Selasa, 29 Maret 2011

oleh: Thoriqul Huda

Menumbuhkan Sikap Pluralis
Kasus yang melibatkan unsur unsur nama keagamaan memang sering terjadi di lingkungan masyarakat kita, seperti yang kemarin terjadi di tanah air ini adalah penusukan terhadap jama’ah HKBP Bekasi yang di latar belakangi oleh persoalan keagamaan atau kekerasan terhadap masyarakat minoritas yang berbeda pendapat, Kasus ini merupkan salah satu dari ribuan kasus keagamaan di negri ini, indonesia adalah negara yang majmuk, plural dan menjunjung tinggi nilai nilai Pluralisme dan di atur dalam UUD 45 dan Nilai Nilai dasar pancasila.
Konstitusi Negara jelas menayatakan bahwa negara menjamin kebebasan tiap tiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing masing, namun hal ini tidak bisa di rasakan oleh semua kelommpok aliran kepercayaan, meskipun indonesia sudah merdeka sejak 59 tahun yang lalu namun penegakan konstitusi masih belum bisa berjalan sesuai dengan mestinya, pemerintah sebagai perangkat aparatur negara tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi permasalahan yang sangat sensitif ini.
Saat ini pemerintah hanya berpedoman pada fatwa salah satu ormas terkenal untuk menyatakan apakah aliran atau agama ini layak untuk mendapat kebebasan di indonesia ataukah harus di gusur seperti yang telah terjadi dimana mana, pemerintah seharusnya sadar dan harus turun langsung kelapangan untuk melihat persoalan yang ada, dan tidak hanya berpangku tangan dengan hanya menunggu fatwa “Sesat” dari salah satu ormas atau lembaga negara.
Demokrasi tentang pluralisme beragama yang selama ini di teriakkan oleh beberapa ormas tidak mampu mencegah terjadinya diskriminasi agama, masyarakat dan pemerintah seharusnya sadar bahwa perbedaan keagamaan dan kepercayaan yang ada di negara ini adalah bagian dari bukti bahwa indonesia merupakan negara yang demokratis dan tetap menjamin hak asasi warganya, kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum minoritas hanya akan menunjukkan kelemahan sistem hukum dan HAM di indonesia.
Matinya Pluralisme di Indonesia
Ketika prestasi demokrasi politik dan ekonomi di indonesia semakin tumbuh dengan baik, ternyata hal itu tidak memberikan dampak baik terhadap pluralisme di negara ini, masih banyak disudut sudut negri ini masyarakat yang masih hidup terkungkung dalam diskriminasi keagmaan, mereka tidak bisa bebas dalam melakukan ibadah dan ritual keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut, bahkan dalam urusan administrasi kenegaraan kaum minorotas agama harus mengaku dan memilih salah satu dari 6 agama yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, dalam pembuatan KTP misalnya, penganut aliran kepercayaan tidak bisa membuat KTP dengan menyebutkan aliran yang mereka percaya secara turun temurun dari nenek moyang, mereka harus memilih salah satu dari 6 agama yang ada untuk membuat KTP di negri ini, bahkan untuk pembuatan akte juga sama, seorang anak kecil yang baru lahir dan tidak tahu apa apa dibuatkan akte oleh orang tuanya dengan berlabel pada 6 agama yang ada, lalu bagaimanakah dengan keturunan dari penganut aliran kepercayaan yang ada di negri ini? Ada dua kemungkinan jawaban dari pertanyaan tersebut, pertama dengan terpaksa mereka harus menuliskan nama salah satu dari 6 agama resmi untuk membuat akte kelahiran dan mengurus administrasi kenegaraan yang lain, kedua bagi mereka yang tergolong pemeluk kepercayaan militan tidak akan bisa bila harus disuruh mencantumkan nama dari salah satu 6 agama resmi pemerintah, dengan konsekuensi mereka tidak mendapatkan akte dan tidak bisa mengurus administrasi kenegaraan yang lain tentu ujung ujungnya tidak akan mendapatkan pelayanan maksimal dari pemerintah.
Berbagai ironi di atas tentu menciderai makna demokrasi dan kebebasan HAM di negri ini, semakin tampak tragis karena salah satu aktor dari terbelenggunya demokrasi di negri ini adalah pemerintah itu sendiri.
Supermasi Agama
Berbagai faktor bisa melatar belakangi kekerasan keagamaan, pragmatisme politik dan motif ekonomi bisa diacu sebagai salah satu faktor, namun ideologi keagamaan tertentu yang dianut oleh seseorang juga bisa menjadi motif dibalik sikap dan kebijakan yang diambil dalam masalah itu,tindakan kekerasan keagamaan muncul dari keyakinan teologis tertentu.
Kelompok mayoritas sering mengaku bahwa mereka adalah yang paling benar dan apa yang mereka yakini juga paling benar, sifat supermasi agama seperti ini sangat membahayakan karena memiliki muatan dominasi masa dan politik yang sangat kuat, kelompok seperti itu juga tidak puas dengan keleluasaan untuk hidup menurut nilai nilai keyakinan mereka sendiri, tapi juga tidak puas dengan cara berkeyakinan orang lain sehingga secara agresif mereka berupaya untuk mendominasi dan melemahkan kaum minoritas karena dianggap tidak sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Kelompok mayoritas seharusnya bisa merangkul dan hidup rukun berdampingan dengan kelompok minoritas agar kekerasan dan diskriminasi segera bisa di akhiri, semua kelompok keagamaan yang ada di negri ini harus saling melengkapi untuk terwujudnya negara yang benar benar aman dan menjujung tinggi nilai nilai pluralisme dan kebesan HAM.


Oleh : Moh.Thoriqul Huda
Alamat : Banjarwati, Paciran Lamongan,
Kampus : Jurusan Study Agama Agama/ Ushuluddin/ IAIN Sunan Ampel Surabaya
Hp :085731286510
No Rek : BTN : 00064-01-51-001-001799-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar