ada  ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh  seorang  atau  kelompok  tertentu. (system kepemimpinan dalam islam zaman dahulu yang hanya terpusat pada satu pemimpin saja yang berperan memimpin  Negara dan agama seperti zaman khulafa a r-Roshidin merupakan system kepemimpinan yang menurut saya  system  tersebut  akan menyulitkan tumbuhnya demokrasi itu sendiri, hal ini dikarenakan semua keputusan baik urusan agama dan negara  hanya  berada pada satu orang  sehingga kalau nanti masyarakat ingin mengkritik dan protes terhadap keputusan pemimpinan maka dianggap nanti masyarakat tersebut tidak patuh pada pemimpin agama yang merupakan penerus nabi.
Kalau kita telisik lebih lanjut Pada zaman  kholifah usman, banyak dari kalangan keluarganya yang menempati posisi strategis dalam pemerintahan, hal ini sebennarnya tidak baik bagi tumbuhnya demokrasi dikarenakan nanti masyarakat akan merasa di diskriminasi dan seakan akan Negara hanya milik satu keluarga saja. )
C. Kebebasan dan Hak Asasi Manusia 
Islam  juga menekankan  kebebasan  dan  hak-hak  asasi  manusia,  dua  komponen  yang menjadi ciri penting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang  harus  bebas  merdeka. salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan yang berkembang pada zaman jahiliyah. Apabila  keyakinan  seseorang  karena  paksaan, maka  keyakinan  yang  dimiliki  itu  bukan  merupakan  keyakinan sesungguhnya.  Dan  jika  seorang  Muslim  secara  bebas  menyerahkan  diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.
Dalam  kekaisaran Romawi  Kuno  sejarah  menyaksikan  bagaimana  bayi  yang  lahir  dalam keadaan  cacat  sering menghadapi  resiko mati  karena  kebijakan  kaisar  yang menghendaki  keperkasaan  karena  tuntutan  perang.,  Di  Mesir  Kuno  pernah diberlakukan  perintah  untuk membunuh  bayi  laki-laki  hanya  karena Fir’aun takut  tergeser  dari  singgasananya.
 
D. Prinsip Musyawarah 
Al-Qur’an  tidak  mentolerir  adanya  perbedaan  antara  satu  dengan yang  lain,  laki-laki  atau  wanita  atas  dasar  partisipasi  yang  sama  dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan  ini al-Qur’an menegaskan tentang prinsip  syura  (musyawarah)  untuk  mengatur  pembuatan  keputusan  yang dilakukan masyarakat madani.
Sayangnya,  selama berabad-abad di kalangan kaum  Muslimin  telah  tumbuh kekeliruan  fatal  dalam  menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa  berkonsultasi  dengan  orang-orang  yang  menurut  pandangan mereka,  yang  sangat  bijaksana  dengan  tidak  ada  keharusan  untuk mengimplementasikan  nasehat  mereka.  Pandangan  ini  menurut  Fazlur Rahman,  jelas  merusak  makna  syura  itu  sendiri.  Al-Qur’an  dengan  jelas menyebutkan;  “…sedang  urusan  mereka  (diputuskan)  dengan  musyawarah antara mereka….  .”Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu,  kelompok,  atau  elit  tertentu,  tapi  “urusan  masyarakat  pada umumnya”  dan  milik  masyarakat  secara  keseluruhan.  Dan  “musyawarah antara mereka” yaitu urusan mereka  itu dibicarakan dan diputuskan melalui saling  konsultasi  dan  diskusi,  bukan  diputuskan  oleh  seorang  individu  atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sini dipahami bahwa syura tidak sama maknanya  dengan  “seorang minta  nasehat  dengan  orang  lain”,  tetapi saling menasehati melalui  diskusi  dalam  posisi  yang  sama. Secara  langsung ini  berarti,  kepala  negara  tidak  boleh menolak  begitu  saja  keputusan  yang diambil melalui musyawarah, ( ketika kekeliruan pamahaman itu terjadi, maka sitem musyawarah yang diterapkan tersebut harus dikonsep lebih baik lagi  dan  di berikan perincian mengenai penjelasan dari musyawaroh itu sendiri sehingga kedepannya masyarakat islam menjadi pahamdan tidak terjadi salah penafsiran lagi )
E. Demokrasi di Era Modern Islam 
Dampak  praktik  kehidupan  politik  Islam  pada  abad  pertengahan nampaknya  masih  membekas  dalam  kehidupan  bernegara  di  dunia  Islam sekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing  (secara  fisik)  dan  memiliki  pemerintahan  sendiri,  tetapi  hampir semuanya  dihadapkan  pada  problem  internal,  yaitu  “kurang  demokratis”. Kecuali  Turki,  kata  Bernard  Lewis,  semua  negara  yang  mayoritas penduduknya  Muslim  dimpin  oleh  variasi  dari  rezim  otoriter,  otokrasi, 
despotis, dan sebangsanya.
Dari kalangan sosiolog dunia Islam digambarkan telah  mengalami  masa  transisi  dari  masyarakat  yang  berorientasi  pada ekonomi  moneter  dan  masyarakat  demokratis,  kepada  sebuah  masyarakat agraris dan rejim militer, Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan  mengasumsikan  bahwa  Islam  tidak  mengenal  pemerintahan 
demokrasi.
Sejak  kira-kira  abad  ke-19,  beberapa  pemimpin  reformis  Muslim menyatakan  bahwa  untuk  mengimplementasikan  Islam  dalam  sektor kehidupan  umum,  pemerintahan  harus  ditegakkan  berdasarkan  kehendak rakyat  banyak.  Salah  satu  alasan  menjadi  pertimbangan  kaum  reformis seperti  Jamal  al-Din  al-Afghani  adalah  karena  tanpa  partisipasi  rakyat  di dalam  pemerintahan,  negara  Islam  tidak  akan  kuat  menghadapi  tekanan Barat. Alasan  yang  lain,  agar  kemajuan  internal  bisa  dicapai,  karena  tanpa kemajuan  negara  Islam  akan  tetap  lemah,  maka  partisipasi  masyarakat Diperlukan. (meskipun  system  demokrasi dan undang telah menjamin setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam pemerintahan namun  dalam pelaksanaannya sulit untuk dilakukan semua orang, system birokrasi yang rumit membuat masyarakat yang lemah  tidak mampu untuk masuk dalam system pemerintahan bahkan untuk menyalurkan aspirasinya saja sangat sulit, jadi system demokrasi yang baik juga harus disertai birokrasi yang mudah pula, biar nanti demokrasi  juga bias dirasakan oleh kaum bawah.)
Namik Kemal (1840-1888), seorang tokoh gerakan Usmani Muda pada akhir abad ke-19, “Jika seseorang,  kata  Kemal, mengangkat  dirinya  sendiri  sebagai  seorang  hakim hanya  berdasarkan  deklarasinya  sendiri  dan  bukan  ddiangkat  pejabat  yang 
berwenang, maka  klaimnya  tidak  sah”.
Penciptaan  tatanan  kehidupan  masyarakat  madani  salah  satunya adalah  melalui  penegakan  kehidupan  demokrasi.  Wawasan  dasar  Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah,  demikian  juga  dengan  sikap  pluralisme,  toleransi  dan pengakuan  hak-hak  asasi manusia  telah  berfungsi dengan  baik  selama masa Nabi  dan  Khulafa’  al-Rasyidin  dalam  kehidupan  sosial  politik,  yang  oleh kalangan  intelektual  Muslim  direfleksikan  sebagai  tatanan  masyarakat madani. Kondisi  internal  ummat  setelah  periode Khulafa’  al-Rasyidin  yang tidak  lagi  kondusif  bagi  munculnya  tatanan  kehidupan  politik  yang demokratis,  menyebabkan  prinsip-prinsip  dasar  Islam  mengenai  demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya, perbedaan  antara  teori  (wawasan  islam  tentang  demokrasi)  dan  praktik kehidupan  politik  terlihat  sangat  jauh;  menjadikan  ummat  Islam  terkesan asing  dengan  simbol-simbol  demokrasi  yang  berkembang.  Keterasingan simbol  itulah  yang  barang  kali  menjadikan  orang  berusaha  untuk mengimbanginya  dengan merumuskan  kembali  tatanan  kehidupan  yang  ada pada “masyarakat madani”. 
Sebagai penutup ada beberapa catatan penting yang seperti dikatakan oleh  Fazlur  Rahman  bahwa  Islam  sebenarnya,  pertama,  telah  menegaskan peran masyarakat Muslim untuk menegakkan semacam tatanan sosial politik dan  untuk  mengimbangi  ekstrimitas;  kedua,  kehidupan  dan  konstitusi internal masyarakat muslim harus  selalu bersifat  terbuka dan egaliter,  tidak larut dengan kepentingan elistime serta tidak tertutup dan; ketiga, kehidupan dan tingkah laku internal masyarakat harus berpusat pada saling aktif berbuat baik dan bekerjasama.
( salah satu ciri masyarakat madani adalah terbentuknya system demokrasi yang  mapa dan juga menghagai pluralisme, jadi untuk memebentuk masyarakat madani maka demokrasi harus di konsep lebih baik lagi agar semua elemen masyrakat bisa merasaknnya, contohnya saja Negara Indonesia yang menyatakan sebagai Negara demokrasi dan banyak warga  muslim akan tetapi masih  banyak pula mamsyrakat bawah yang belum bias merasakn demokrasi, yang berprinsip pada : dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar