Selasa, 29 Maret 2011

KONSEP CATUR VARNA DALAM KEHIDUPAN UMAT HINDU

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemampuan dan kekuatan dalam menyusun makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberi tauladan dan petunjuk dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia sebagai bekal di akhirat nanti. Al-hamdulillah, akhirnya penulis dapat menulis makalah ini dengan lancar.
Dengan kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada bapak Nasruddin,S.Pd,MA, selaku dosen pembimbing mata kuliah “Hinduisme” telah tercurahkan perhatiannya demi terselesaikan makalah ini, dan tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan makalah ini.
Namun dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis membuka kritik dan saran.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis berserah diri dengan senantiasa mengharap ridho-Nya. Semoga penyusunan makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin.


Surabaya, 12 Maret 2010


Penulis











BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adapun yang dinamakan dengan Catur Varna ialah pengelompokn dari tingkatan-tingkatan manusia, seperti yang biasa kita dengar dengan sebutan Kasta. Hal ini membawa kita kepada konsep kasus dalam agama. Tidak ada ajaran Hindu yang begitu terkenal, atau yang demikian banyak dikritik dunia luar, daripada masalah kasta ini. Pengertian kasta menandung makna yang baik, maupun menyimpang. Segala hal yang kita bahas mengenai masalah kasta bergantung pada kemampuan untuk membedakan kedua hal ini.
Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah Catur varna dan implikasinya terhadap kehidupan masyarakat Hindu, kami akan membahasnya secara terperinci dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka makalah ini akan mengangkat permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sebab-sebab atau sejarah Munculnya Catur Varna di India?
2. Bagaimanakah implikasi konsep Catur Varna terhadap kehidupan masyarakat Hindu?
3. Serta bagaimanakah hubungan antara golongan dalam Catur Varna?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sebab-sebab atau sejarah munculnya Catur Varna di India!
2. Untuk menguraikan implikasi konsep Catur Varna terhadap kehidupan masyarakat Hindu!
3. Untuk mengelompokkan dan mengetahui hubungan antara golongan dalam Catur Varna!

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Catur varna di India
Kata “kasta” berasal dari bahasa Portugis “caste” yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Sejarah kasta yang dituduhkan pada masyarakat Hindu berawal dari kedatangan Bangsa Portugis yang melakukan pengarungan samudra ke dunia timur yang didasari atas semangat Gold (memperoleh kekayaan) Glory (memperoleh kejayaan) dan Gospel (penyebaran agama/penginjilan). Caste yang dalam sejarah portugis sudah berlangsung lama akibat proses Feodalisme. Bahkan feodalisme ini terjadi pada semua sejarah masyarakat dunia. Di Inggris muncul penggolongan masyarakat secara vertikal dengan membedakan namanya seperti Sir, Lord, Duke, dll. Gelar-gelar kebangsawanan Teuku dan Cut masih diterapkan secara kental di Aceh, di Jawa sendiri juga diterapkan dalam pemberian nama raden.
Feodalisme di masyarakat Hindu sendiri muncul dengan menyalah artikan konsep Catur Varna yang diungkapkan dalam Veda. Veda sama sekali tidak mengenal sistem kasta dan tidak ada satu kalimatpun dalam Veda yang menulis kata “kasta”. Catur Varna sebagaimana disebutkan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 4.13
catur-varnyam maya srstam
guna-karma-vibhagasah
tasya kartaram api mam
viddhy akartaram avyayam
“Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”
Sloka ini sudah dengan sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa Catur Varna diciptakan oleh Tuhan sendiri pada seluruh tataran kehidupan manusia. Catur Varna hanya didasarkan oleh kerja dan kualitas seseorang, bukan berdasarkan kelahiran sebagaimana produk kasta yang selama ini dilontarkan.
Tentang riwayat bagaimana Catur Varna ini muncul, masih merupakan masalah sejarah yang paling ruwet dan membingungkan. Yang jelas sudah merupakan kenyataan pokok bahwa selama kurun dua ribu tahun sebelum Masehi, suatu gelombang ras Arya yang memiliki bahasa, kebudayaan, dan ciri jasmani yang khas (tinggi, berkulit putih, bermata biru, dan berambut lurus), datang ke benua India. Perbenturan perbedaan yang terjadi kemudian menimbulkan sistem Catur Varna atau yang biasa di sebut dengan Kasta.
Kedudukan bangsa Arya sebagai penakhluk negeri yang lebih tinggi daripada kedudukan penduduk asli tersebut telah menjadikan penduduk asli menjadi golongan yang tersingkir. Golongan yang tersingkir sebagaimana yang telah dikemukakan adalah penduduk asli negara India yang bukan berdarah/ keturunan Turan atau Arya, mereka dinamakan orang-orang Negro India atau Negrito. Masyarakat Hindu telah mengharamkan mereka menikmati hak-hak kemanusiaan, dan meletakkan mereka di suatu tingkat yang kadang-kadang lebih rendah daripada tingkatan binatang. Mereka tidak dibenarkan menganut agama Hindu atau berkelakuan menurut tata tertib kesopanannya.
2. Implikasi Konsep Catur Varna Terhadap Kehidupan Masyarakat Hindu
Bila ditelusuri secara literatur, kata kasta sendiri tidak tercantum dalam Weda yang dikenal sebagai kitab suci agama Hindu. Kasta diserap dari akar kata Portugis casta yang berarti pemilahan berdasarkan hukum herediter. Kata itu juga diambil dari bahasa Latin, yakni castus yang berarti pemilahan untuk menjaga kemurnian. Dari dua pengertian di atas, sistem kasta adalah suatu sistem yang sangat tertutup dan kaku.
Pandangan hidup Hindu bersandar kuat pada harmonisasi. Begitu juga sistem varna yang diciptakan sebagai perwujudkan terhadap kesesuaian dalam bermasyarakat. Seperti yang ditulis dalam Rg Weda, baik Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra merupakan komponen penting dalam menjalankan suatu kehidupan bermasyarakat yang seimbang dan saling menghargai. Permasalahan yang timbul adalah penyelewengan varna menjadi kasta, yaitu keyakinan bahwa pengelompokan itu didasari eksklusivisme golongan. Misalnya, dalam kasus kaum Brahmana, hanya mereka yang berada pada garis keturunan seorang Brahmana yang bisa diakui sebagai pemuka agama yang asli. Hindu sesungguhnya menentang keras diskriminasi semacam itu. Dalam Chandogya Upanishad, dituliskan suatu acuan filosofis dari Hindu yang mengatakan yang menentukan seorang pemuka agama adalah niat dan kesungguhannya bukan semata-mata dari garis keturunannya.
Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia.
Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali).
3. Tingkatan-tingkatan dalam Catur Varna
Adapun mengenai struktur sosial atau susunan masyarakat Hindu dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Golongan Brahmana
Golongan pertama disebut di India sebagai golongan Brahmana atau golongan pemimpin rohani atau pendeta. Dengan kemampuannya untuk merenungkan hasrat yang kuat untuk memperoleh pengertian dan memiliki suatu penguasaan naluriah yang tajam terhadap nilai-nilai hidup yang terpenting, mereka ini merupakan para pemimpin intelektual dan pemimpin rohani dari peradaban tersebut. Kepada mereka ini dipercayakan berbagai fungsi, yang dalam masyarakat didasarkan pada spesialisasi, diberikan kepada para filsuf, seniman, pemimpin agama dan guru-guru.
Golongan Brahmana berkewajiban memepelajari kitab-kitab Weda dan mengajar kaumnya, juga memberkati pemberian-pemberian korban yang hanya diterima dengan melalui mereka, dan wajiblah seorang Brahmana memelihara undang-undang umum dan agama.
b. Golongan Ksatria
Kata Ksatria berasal dari kata Sansekerta Kshatrya yang mempunyai konotasi prajurit dan pemimpinnya, karena pemimpin diharapkan melindungi yang kuat dan mengatasi kejahatan. Mereka mempunyai bakat sejak lahir sebagai administrator dengan kemahiran tingkat untuk mengorganisir dan memperjuangkan masalah-masalah manusia sedemikian rupa sehingga dapat membawa hasil yang terbaik.
Orang-orang yang telah memperkaya akal pikirannya dengan kitab-kitab Weda dan sebagainya, mereka inilah yang layak menjadi pemimpin-pemimpin tentara, atau raja-raja atau hakim-hakim bagi sekalian umat.
c. Golongan Waisya
Golongan ini memilih lapangan pengabdiannya sebagai tukang atau penghasil barang-barang kebutuhan manusia. Mereka ini adalah tukang kayu, tukang batu, dan para petani, yaitu orang-orang yang mahir dalam menciptakan benda-benda material yang diperlukan untuk hidup.
Seorang Waisya haruslah menikah dengan perempuan dari golongannya juga, haruslah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pekerjaannya, dan senantiasa memelihara binatang ternak. Sedangkan yang menjadi saudagar diantara mereka hendaklah mengetahui undang-undang perniagaan.
d. Golongan Sudra
Golongan ini yang biasa kita sebut sebagai para pengikut, nama lainnya bagi mereka ini adalah buruh kasar atau tidak terdidik. Seorang Sudra haruslah mematuhi perintah golongan Brahmana yang memjadi pemuka yang arif akan kitab-kitab suci dan terkenal dengan sifat-sifat yang mulia. Dengan kepatuhan ini diharapkan ia diberi kebahagiaan sesudah matinya dengan suatu penghidupan baru yang lebih tinggi.
4. Hubungan Antar Catur Varna
Mengenai Catur-Varna, Veda menjelaskan dengan sloka-sloka berikut.
1. Dalam Bhagavad-Gita Sri Krishna berkata, “Catur varnyam maya srstam, empat golongan sosial manusia dimasyarakat diciptakan olehKu”(Bhagavad Gita 4.13)
2. Dalam Rg Veda dikatakan,“Brahmanosya mukham asad bahu rajanyah urutad asya yad vaisyah pad bhyam sudro’ jayata, kaum brahmana muncul dari kepala wujud universal Tuhan, kaum kshatriya (Raja) muncul dari kedua tangan-Nya, kaum vaisya muncul dari kedua paha-Nya, dan kaum sudra muncul dari kedua kaki-Nya” (Rg Veda 8.4.19).
3. Dalam Bhagavata-Purana dikatakan, “Mukha bahuru padabhyah purusah catvaro jajnire varna vipradayah prthak, ke-empat varna ini yaitu Brahmana, Kshatriya, Visya dan Sudra lahir dari kepala, tangan, paha dan kaki wujud semesta Tuhan” (Bhagavata Purana 11.5.2).
Menurut Veda, masyarakat manusia berfungsi serupa dengan badan jasmani si manusia itu sendiri, dan berdasarkan penjelasan sloka-sloka Veda sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, hubungan antara Catur Varna dengan badan jasmani sang manusia adalah sebagaimana nampak pada gambar dibawah ini.

Seseorang dikatakan hidup normal jikalau badan jasmaninya lengkap/utuh yaitu memiliki kepala, tangan, paha dan kaki. Dan seseorang hidup enak, nyaman dan senang jika keempat bagian badan jasmaninya itu melakukan fungsi masing-masing secara harmonis yaitu bekerja untuk memuaskan perut. Perut puas/kenyang berarti seluruh badan terpelihara dan sehat.
Begitu pula, masyarakat manusia bisa tumbuh dengan baik hanya apabila di masyarakat itu terdapat Catur-Varna. Dan masyarakat hidup aman, nyaman dan senang jika ke-empat Varna itu melaksanakan tugas pekerjaannya masing-masing secara harmonis untuk menyenangkan Sri Krishna dengan mempersembahkan hasil kerjanya sebagai yajna kepada Beliau. Tuhan puas dan senang itu berarti segala kebutuhan hidup manusia secara otomatis terpenuhi secara melimpah, sehingga masyarakat manusia hidup makmur dan sejahtera (jagadhita).
Penjelasan pilosofis Catur-Varna ini dapat diringkas sebagai berikut



Dari keempat Varna (golongan sosial) yang ada di masyarakat, kaum Brahmana adalah yang paling penting/paling utama, seperti halnya kepala adalah bagian yang paling penting/utama dari badan setiap orang. Jikalau kepala (otak/pikiran) berfungsi baik, maka otomatis tangan, paha dan kaki berfungsi baik pula dan bekerja sama secara harmonis untuk memuaskan perut. Perut puas/kenyang otomatis menyebabkan kepala, tangan, paha dan kaki itu sendiri tetap sehat dan terpelihara serta berfungsi dengan baik.
Begitu pula, jikalau kaum Brahmana melaksanakan tugas kewajibannya secara baik yaitu memberikan nasehat/petunjuk tentang kehidupan berdasarkan pengetahuan Veda, maka otomatis kaum Kshatriya, Vaisya dan Sudra melaksanakan tugas kewajibannya dengan baik pula untuk menyenangkan Tuhan. JIkalau Tuhan puas/senang, maka otomatis semua makhluk akan hidup senang dan sejahtera.
Proses menyenangkan Tuhan demi kesejahteraan segala makhluk, dijelaskan oleh Veda secara pilosofis sebagai berikut, “Yatha taror mulani secanena trptyanti tad skanda bhujopasakah pranopaharac ca yathendriyanam tathaiva sarvarhanam acyutejya, seperti halnya menyiramkan air ke-akar pohon menyebabkan batang, cabang, ranting dan daunnya tumbuh dan berkembang; seperti halnya memuaskan perut menyebabkan seluruh indriya jasmani tetap sehat dan terpelihara, begitu pula dengan menyenangkan Sri Acyuta (Krishna), segala makhluk jadi senang dan hidup sejahtera” (Bhagavata Purana 4.31.14).












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan diatas, maka kita dapat mengambil kesimpulan mengenai Catur Varna dan Kasta, bahwa pengertian antara Kasta dan Catur varna itu sendiri berbeda. Banyak orang yang menyalah artikan antara keduanya.
Dari keterangan diatas, kita tahu sejarah munculnya Catur Varna di India, implikasi konsep Catur Varna bagi kehidupan umat Hindu, tingkatan-tingkatan dalam Catur Varna, serta hubungan antar Catur Varna.




















BIBLIOGRAFI
 Bahar, Saafroedin, 2001, Agama-agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
 Daradjat, Zakia, 1996, Perbandingan Agama 2, Jakarta: Bumi Aksara
 Shalaby, Ahmad, 1998, Agama-agama Besar di India, Jakarta:Bumi Aksara
 http://Filsafat.komposiana.Com/2009/12/14/kasta-apa-varna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar